Berkolaborasi Hadirkan Kenyamanan dan Keamanan dalam Mengakses Produk Keuangan
A
A
A
Suasana di kawasan Jl Raden Patah, Kebayoran Baru Jakarta Selatan petang kemarin cukup ramai. Kawasan di sekitar Masjid Agung Al Azhar dan Gedung Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) itu memang menjadi salah satu wisata kuliner warga ibu kota. Amir Mahmud (34) tampak resah karena harus antre menunggu dilayani oleh penjual bubur ayam. Keresahan Amir bukan lantaran dia tak tahan menahan lapar, tetapi karena bubur ayam yang dipesannya adalah orderan dari pengguna jasanya.
Kepada SINDOnews Sabtu (9/11/2019) warga Kelurahan Dukuh, Kramat Jati, Jakarta Timur ini mengaku lima tahun terakhir menekuni profesi sebagai pengemudi ojek online GoJek. Meskipun saat ini ojek online menjadi salah satu favorit transportasi warga ibu kota, namun Amir mengaku penghasilannya justru menurun dibandingkan lima tahun atau tiga tahun lalu. ‘’Sekarang jumlah pengemudinya bertambah banyak. Dulu penumpang yang cari kami, sekarang kami yang harus mencari penumpang,’’ujarnya tersenyum kecut.
Namun, bermodalkan motor Honda Blade lansiran 2013, Amir tetap semangat menanti orderan untuk mengantar penumpang, barang, hingga makanan. Meskipun terkadang pekerjaan itu harus dilakoninya dari pagi hingga tengah malam. ‘’Dulu bisa bawa pulang Rp400 ribu bersih, sekarang maksimal Rp200 ribu belum dipotong untuk bensin dan makan,’’ungkapnya.
Meskipun jumlah itu dinilai cukup untuk menghidupi keluarganya, namun terkadang Amir masih membutuhkan tambahan dana untuk merawat motor yang menjadi andalannya mencari nafkah. Dengan pengetahuannya terhadap perkembangan Internet of Things (IoT) yang dia dapat sejak bergabung dengan GoJek, Amir mengaku beberapa kali mengajukan pinjaman ke perusahaan Financial Technologi (Fintech) yang menawarkan pinjaman dengan pengajuan secara online atau yang dikenal dengan pinjaman online.
‘’Pernah beberapa kali pinjam untuk biaya servis motor karena rusak. Paling besar Rp600 ribu, prosesnya sangat mudah,’’ungkapnya. Bagi, Amir, menjamurnya fintech di Tanah Air menjadi berkah bagi masyarakat yang membutuhkan pinjaman tunia dengan proses yang mudah. Berbeda dengan lembaga keuangan seperti bank yang menetapkan syarat ketat, pinjaman melalui fintech hanya bermodalkan kartu identitas saja.
Beberapa kali mengajukan pinjaman, bukan berarti Amir selalu merasa terbantu. Terkadang, Amir harus merogoh kantongnya lebih dalam untuk membayar bunga yang tinggi. Bahkan, saat terlambat mengembalikan pinjaman, Amir mengaku kerap mendapatkan perlakuan kurang sopan. ‘’Saya sering pinjam online yang prosesnya tidak rumit. Tapi resikonya bunganya tinggi dan sering di tagih lewat telepon atau sms setiap hari jika terlambat,’’paparnya.
Dia mengaku, selama ini tak mempersoalkan apakah fintech tersebut sudah mendapatkan izin atau tidak dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sebab, baginya, kemudahan pencairan pinjaman menjadi faktor pertimbangan dalam memilih perusahaan fintech. ‘’Pertimbangan saya review aplikasi pinjaman yang ada di Google Play Store dan dari referensi teman. Karena saya tidak terlalu mengerti jika fintech itu harus ada izin atau segala macamnya,’’paparnya.
Kemudahan dalam mendapatkan pinjaman uang tunai juga dirasakan Nurul Fathia (25). Sebagai generasi milenial, karyawan di salah satu perusahaan teknologi anti virus itu di kawasan jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan itu akrab dengan teknologi dan gadget. Hal itulah yang membuat alumnus Universitas Pamulang itu mudah mengakses layanan fintech. Beragam penawaran datang ke telepon pintarnya (smartphone) mulai dari pinjaman untuk kegiatan konsumtif maupun untuk modal kerja.
