Omnibus Law, Jurus Baru Tarik Investasi
A
A
A
PERIZINAN yang berbelit, tumpang tindih kewenangan, dan prosedur perubahan undang-undang (UU) serta aturan turunan yang tidak sederhana menjadi hambatan dalam memacu pertumbuhan investasi. Omnibus Law diyakini bisa menjadi cara jitumengatasi permasalahan tersebut.
Pemerintah menyadari bahwa kerugian dari regulasi dan peraturan yang sulit telah menjadikan pertumbuhan ekonomi terhambat. Untuk itu, upaya penyederhanaan regulasi mulai dioptimalkan. Hal ini dilakukan agar perbaikannya mampu membuat iklim investasi semakin meningkat.
Menyikapi kondisi ini, pemerintah mengajukan dua Rancangan Undang-Undang (RUU) kepada DPR, yakni RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dan RUU Omnibus Law Perpajakan. Upaya penyederhanaan regulasi melalui Omnibus Law diyakini mampu memperbaiki perekonomian nasional.
RUU yang mencakup 11 klaster dan melibatkan 30 kementerian dan lembaga (K/L) ini akan diajukan pertengahan bulan ini. Tepatnya setelah tanggal 10 Januari 2020. Presiden Jokowi juga meminta para menteri terkait agar menyiapkan regulasi turunannya dari RUU Omnibus Law itu karena pemerintah ingin kerja cepat.
Adapun substansi Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja mencakup 11 klaster, yakni penyederhanaan perizinan, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan, pemberdayaan dan perlindungan UMKM, kemudahan berusaha, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengadaan lahan, investasi dan proyek pemerintah, serta kawasan ekonomi.
Sementara itu Omnibus Law Perpajakan yang telah disiapkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencakup enam pilar, yaitu pendanaan investasi, sistem teritori, subjek pajak orang pribadi, kepatuhan wajib pajak, keadilan iklim berusaha, serta fasilitas.
“Untuk peningkatan investasi, kita akan mengejarnya dengan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja; perbaikan ekosistem ketenagakerjaan; percepatan penyelesaian dan penetapan RTRW dan RDTR Kabupaten/Kota; serta percepatan pelaksanaan pengadaan tanah,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
Airlangga mengutarakan terdapat 11 klaster yang terdapat dalam RUU Cipta Lapangan Kerja, yaitu mengenai penyederhanaan perizinan tanah, persyaratan investasi dan ketenagakerjaan. Selain itu juga kemudahan dan perlindungan UMKM, kemudahan berusaha, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengendaliaan lahan, kemudahan proyek pemerintah, dan kawasan ekonomi khusus (KEK).
Salah satu klaster yang masih dalam pembahasan alot adalah klaster ketenagakerjaan yang dikatakan bakal mengatur fleksibilitas jam kerja, proses perekrutan dan pemutusan hubungan kerja (PHK), mempermudah perizinan tenaga kerja asing, sistem pengupahan berbasis jam kerja, aturan mengenai pesangon, serta hubungan antara pekerja dan UMKM.
Alotnya pembahasan klaster ketenagakerjaan ini lantaran kalangan buruh menilai RUU omnibus law bukan cara terbaik untuk meningkatkan investasi dan menciptakan lapangan kerja. Sebaliknya, omnibus law merupakan cara menghancurkan kesejahteraan pekerja.
Kalangan buruh menyatakan ada enam poin ditolak dalam RUU Omnibus Law ini. Salah satu di antaranya yakni terkait soal hilangnya upah minimum. Hal ini, terlihat, dari keinginan pemerintah yang hendak menerapkan sistem upah per jam.
Dengan kata lain, pekerja yang bekerja kurang dari 40 jam seminggu, maka upahnya otomatis akan di bawah upah minimum. “Memang, ada pernyataan yang mengatakan jika pekerja yang bekerja 40 jam seminggu akan mendapat upah seperti biasa. Sedangkan yang di bawah itu menggunakan upah per jam,” kata Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal .
