Pelaku Industri Hasil Tembakau Resah Promosi Rokok Bakal Dibatasi
A
A
A
BANDUNG - Pelaku industri rokok di Indonesia menyayangkan rencana pemerintah merevisi PP 109 Tahun 2012 yang diperkirakan bakal semakin membatasi promosi brand rokok secara langsung atau di media promosi lainnya. Sejumlah asosiasi yang mewakili Industri Hasil Tembakau (IHT) menyampaikan keberatan, di antaranya Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (GAPRINDO) dan Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (FORMASI).
Mereka meyakini, revisi peraturan ini bukanlah solusi untuk menurunkan prevalensi perokok anak di Indonesia. Usulan ini dianggap mengancam kesinambungan industri yang menaungi penghidupan dari lebih dari 6 juta masyarakat Indonesia.
Beberapa poin yang disayangkan adalah dimana Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bermaksud merevisi ukuran gambar peringatan kesehatan dari 40% menjadi 90%. Kemudian pelarangan bahan tambahan, serta melarang total promosi dan iklan di berbagai media.
“Kami mendukung regulasi yang mencegah anak-anak mengkonsumsi produk tembakau, sebagaimana tercantum dalam PP 109 Tahun 2012. Bahkan, pelaku industri secara sukarela telah menjalankan program sosialisasi bagi para penjual untuk tidak menjual kepada anak. Namun ironisnya, belum ada langkah nyata pemerintah yang ditujukan untuk mencegah perokok anak, sehingga industri rokok yang kemudian disalahkan,” jelas Ketua Umum GAPRINDO Muhaimin Moeftie dalam keterangan resmi di Jakarta, Kamis (28/11/2019).
Pihaknya menyebut, Revisi PP 109 Tahun 2012 diformulasikan tanpa melibatkan para pelaku Industri Hasil Tembakau (IHT) yang merupakan pemangku kepentingan utama dalam pelaksanaan aturan tersebut. Padahal berdasarkan Pasal 96 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 mengenai Pembentukan Peraturan Perundang Undangan memandatkan bahwa setiap pembentukan regulasi harus ada proses konsultasi publik dan transparansi pada setiap tahap perumusan.
Selain itu, juga harus dilengkapi dengan analisis dampak regulasi tersebut (Regulatory Impact Analysis). Salah satu dampak pembatasan merek yang diterapkan ke produk tembakau juga berimbas pada mata rantai produksi yang terlibat, mulai dari tenaga kerja dan petani tembakau dan cengkeh; para tenaga kerja pabrikan; hingga pekerja dan pemilik toko ritel; serta lini usaha lain yang terkait.
Selama lima tahun terakhir, terdapat lebih dari 90.000 tenaga kerja pabrikan yang mengalami PHK. Jumlah produsen juga mengalami penurunan dari 4.000 pelaku industri di tahun 2007 hingga kini hanya ada di kisaran 700 produsen.
Ketua GAPPRI Henry Najoan menyatakan, keresahannya terkait dengan aturan eksesif yang mengancam industri legal. “Kita di industri makin berat. Awalnya pengamanan, lalu pengendalian. Jika kini usulan revisi ini dilanjutkan, maka akan jadi pelarangan produk tembakau. Sebagai produk legal, selayaknya industri produk hasil tembakau dilindungi,” ujar Henry.
Mereka meyakini, revisi peraturan ini bukanlah solusi untuk menurunkan prevalensi perokok anak di Indonesia. Usulan ini dianggap mengancam kesinambungan industri yang menaungi penghidupan dari lebih dari 6 juta masyarakat Indonesia.
Beberapa poin yang disayangkan adalah dimana Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bermaksud merevisi ukuran gambar peringatan kesehatan dari 40% menjadi 90%. Kemudian pelarangan bahan tambahan, serta melarang total promosi dan iklan di berbagai media.
“Kami mendukung regulasi yang mencegah anak-anak mengkonsumsi produk tembakau, sebagaimana tercantum dalam PP 109 Tahun 2012. Bahkan, pelaku industri secara sukarela telah menjalankan program sosialisasi bagi para penjual untuk tidak menjual kepada anak. Namun ironisnya, belum ada langkah nyata pemerintah yang ditujukan untuk mencegah perokok anak, sehingga industri rokok yang kemudian disalahkan,” jelas Ketua Umum GAPRINDO Muhaimin Moeftie dalam keterangan resmi di Jakarta, Kamis (28/11/2019).
Pihaknya menyebut, Revisi PP 109 Tahun 2012 diformulasikan tanpa melibatkan para pelaku Industri Hasil Tembakau (IHT) yang merupakan pemangku kepentingan utama dalam pelaksanaan aturan tersebut. Padahal berdasarkan Pasal 96 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 mengenai Pembentukan Peraturan Perundang Undangan memandatkan bahwa setiap pembentukan regulasi harus ada proses konsultasi publik dan transparansi pada setiap tahap perumusan.
Selain itu, juga harus dilengkapi dengan analisis dampak regulasi tersebut (Regulatory Impact Analysis). Salah satu dampak pembatasan merek yang diterapkan ke produk tembakau juga berimbas pada mata rantai produksi yang terlibat, mulai dari tenaga kerja dan petani tembakau dan cengkeh; para tenaga kerja pabrikan; hingga pekerja dan pemilik toko ritel; serta lini usaha lain yang terkait.
Selama lima tahun terakhir, terdapat lebih dari 90.000 tenaga kerja pabrikan yang mengalami PHK. Jumlah produsen juga mengalami penurunan dari 4.000 pelaku industri di tahun 2007 hingga kini hanya ada di kisaran 700 produsen.
Ketua GAPPRI Henry Najoan menyatakan, keresahannya terkait dengan aturan eksesif yang mengancam industri legal. “Kita di industri makin berat. Awalnya pengamanan, lalu pengendalian. Jika kini usulan revisi ini dilanjutkan, maka akan jadi pelarangan produk tembakau. Sebagai produk legal, selayaknya industri produk hasil tembakau dilindungi,” ujar Henry.
(akr)