‘’Pernah beebrapa kali pinjam dana tunai, untuk bantu adik bayar sekolah dan untuk modal berdagang,’’ungkapnya. Namun, meski mudah dalam mengakses pinjaman, Nurul mengaku beberapa kali merasakan ketidaknyamanan. ‘’Pernah dapat fintech yang bunganya tinggi dan nagihnya dengan menghubungi nomor teman hingga keluarga,’’paparnya. Nurul pun mengaku merasa terbebani, tak hanya dari sisi finansial saja, tapi juga dari sisi sosial. ‘’Malu juga sih karena mereka blast tagihan ke nomor kontak di ponsel saya,’’paparnya. Tak hanya itu, Nurul juga harus membayar bunga yang sangat tinggi. ‘’Pinjamnya hanya Rp700 ribu dengan jangka waktu dua pekan, saya harus bayar dengan bunganya Rp1,2 juta,’’ungkapnya.
Meskipun telah merasakan pengalaman pahit, namun Nurul mengaku tak kapok untuk mengajukan pinjaman ke perusahaan fintech. Hanya saja, saat ini dia melakukan seleksi ketat sebelum mengajukan pinjaman. ‘’Saya hanya mengajukan pinjaman ke fintech yang sudah dapat izin OJK,’’katanya. Alasannya, jangka waktu pengembalian pinjaman lebih lama dan bunga yang ditetapkan tidak terlalu besar. ‘’Memang untuk yang berizin OJK prosesnya agak lama. Tapi kalo nagih tidak seheboh yang tak punya izin,’’katanya.
Kehadiran fintech sejak beberapa tahun terakhir memang memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam mengakses produk-produk keuangan. Mengutip data OJK hingga hingga 30 September 2019 ada 127 fintech lending yang terdaftar. Jumlah itu diperkirakan bertambah hingga Oktober 2019 karena ada beberapa fintech yang sedang mengajukan izin. Hingga September 2019, jumlah penyaluran fintech sudah menembus Rp 60,4 triliun, dengan outstanding mencapai Rp 10,1 triliun. OJK mencatat, ada 558.766 lender dengan jumlah peminjam sebanyak 14,3 juta akun.
Jumlah itu menunjukkan tren meningkat dibandingkan dengan beberapa tahun lalu. Hal ini menunjukkan ekosistem fintech telah sejalan dengan target pemerintah dalam mewujudkan inklusi keuangan bagi masyarakat Indonesia dan mendorong roda perekonomian nasional. Namun, masih adanya fintech ilegal diyakini akan memengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap fintech legal. Juga bisa menghambat upaya pemerintah dalam menghadirkan kemudahaan akses produk keuangan bagi masyarakat.
Perencana Keuanga Safir Senduk menilai, fintech menghadirkan kemudahan bagi masyarakat dalam mengakses banyak hal. ‘’Jika dulu orang beli barang harus datang ke toko kini bisa lewat smartphone,’’ujarnya. Tak hanya membeli barang, tapi sekaligus bisa mengajukan pembiayaan atas barang yang dibelinya.
Penulis buku “Karyawan Harus Nabung Biar Makmur’’ itu mengatakan, kemudahan yang dihadirkan fintech salah satunya terkait dengan proses pencairan pinjaman yang tidak membutuhkan persyaratan rumit. ‘’Prosesnya cepat, berbeda dengan bank prosesnya lama namun bunganya lebih rendah,’’ungkapnya.
Safir menyarankan masyarakat untuk cermat dalam memilih perusahaan fintech yang menawarkan pinjaman online. ‘’Meskipun sebenarnya meminjam uang untuk keperluan tertentu itu opsi terakhir, namun sebaiknya masyarakat cermat dalam memilih fintech,’’tegasnya.
Tak hanya itu, Safir juga menyarankan agar OJK terus melakukan pengawasan yang ketat terhadap fintech yang beroperasi di Indonesia. Bahkan, dia berpendapat, perlu dibentuk divisi-divisi khusus yang memantau aktivitas fintech sesuai dengan kategorinya.
Saat ini banyak produk fintech yang ada di Indonesia, terutama yang masih berupa start up (rintisan). Diantaranya fintech yang bergerak di investasi online, kemudian peer to peer lending, ada juga yang berbentuk crowd funding, mobile payments, dan marketplace. ‘’Karenanya OJK harus terus melakukan edukasi jangka panjang kepada masyarakat. Selain itu, OJK juga harus melakukan kolaborasi dan sinergi dengan institusi lain misalnya Kepolisian dan Pemerintah Daerah agar jika terjadi sesuatu yang merugikan masyarakat bisa segera diambil tindakan,’’tegasnya.