Menyikapi hal itu Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah mengatakan upah dan pesangon akan menjadi beberapa poin yang akan masuk menjadi pasal yang akan dimasukkan dalam Omnibus Law terkait dengan Cipta Lapangan Kerja. Hal itu sekaligus merevisi Undang-undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 yang memiliki konten pengaturan upah dan pesangon.
Menaker mengatakan bahwa pemerintah masih mengkaji beberapa pasal yang dianggap tidak berkontribusi dalam penciptaan lapangan kerja di Indonesia, untuk kemudian dimasukkan dalam Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja.
Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita menilai, penerapan skema pembayaran upah per jam akan mendorong peningkatan investasi yang sekaligus membawa dampak terhadap penciptaan lapangan kerja. “Skema upah per jam dalam omnibus law itu akan menggenjot investasi dan menumbuhkan lapangan kerja baru,” ujarnya.
Menurut Menperin, sistem upah yang dihitung per jam bukanlah hal yang baru dalam dunia tenaga kerja. Sebab, sejumlah negara sudah menggunakan skema tersebut.
Dilansir dari situs World Population Review, ada sepuluh negara memberikan upah per jam dengan nilai besar. Kesepuluh negara itu yakni Luksemburg, Australia, Prancis, Selandia Baru, Jerman, Belanda, Belgia, Inggris, Irlandia, dan Kanada.
Agus menegaskan, untuk sektor industri, akan tetap mengikuti pola gaji minimum bulanan. Namun sektor penunjang industri, seperti sektor jasa dan perdagangan dapat memanfaatkan penerapan upah per jam.
“Jadi, penerapan gaji per jam ini untuk pekerja jasa dan pekerja paruh waktu. Misalnya konsultan. Skema pengupahan per jam sebenarnya sudah lumrah dilakukan di negara-negara maju,” ungkapnya.
Dia menuturkan, pembayaran per jam ini akan membuka kesempatan bagi perusahaan dalam memberikan fleksibilitas untuk menerapkan pengupahannya. “Sebenarnya ini adalah opsi perusahaan maupun pekerja dalam menentukan cara kerja yang paling tepat untuk mereka,” ujarnya.
Saat ini, dengan skema gaji tetap, pekerja yang masuk dengan jumlah hari yang berbeda tetap mendapatkan gaji yang sama. Sementara upah per jam, upah yang diterima pekerja sesuai dengan jam kerjanya. Oleh karena itu, skema ini diharapkan bisa meningkatkan produktivitas pekerja.
Presiden Joko Widodo meminta agar dratf RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dapat segera selesai pekan ini. Menanggapi permintaan presiden, Menaker menuturkan untuk bidang ketenagakerjaan draf tersebut masih dibahas dan akan dirapatkan di tingkat Kementerian Koordinator.
Menurut Menaker, rancangan omnibus law terkait bidang ketenagakerjaan akan difokuskan pada lima isu antara lain, mengenai upah minimum, pesangon bagi pegawai, dan jam kerja. Adapun pembahasannya sudah pada proses pembicaraannya teknis di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Diharapkan draft RUU Omnibus Law Cipta Lapangangan Kerja rampung pekan ini.
Kebijakan Omnibus Law menjadi angin segar bagi iklim investasi Indonesia. Kalangan pengusaha menyambut baik kebijakan tersebut bisa mendorong terjadinya investasi industri yang lebih tinggi.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Roeslani optimistis jika Omnibus Law diterapkan akan memberikan kemudahan berinvestasi terutama dalam perizinan yang selama ini selalu dikeluhkan investor.
Penggunaan konsep Omnibus Law diyakini menjawab permasalahan tumpang tindih aturan perundang-undangandi Indonesia. Meski begitu, dibutuhkan persiapan yang matang agar kebijakan tersebut tidak merugikan perekonomian negara.
“Ini lebih memberikan kepastian karena kita tidak harus lagi mengurus perizinan ke kementerian masing-masing,” ungkapnya.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo juga mengapresiasi skema omnibus law dengan mengeluarkan UU terkait insentif perpajakan untuk mendorong perekonomian dan bisnis. Salah satu hal yang ditunggu publik adalah penurunan tarif PPh, yang menurut rencana akan diturunkan dari 25% menjadi 20% pada tahun 2021.
