Potensi Resesi Ekonomi Dunia Semakin Menurun
A
A
A
JAKARTA - Direktur BNI Asset Management Putut Andanawarih memproyeksikan tahun ini risiko terjadi resesi mulai berkurang karena data-data ekonomi dunia tidak seburuk yang dikhawatirkan. Sementara era suku bunga rendah masih berlanjut atau persists, karena masih dibutuhkan insentif untuk menstimulus ekonomi.
Dari Amerika Serikat (AS) fokusnya adalah konsumsi domestik, karena hal tersebut yang menopang pertumbuhan ekonomi AS di tahun 2019. "Jika konsumsi domestik di AS berhasil dijaga, kami rasa potensi resesi dapat berkurang. Di China, stimulus sepertinya masih akan diberikan, mengingat perang dagang masih menjadi overhang. Meskipun tensinya sedikit menurun," ujar Putut di Jakarta, Minggu (19/1/2020).
Menurut dia, perekonomian nasional di tahun 2020 diprediksi lebih baik dibandingkan tahun 2019. Konsolidasi pasca Pilpres 2019 membuat pemerintah lebih fokus untuk mengerjakan rencana dan kebijakan-kebijakan yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.
Kebijakan Omnibus Law menjadi salah satu yang ditunggu, karena di dalamnya mengatur UU Tenaga Kerja, pemotongan pajak korporasi yang dapat mendorong investasi masuk ke Indonesia.
"Struktur neraca perdagangan Indonesia juga terlihat membaik, terutama dari sisi migas. Terlihat impor migas Indonesia berangsur membaik selama 2019, yang merupakan katalis positif bagi nilai tukar Rupiah," imbuh Putut.
Chief Economist & Investment Strategist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) Katarina Setiawan mengatakan di tahun lalu kinerja pada negara-negara maju atau Developed Markets di atas pasar Asia. Ini terlihat dari kinerja tinggi Developed Markets, tercatat indeks S&P 500 di AS naik 29% di 2019.
"Untuk tahun 2020 pasar negara maju dan negara Asia masih memiliki potensi yang cukup baik. Terutama di tengah ekspektasi stabilisasi ekonomi dan perbaikan aktivitas perdagangan global," ujar Katarina beberapa waktu lalu.
Menurut dia, pasar saham kawasan Asia akan menawarkan valuasi yang lebih atraktif, dan potensi pertumbuhan earnings yang lebih tinggi di kisaran 10-12%. Sebaliknya, hanya berkisar 8-10% untuk developed markets.
"Ada ekspektasi perbaikan aktivitas perdagangan yang diharapkan bisa menguntungkan kinerja pasar Asia. Perusahaan di Asia dikenal sebagai 'pabrik dunia'," ujarnya.
Sementara itu, di awal tahun 2020 pasar juga dikejutkan peningkatan tensi geopolitik antara AS dan Iran. Pihaknya masih terus memonitor perkembangan konflik tersebut.
Saat ini masih terlalu dini untuk memperkirakan dampak dari konflik terhadap ekonomi karena belum diketahui konflik ini akan tereskalasi atau mereda dalam waktu dekat.
"Apabila konflik ini tereskalasi, risiko utama terhadap ekonomi adalah kenaikan harga minyak. Minyak juga salah satu komponen beban utama bagi perusahaan di beberapa sektor, sehingga akan menekan profitabilitas. Selain itu kenaikan harga minyak berarti inflasi dan menjadi faktor utama bank sentral global untuk memutuskan tingkat suku bunga," ujarnya.
Iran berada di selat Hormuz yang merupakan perairan penting dalam logistik industri minyak, di mana sekitar 21% dari konsumsi minyak dunia disuplai melalui Selat Hormuz.
Dari Amerika Serikat (AS) fokusnya adalah konsumsi domestik, karena hal tersebut yang menopang pertumbuhan ekonomi AS di tahun 2019. "Jika konsumsi domestik di AS berhasil dijaga, kami rasa potensi resesi dapat berkurang. Di China, stimulus sepertinya masih akan diberikan, mengingat perang dagang masih menjadi overhang. Meskipun tensinya sedikit menurun," ujar Putut di Jakarta, Minggu (19/1/2020).
Menurut dia, perekonomian nasional di tahun 2020 diprediksi lebih baik dibandingkan tahun 2019. Konsolidasi pasca Pilpres 2019 membuat pemerintah lebih fokus untuk mengerjakan rencana dan kebijakan-kebijakan yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.
Kebijakan Omnibus Law menjadi salah satu yang ditunggu, karena di dalamnya mengatur UU Tenaga Kerja, pemotongan pajak korporasi yang dapat mendorong investasi masuk ke Indonesia.
"Struktur neraca perdagangan Indonesia juga terlihat membaik, terutama dari sisi migas. Terlihat impor migas Indonesia berangsur membaik selama 2019, yang merupakan katalis positif bagi nilai tukar Rupiah," imbuh Putut.
Chief Economist & Investment Strategist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) Katarina Setiawan mengatakan di tahun lalu kinerja pada negara-negara maju atau Developed Markets di atas pasar Asia. Ini terlihat dari kinerja tinggi Developed Markets, tercatat indeks S&P 500 di AS naik 29% di 2019.
"Untuk tahun 2020 pasar negara maju dan negara Asia masih memiliki potensi yang cukup baik. Terutama di tengah ekspektasi stabilisasi ekonomi dan perbaikan aktivitas perdagangan global," ujar Katarina beberapa waktu lalu.
Menurut dia, pasar saham kawasan Asia akan menawarkan valuasi yang lebih atraktif, dan potensi pertumbuhan earnings yang lebih tinggi di kisaran 10-12%. Sebaliknya, hanya berkisar 8-10% untuk developed markets.
"Ada ekspektasi perbaikan aktivitas perdagangan yang diharapkan bisa menguntungkan kinerja pasar Asia. Perusahaan di Asia dikenal sebagai 'pabrik dunia'," ujarnya.
Sementara itu, di awal tahun 2020 pasar juga dikejutkan peningkatan tensi geopolitik antara AS dan Iran. Pihaknya masih terus memonitor perkembangan konflik tersebut.
Saat ini masih terlalu dini untuk memperkirakan dampak dari konflik terhadap ekonomi karena belum diketahui konflik ini akan tereskalasi atau mereda dalam waktu dekat.
"Apabila konflik ini tereskalasi, risiko utama terhadap ekonomi adalah kenaikan harga minyak. Minyak juga salah satu komponen beban utama bagi perusahaan di beberapa sektor, sehingga akan menekan profitabilitas. Selain itu kenaikan harga minyak berarti inflasi dan menjadi faktor utama bank sentral global untuk memutuskan tingkat suku bunga," ujarnya.
Iran berada di selat Hormuz yang merupakan perairan penting dalam logistik industri minyak, di mana sekitar 21% dari konsumsi minyak dunia disuplai melalui Selat Hormuz.
(ind)