Alasan menggandeng Kepolisian, kata Safir, dikarenakan OJK tidak memiliki kewenangan untuk memproses secara hukum terhadap fintech yang merugikan masyarakat, terutama fintech ilegal. Sementara kolaborasi dengan Pemerintah Daerah dikarenakan saat ini produk-produk yang ditawarkan fintech sudah bisa di akses hingga Kabupaten. ‘’Kolaborasi dan sinergi itu akan memberikan ketenangan dan kenyamanan bagi masyarakat dalam mengakses produk keuangan,’’paparnya.
Menertibkan Fintech Ilegal
Populernya fintech di tengah masyarakat tak hanya memberikan dampak positif bagi peningkatan ekonomi masyarakat. Namun juga terkadang menghadirkan masalah bagi masyarakat. Terutama keberadaan fintech ilegal. Penyebabnya, tingginya bunga pinjaman yang diberikan, juga cara penagihan pelunasan pinjaman yang terkadang terkesan intimidatif.
“Pelaku fintech ilegal menjalankan bisnis tanpa izin. Sehingga banyak dari produk dan layanannya yang tidak sesuai dengan regulasi khususnya terkait keamanan data dan perlindungan konsumen,” jelas Co-Founder dan CEO Kredivo Akshay Garg.
Masih adanya fintech ilegal, kata dia, diakibatkan masih rendahnya literasi keuangan masyarakat. Hal itu menjadi tantangan besar bagi para stakeholder dalam memaksimalkan manfaat kehadiran fintech. Perkembangan teknologi yang pesat di Indonesia membuat masyarakat mudah dalam mengakses berbagai informasi, termasuk melalui sosial media. Kemudahan masyarakat dalam mengakses beragam platform teknologi itu disinyalir membuka celah bagi fintech ilegal yang memanfaatkan kekurangpahaman sebagian masyarakat tentang produk keuangan yang ditawarkan melalui platform digital.
‘’Meningkatkan literasi keuangan menjadi salah satu upaya preventif yang dapat dilakukan oleh berbagai pihak agar masyarakat semakin bijak dalam memanfaatkan produk dan layanan jasa keuangan secara digital,” tambah Akshay.
Pemerintah dan OJK sendiri, saat ini telah melakukan berbagai upaya untuk menekan keberadaan fintech ilegal. Selain melalui pembentukan Satgas Waspada Investasi, OJK dan Bank Indonesia juga bersinergi dengan asosiasi yang menaungi perusahaan fintech legal untuk secara aktif melakukan edukasi serta sosialisasi kepada masyarakat tentang industri fintech.
Satgas Waspada Investasi OJK bersama 13 kementerian/lembaga yang menjadi anggotanya terus melakukan edukasi secara masif kepada masyarakat mengingat masih banyaknya penawaran pinjaman online dari perusahaan fintech peer to peer lending tidak berizin yang bisa merugikan masyarakat.
Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L Tobing dalam keterangan tertulis mengatakan, edukasi mengenai pentingnya memilih perusahaan fintech peer to peer lending yang berizin OJK harus semakin gencar dilakukan mengingat Satgas hingga awal Oktober kembali menemukan dan langsung menindak 133 entitas yang melakukan kegiatan fintech peer to peer lending ilegal yang tidak terdaftar di OJK.
"Kami tidak akan menunggu korban masyarakat semakin banyak akibat fintech peer to peer lending ilegal. Sehingga kami langsung menindak temuan fintech lending ilegal dengan meminta Kominfo untuk memblokirnya," tegas Tongam.
Dia mengatakan, OJK terus mengajak berbagai pihak untuk meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai bahaya fintech peer to peer lending ilegal mengingat keberadaannya sangat merugikan. Satgas Waspada Investasi juga melakukan inovasi layanan pengaduan, konsultasi dan sosialisasi langsung kepada masyarakat berkaitan dengan masalah investasi, fintech lending dan gadai swasta illegal. Inovasi tersebut dilakukan dengan membuka Warung Waspada Investasi.