Pemerintah juga harus segera mencari sumber-sumber baru sebagai basis pajak untuk menambal risiko hilangnya potensi pajak akibat penurunan tarif PPh Badan. (Oktiani Endarwati)
Pemerintah menyadari bahwa kerugian dari regulasi dan peraturan yang sulit telah menjadikan pertumbuhan ekonomi terhambat. Untuk itu, upaya penyederhanaan regulasi mulai dioptimalkan. Hal ini dilakukan agar perbaikannya mampu membuat iklim investasi semakin meningkat.
Menyikapi kondisi ini, pemerintah mengajukan dua Rancangan Undang-Undang (RUU) kepada DPR, yakni RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dan RUU Omnibus Law Perpajakan. Upaya penyederhanaan regulasi melalui Omnibus Law diyakini mampu memperbaiki perekonomian nasional.
RUU yang mencakup 11 klaster dan melibatkan 30 kementerian dan lembaga (K/L) ini akan diajukan pertengahan bulan ini. Tepatnya setelah tanggal 10 Januari 2020. Presiden Jokowi juga meminta para menteri terkait agar menyiapkan regulasi turunannya dari RUU Omnibus Law itu karena pemerintah ingin kerja cepat.
Adapun substansi Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja mencakup 11 klaster, yakni penyederhanaan perizinan, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan, pemberdayaan dan perlindungan UMKM, kemudahan berusaha, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengadaan lahan, investasi dan proyek pemerintah, serta kawasan ekonomi.
Sementara itu Omnibus Law Perpajakan yang telah disiapkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencakup enam pilar, yaitu pendanaan investasi, sistem teritori, subjek pajak orang pribadi, kepatuhan wajib pajak, keadilan iklim berusaha, serta fasilitas.
“Untuk peningkatan investasi, kita akan mengejarnya dengan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja; perbaikan ekosistem ketenagakerjaan; percepatan penyelesaian dan penetapan RTRW dan RDTR Kabupaten/Kota; serta percepatan pelaksanaan pengadaan tanah,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
Airlangga mengutarakan terdapat 11 klaster yang terdapat dalam RUU Cipta Lapangan Kerja, yaitu mengenai penyederhanaan perizinan tanah, persyaratan investasi dan ketenagakerjaan. Selain itu juga kemudahan dan perlindungan UMKM, kemudahan berusaha, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengendaliaan lahan, kemudahan proyek pemerintah, dan kawasan ekonomi khusus (KEK).
Salah satu klaster yang masih dalam pembahasan alot adalah klaster ketenagakerjaan yang dikatakan bakal mengatur fleksibilitas jam kerja, proses perekrutan dan pemutusan hubungan kerja (PHK), mempermudah perizinan tenaga kerja asing, sistem pengupahan berbasis jam kerja, aturan mengenai pesangon, serta hubungan antara pekerja dan UMKM.
Alotnya pembahasan klaster ketenagakerjaan ini lantaran kalangan buruh menilai RUU omnibus law bukan cara terbaik untuk meningkatkan investasi dan menciptakan lapangan kerja. Sebaliknya, omnibus law merupakan cara menghancurkan kesejahteraan pekerja.
Kalangan buruh menyatakan ada enam poin ditolak dalam RUU Omnibus Law ini. Salah satu di antaranya yakni terkait soal hilangnya upah minimum. Hal ini, terlihat, dari keinginan pemerintah yang hendak menerapkan sistem upah per jam.
Dengan kata lain, pekerja yang bekerja kurang dari 40 jam seminggu, maka upahnya otomatis akan di bawah upah minimum. “Memang, ada pernyataan yang mengatakan jika pekerja yang bekerja 40 jam seminggu akan mendapat upah seperti biasa. Sedangkan yang di bawah itu menggunakan upah per jam,” kata Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal .
Menyikapi hal itu Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah mengatakan upah dan pesangon akan menjadi beberapa poin yang akan masuk menjadi pasal yang akan dimasukkan dalam Omnibus Law terkait dengan Cipta Lapangan Kerja. Hal itu sekaligus merevisi Undang-undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 yang memiliki konten pengaturan upah dan pesangon.