"Kami siap menerima laporan dan pengaduan dari masyarakat berkaitan dengan hal yang menjadi kewenangan Satgas untuk kemudian kami tindak lanjuti," kata Tongam. Pada tahap awal, Warung Waspada Investasi akan dibuka setiap hari Jumat pukul 09.00 – 11.00 WIB bertempat di The Gade Coffee & Gold, Jalan H. Agus Salim, Jakarta Pusat. Di lokasi tersebut juga hadir perwakilan dari 13 kementerian/lembaga anggota Satgas Waspada Investasi. Semuanya akan memberikan pelayanan kepada masyarakat baik berupa pertanyaan maupun aduan mengenai kegiatan investasi ilegal, fintech lending ilegal ataupun gadai swasta ilegal.
Keberadaan Warung Waspada Investasi ini, kata dia, diharapkan akan meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai manfaat dan risiko jasa dan layanan sektor jasa keuangan. Juga semakin membuat masyarakat waspada terhadap maraknya tawaran investasi dan fintech lending ilegal. Hingga 31 Oktober 2019, Satgas Waspada Investasi kembali menemukan 297 entitas baru yang melakukan kegiatan fintech peer to peer lending ilegal yang tidak terdaftar di OJK.
Tak hanya itu, OJK juga melakukan kerja sama sinergis dengan Bank Indonesia, kementerian/lembaga, dan Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) untuk mendukung pencapaian target inklusi keuangan sebesar 75% di akhir 2019. Sinergi yang dilakukan yakni menggelar Bulan Inklusi Keuangan (BIK) selama Oktober 2019 lalu. Tak hanya dilangsungkan di Jakarta tetapi juga di seluruh Indonesia. Tak hanya melibatkan Kantor Regional/Kantor OJK tetapi juga melibatkan kantor cabang PUJK dan stakeholder di daerah. ‘’Pelaksanaan BIK diharapkan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap produk dan layanan jasa keuangan,’’ujar Anggota Dewan Komisioner OJK Bidang Edukasi Perlindungan Konsumen Tirta Segara.
Menghadirkan akses produk keuangan yang praktis, aman dan nyaman di tengah fenomena tumbuhnya ekosistem fintech yang masif tidak hanya menjadi tugas otoritas saja, tetapi juga perlu keterlibatan masyarakat. Masyarakat dituntut untuk semakin cermat, kritis, dan bijaksana dalam melakukan transaksi produk keuangan. Masyarakat perlu memastikan apakah perusahaan fintech lending sudah terdaftar resmi di OJK. Konsumen fintech lending juga harus tahu secara pasti bunga yang diberlakukan di setiap pinjaman. Masyarakat juga harus mengerti hak dan kewajibannya saat mengakses produk dari fintech.
Kepada SINDOnews Sabtu (9/11/2019) warga Kelurahan Dukuh, Kramat Jati, Jakarta Timur ini mengaku lima tahun terakhir menekuni profesi sebagai pengemudi ojek online GoJek. Meskipun saat ini ojek online menjadi salah satu favorit transportasi warga ibu kota, namun Amir mengaku penghasilannya justru menurun dibandingkan lima tahun atau tiga tahun lalu. ‘’Sekarang jumlah pengemudinya bertambah banyak. Dulu penumpang yang cari kami, sekarang kami yang harus mencari penumpang,’’ujarnya tersenyum kecut.
Namun, bermodalkan motor Honda Blade lansiran 2013, Amir tetap semangat menanti orderan untuk mengantar penumpang, barang, hingga makanan. Meskipun terkadang pekerjaan itu harus dilakoninya dari pagi hingga tengah malam. ‘’Dulu bisa bawa pulang Rp400 ribu bersih, sekarang maksimal Rp200 ribu belum dipotong untuk bensin dan makan,’’ungkapnya.
Meskipun jumlah itu dinilai cukup untuk menghidupi keluarganya, namun terkadang Amir masih membutuhkan tambahan dana untuk merawat motor yang menjadi andalannya mencari nafkah. Dengan pengetahuannya terhadap perkembangan Internet of Things (IoT) yang dia dapat sejak bergabung dengan GoJek, Amir mengaku beberapa kali mengajukan pinjaman ke perusahaan Financial Technologi (Fintech) yang menawarkan pinjaman dengan pengajuan secara online atau yang dikenal dengan pinjaman online.
‘’Pernah beberapa kali pinjam untuk biaya servis motor karena rusak. Paling besar Rp600 ribu, prosesnya sangat mudah,’’ungkapnya. Bagi, Amir, menjamurnya fintech di Tanah Air menjadi berkah bagi masyarakat yang membutuhkan pinjaman tunia dengan proses yang mudah. Berbeda dengan lembaga keuangan seperti bank yang menetapkan syarat ketat, pinjaman melalui fintech hanya bermodalkan kartu identitas saja.
Beberapa kali mengajukan pinjaman, bukan berarti Amir selalu merasa terbantu. Terkadang, Amir harus merogoh kantongnya lebih dalam untuk membayar bunga yang tinggi. Bahkan, saat terlambat mengembalikan pinjaman, Amir mengaku kerap mendapatkan perlakuan kurang sopan. ‘’Saya sering pinjam online yang prosesnya tidak rumit. Tapi resikonya bunganya tinggi dan sering di tagih lewat telepon atau sms setiap hari jika terlambat,’’paparnya.
Dia mengaku, selama ini tak mempersoalkan apakah fintech tersebut sudah mendapatkan izin atau tidak dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sebab, baginya, kemudahan pencairan pinjaman menjadi faktor pertimbangan dalam memilih perusahaan fintech. ‘’Pertimbangan saya review aplikasi pinjaman yang ada di Google Play Store dan dari referensi teman. Karena saya tidak terlalu mengerti jika fintech itu harus ada izin atau segala macamnya,’’paparnya.
Kemudahan dalam mendapatkan pinjaman uang tunai juga dirasakan Nurul Fathia (25). Sebagai generasi milenial, karyawan di salah satu perusahaan teknologi anti virus itu di kawasan jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan itu akrab dengan teknologi dan gadget. Hal itulah yang membuat alumnus Universitas Pamulang itu mudah mengakses layanan fintech. Beragam penawaran datang ke telepon pintarnya (smartphone) mulai dari pinjaman untuk kegiatan konsumtif maupun untuk modal kerja.
‘’Pernah beebrapa kali pinjam dana tunai, untuk bantu adik bayar sekolah dan untuk modal berdagang,’’ungkapnya. Namun, meski mudah dalam mengakses pinjaman, Nurul mengaku beberapa kali merasakan ketidaknyamanan. ‘’Pernah dapat fintech yang bunganya tinggi dan nagihnya dengan menghubungi nomor teman hingga keluarga,’’paparnya. Nurul pun mengaku merasa terbebani, tak hanya dari sisi finansial saja, tapi juga dari sisi sosial. ‘’Malu juga sih karena mereka blast tagihan ke nomor kontak di ponsel saya,’’paparnya. Tak hanya itu, Nurul juga harus membayar bunga yang sangat tinggi. ‘’Pinjamnya hanya Rp700 ribu dengan jangka waktu dua pekan, saya harus bayar dengan bunganya Rp1,2 juta,’’ungkapnya.
Meskipun telah merasakan pengalaman pahit, namun Nurul mengaku tak kapok untuk mengajukan pinjaman ke perusahaan fintech. Hanya saja, saat ini dia melakukan seleksi ketat sebelum mengajukan pinjaman. ‘’Saya hanya mengajukan pinjaman ke fintech yang sudah dapat izin OJK,’’katanya. Alasannya, jangka waktu pengembalian pinjaman lebih lama dan bunga yang ditetapkan tidak terlalu besar. ‘’Memang untuk yang berizin OJK prosesnya agak lama. Tapi kalo nagih tidak seheboh yang tak punya izin,’’katanya.
Kehadiran fintech sejak beberapa tahun terakhir memang memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam mengakses produk-produk keuangan. Mengutip data OJK hingga hingga 30 September 2019 ada 127 fintech lending yang terdaftar. Jumlah itu diperkirakan bertambah hingga Oktober 2019 karena ada beberapa fintech yang sedang mengajukan izin. Hingga September 2019, jumlah penyaluran fintech sudah menembus Rp 60,4 triliun, dengan outstanding mencapai Rp 10,1 triliun. OJK mencatat, ada 558.766 lender dengan jumlah peminjam sebanyak 14,3 juta akun.
Jumlah itu menunjukkan tren meningkat dibandingkan dengan beberapa tahun lalu. Hal ini menunjukkan ekosistem fintech telah sejalan dengan target pemerintah dalam mewujudkan inklusi keuangan bagi masyarakat Indonesia dan mendorong roda perekonomian nasional. Namun, masih adanya fintech ilegal diyakini akan memengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap fintech legal. Juga bisa menghambat upaya pemerintah dalam menghadirkan kemudahaan akses produk keuangan bagi masyarakat.