Menaker mengatakan bahwa pemerintah masih mengkaji beberapa pasal yang dianggap tidak berkontribusi dalam penciptaan lapangan kerja di Indonesia, untuk kemudian dimasukkan dalam Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja.
Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita menilai, penerapan skema pembayaran upah per jam akan mendorong peningkatan investasi yang sekaligus membawa dampak terhadap penciptaan lapangan kerja. “Skema upah per jam dalam omnibus law itu akan menggenjot investasi dan menumbuhkan lapangan kerja baru,” ujarnya.
Menurut Menperin, sistem upah yang dihitung per jam bukanlah hal yang baru dalam dunia tenaga kerja. Sebab, sejumlah negara sudah menggunakan skema tersebut.
Dilansir dari situs World Population Review, ada sepuluh negara memberikan upah per jam dengan nilai besar. Kesepuluh negara itu yakni Luksemburg, Australia, Prancis, Selandia Baru, Jerman, Belanda, Belgia, Inggris, Irlandia, dan Kanada.
Agus menegaskan, untuk sektor industri, akan tetap mengikuti pola gaji minimum bulanan. Namun sektor penunjang industri, seperti sektor jasa dan perdagangan dapat memanfaatkan penerapan upah per jam.
“Jadi, penerapan gaji per jam ini untuk pekerja jasa dan pekerja paruh waktu. Misalnya konsultan. Skema pengupahan per jam sebenarnya sudah lumrah dilakukan di negara-negara maju,” ungkapnya.
Dia menuturkan, pembayaran per jam ini akan membuka kesempatan bagi perusahaan dalam memberikan fleksibilitas untuk menerapkan pengupahannya. “Sebenarnya ini adalah opsi perusahaan maupun pekerja dalam menentukan cara kerja yang paling tepat untuk mereka,” ujarnya.
Saat ini, dengan skema gaji tetap, pekerja yang masuk dengan jumlah hari yang berbeda tetap mendapatkan gaji yang sama. Sementara upah per jam, upah yang diterima pekerja sesuai dengan jam kerjanya. Oleh karena itu, skema ini diharapkan bisa meningkatkan produktivitas pekerja.
Presiden Joko Widodo meminta agar dratf RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dapat segera selesai pekan ini. Menanggapi permintaan presiden, Menaker menuturkan untuk bidang ketenagakerjaan draf tersebut masih dibahas dan akan dirapatkan di tingkat Kementerian Koordinator.
Menurut Menaker, rancangan omnibus law terkait bidang ketenagakerjaan akan difokuskan pada lima isu antara lain, mengenai upah minimum, pesangon bagi pegawai, dan jam kerja. Adapun pembahasannya sudah pada proses pembicaraannya teknis di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Diharapkan draft RUU Omnibus Law Cipta Lapangangan Kerja rampung pekan ini.
Kebijakan Omnibus Law menjadi angin segar bagi iklim investasi Indonesia. Kalangan pengusaha menyambut baik kebijakan tersebut bisa mendorong terjadinya investasi industri yang lebih tinggi.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Roeslani optimistis jika Omnibus Law diterapkan akan memberikan kemudahan berinvestasi terutama dalam perizinan yang selama ini selalu dikeluhkan investor.
Penggunaan konsep Omnibus Law diyakini menjawab permasalahan tumpang tindih aturan perundang-undangandi Indonesia. Meski begitu, dibutuhkan persiapan yang matang agar kebijakan tersebut tidak merugikan perekonomian negara.
“Ini lebih memberikan kepastian karena kita tidak harus lagi mengurus perizinan ke kementerian masing-masing,” ungkapnya.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo juga mengapresiasi skema omnibus law dengan mengeluarkan UU terkait insentif perpajakan untuk mendorong perekonomian dan bisnis. Salah satu hal yang ditunggu publik adalah penurunan tarif PPh, yang menurut rencana akan diturunkan dari 25% menjadi 20% pada tahun 2021.
Pemerintah juga harus segera mencari sumber-sumber baru sebagai basis pajak untuk menambal risiko hilangnya potensi pajak akibat penurunan tarif PPh Badan. (Oktiani Endarwati)
(nfl)