Perencana Keuanga Safir Senduk menilai, fintech menghadirkan kemudahan bagi masyarakat dalam mengakses banyak hal. ‘’Jika dulu orang beli barang harus datang ke toko kini bisa lewat smartphone,’’ujarnya. Tak hanya membeli barang, tapi sekaligus bisa mengajukan pembiayaan atas barang yang dibelinya.
Penulis buku “Karyawan Harus Nabung Biar Makmur’’ itu mengatakan, kemudahan yang dihadirkan fintech salah satunya terkait dengan proses pencairan pinjaman yang tidak membutuhkan persyaratan rumit. ‘’Prosesnya cepat, berbeda dengan bank prosesnya lama namun bunganya lebih rendah,’’ungkapnya.
Safir menyarankan masyarakat untuk cermat dalam memilih perusahaan fintech yang menawarkan pinjaman online. ‘’Meskipun sebenarnya meminjam uang untuk keperluan tertentu itu opsi terakhir, namun sebaiknya masyarakat cermat dalam memilih fintech,’’tegasnya.
Tak hanya itu, Safir juga menyarankan agar OJK terus melakukan pengawasan yang ketat terhadap fintech yang beroperasi di Indonesia. Bahkan, dia berpendapat, perlu dibentuk divisi-divisi khusus yang memantau aktivitas fintech sesuai dengan kategorinya.
Saat ini banyak produk fintech yang ada di Indonesia, terutama yang masih berupa start up (rintisan). Diantaranya fintech yang bergerak di investasi online, kemudian peer to peer lending, ada juga yang berbentuk crowd funding, mobile payments, dan marketplace. ‘’Karenanya OJK harus terus melakukan edukasi jangka panjang kepada masyarakat. Selain itu, OJK juga harus melakukan kolaborasi dan sinergi dengan institusi lain misalnya Kepolisian dan Pemerintah Daerah agar jika terjadi sesuatu yang merugikan masyarakat bisa segera diambil tindakan,’’tegasnya.
Alasan menggandeng Kepolisian, kata Safir, dikarenakan OJK tidak memiliki kewenangan untuk memproses secara hukum terhadap fintech yang merugikan masyarakat, terutama fintech ilegal. Sementara kolaborasi dengan Pemerintah Daerah dikarenakan saat ini produk-produk yang ditawarkan fintech sudah bisa di akses hingga Kabupaten. ‘’Kolaborasi dan sinergi itu akan memberikan ketenangan dan kenyamanan bagi masyarakat dalam mengakses produk keuangan,’’paparnya.
Menertibkan Fintech Ilegal
Populernya fintech di tengah masyarakat tak hanya memberikan dampak positif bagi peningkatan ekonomi masyarakat. Namun juga terkadang menghadirkan masalah bagi masyarakat. Terutama keberadaan fintech ilegal. Penyebabnya, tingginya bunga pinjaman yang diberikan, juga cara penagihan pelunasan pinjaman yang terkadang terkesan intimidatif.
“Pelaku fintech ilegal menjalankan bisnis tanpa izin. Sehingga banyak dari produk dan layanannya yang tidak sesuai dengan regulasi khususnya terkait keamanan data dan perlindungan konsumen,” jelas Co-Founder dan CEO Kredivo Akshay Garg.
Masih adanya fintech ilegal, kata dia, diakibatkan masih rendahnya literasi keuangan masyarakat. Hal itu menjadi tantangan besar bagi para stakeholder dalam memaksimalkan manfaat kehadiran fintech. Perkembangan teknologi yang pesat di Indonesia membuat masyarakat mudah dalam mengakses berbagai informasi, termasuk melalui sosial media. Kemudahan masyarakat dalam mengakses beragam platform teknologi itu disinyalir membuka celah bagi fintech ilegal yang memanfaatkan kekurangpahaman sebagian masyarakat tentang produk keuangan yang ditawarkan melalui platform digital.
‘’Meningkatkan literasi keuangan menjadi salah satu upaya preventif yang dapat dilakukan oleh berbagai pihak agar masyarakat semakin bijak dalam memanfaatkan produk dan layanan jasa keuangan secara digital,” tambah Akshay.
Pemerintah dan OJK sendiri, saat ini telah melakukan berbagai upaya untuk menekan keberadaan fintech ilegal. Selain melalui pembentukan Satgas Waspada Investasi, OJK dan Bank Indonesia juga bersinergi dengan asosiasi yang menaungi perusahaan fintech legal untuk secara aktif melakukan edukasi serta sosialisasi kepada masyarakat tentang industri fintech.
Satgas Waspada Investasi OJK bersama 13 kementerian/lembaga yang menjadi anggotanya terus melakukan edukasi secara masif kepada masyarakat mengingat masih banyaknya penawaran pinjaman online dari perusahaan fintech peer to peer lending tidak berizin yang bisa merugikan masyarakat.
Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L Tobing dalam keterangan tertulis mengatakan, edukasi mengenai pentingnya memilih perusahaan fintech peer to peer lending yang berizin OJK harus semakin gencar dilakukan mengingat Satgas hingga awal Oktober kembali menemukan dan langsung menindak 133 entitas yang melakukan kegiatan fintech peer to peer lending ilegal yang tidak terdaftar di OJK.
"Kami tidak akan menunggu korban masyarakat semakin banyak akibat fintech peer to peer lending ilegal. Sehingga kami langsung menindak temuan fintech lending ilegal dengan meminta Kominfo untuk memblokirnya," tegas Tongam.
Dia mengatakan, OJK terus mengajak berbagai pihak untuk meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai bahaya fintech peer to peer lending ilegal mengingat keberadaannya sangat merugikan. Satgas Waspada Investasi juga melakukan inovasi layanan pengaduan, konsultasi dan sosialisasi langsung kepada masyarakat berkaitan dengan masalah investasi, fintech lending dan gadai swasta illegal. Inovasi tersebut dilakukan dengan membuka Warung Waspada Investasi.
"Kami siap menerima laporan dan pengaduan dari masyarakat berkaitan dengan hal yang menjadi kewenangan Satgas untuk kemudian kami tindak lanjuti," kata Tongam. Pada tahap awal, Warung Waspada Investasi akan dibuka setiap hari Jumat pukul 09.00 – 11.00 WIB bertempat di The Gade Coffee & Gold, Jalan H. Agus Salim, Jakarta Pusat. Di lokasi tersebut juga hadir perwakilan dari 13 kementerian/lembaga anggota Satgas Waspada Investasi. Semuanya akan memberikan pelayanan kepada masyarakat baik berupa pertanyaan maupun aduan mengenai kegiatan investasi ilegal, fintech lending ilegal ataupun gadai swasta ilegal.
Keberadaan Warung Waspada Investasi ini, kata dia, diharapkan akan meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai manfaat dan risiko jasa dan layanan sektor jasa keuangan. Juga semakin membuat masyarakat waspada terhadap maraknya tawaran investasi dan fintech lending ilegal. Hingga 31 Oktober 2019, Satgas Waspada Investasi kembali menemukan 297 entitas baru yang melakukan kegiatan fintech peer to peer lending ilegal yang tidak terdaftar di OJK.
Tak hanya itu, OJK juga melakukan kerja sama sinergis dengan Bank Indonesia, kementerian/lembaga, dan Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) untuk mendukung pencapaian target inklusi keuangan sebesar 75% di akhir 2019. Sinergi yang dilakukan yakni menggelar Bulan Inklusi Keuangan (BIK) selama Oktober 2019 lalu. Tak hanya dilangsungkan di Jakarta tetapi juga di seluruh Indonesia. Tak hanya melibatkan Kantor Regional/Kantor OJK tetapi juga melibatkan kantor cabang PUJK dan stakeholder di daerah. ‘’Pelaksanaan BIK diharapkan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap produk dan layanan jasa keuangan,’’ujar Anggota Dewan Komisioner OJK Bidang Edukasi Perlindungan Konsumen Tirta Segara.
Menghadirkan akses produk keuangan yang praktis, aman dan nyaman di tengah fenomena tumbuhnya ekosistem fintech yang masif tidak hanya menjadi tugas otoritas saja, tetapi juga perlu keterlibatan masyarakat. Masyarakat dituntut untuk semakin cermat, kritis, dan bijaksana dalam melakukan transaksi produk keuangan. Masyarakat perlu memastikan apakah perusahaan fintech lending sudah terdaftar resmi di OJK. Konsumen fintech lending juga harus tahu secara pasti bunga yang diberlakukan di setiap pinjaman. Masyarakat juga harus mengerti hak dan kewajibannya saat mengakses produk dari fintech.
(ven)