Dana FLPP Menipis, Perumahan MBR Perlu Alternatif Subsitusi

Kamis, 23 Januari 2020 - 13:49 WIB
Dana FLPP Menipis, Perumahan...
Dana FLPP Menipis, Perumahan MBR Perlu Alternatif Subsitusi
A A A
JAKARTA - Backlog perumahan di Indonesia untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) cukup tinggi. Di sisi lain, dukungan alokasi dana subsidi dari pemerintah cenderung menurun. Program Sejuta Rumah pun terancam gagal jika penambahan kuota Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Properti (FLPP) yang saat ini menipis tidak segera dicairkan.

"Backlog rumah didominasi oleh segmen masyarakat berpenghasilan Rp7 juta ke bawah, sementara dana alokasi perumahan untuk segmen ini masih terbatas," ungkap Plt. Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Properti, Setyo Maharso di Menara Kadin Indonesia, Kamis (23/1/2020).

Setyo mengatakan, dana FLPP sudah lampu merah dan membahayakan sehingga perlu dicarikan alternatif substitusi. Sedikitnya ada 174 industri ikutan yang terkait dalam lingkaran industri properti yang dinilai sebagai salah satu sektor yang bisa menggerakkan perekonomian nasional secara masif.

"Keberlangsungan stabilitas industri properti perlu dijaga. Salah satunya dengan penambahan kuota FLPP dan alternatif subtitusinya," kata Setyo.

Dia menyebutkan, ada beberapa jalan yang bisa ditempuh di antaranya adalah pertama, pengalihan dari dana bantuan prasarana, sarana dan utilitas (PSU) dan subsidi bantuan uang muka (SBUM) menjadi mekanisme Subsidi Selisih Bunga (SSB) untuk tahun 2020. Pengalihan ini akan menambah bantuan sebesar 128.125 unit.

Kedua, Setyo menyebut dana APBD yang mengendap bisa menjadi alternatif pembiayaan yang bisa dikembangkan. Dana pemerintah pusat yang mengendap di rekening Pemda hingga Rp186 triliun bila ditarik ke pusat 10%, yakni Rp18,6 triliun bisa dialihkan ke perumahan sederhana.

Hal ini sesuai dengan UU No 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman bahwa rumah umum mendapatkan kemudahan dan/atau bantuan dari pemerintah dan pemerintah daerah.

Ketiga, lanjut dia, yakni dengan optimalisasi peranan BPJS TK dan SMF untuk perumahan yang perlu didorong, karena selama ini porsi penyalurannya yang masih sedikit. Untuk BPJS TK, perlu ada titik temu di Kemenaker untuk tingkat bunga optimal antara bank dan BPJS TK agar nanti dengan perbankan dan peserta bisa optimal dalam penyaluran perumahan pekerja.

Sementara SMF dapat ditingkatkan peranannya secara lebih besar untuk pembiayaan perumahan rakyat. Perlu ditingkatkan fleksibilitas SMF dalam mendapatkan dan menyalurkan pendanaan.

Keempat, Setyo mengatakan potensi sumber pendanaan juga bisa dari realokasi sebagian APBN 2020 untuk subsidi LPG yang mungkin tidak tepat sasaran.

"Sekarang ini jumlah anggaran untuk rumah subsidi sudah semakin ketat, program yang mengacu kepada APBN pun masih akan sulit untuk mendapatkan alokasi dana tambahan. Kita harapkan semua pihak mulai dari pemerintah dan DPR bisa mendukung realisasi program perumahan untuk rakyat melalui optimalisasi kebijakan fiskal," tambah dia.

Sementara itu, dana Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) belum bisa dimanfaatkan sebagai alternatif karena masih menunggu mekanisme yang siap untuk karyawan swasta. Sementara tahun 2020 ini berlaku hanya untuk ASN, TNI, Polri.

"Dana Tapera belum bisa langsung diberdayakan karena sumber dasarnya adalah tabungan sehingga masyarakat harus nabung dulu baru bisa untuk pendanaan rumah," kata Setyo.

Ketua Umum Real Estate Indonesia (REI), Totok Lusida, menyampaikan kebutuhan perumahan MBR adalah 260.000 unit untuk tahun 2020 dengan kebutuhan anggaran Rp29 triliun. Dana yang sudah dianggarkan di APBN 2020 adalah Rp11 triliun ekuivalen dengan 97.700 unit. Sehingga masih dibutuhkan dana Rp18 triliun.

"Kami mengusulkan pengkategorian konsumen menjadi 2 bagian yaitu yang berpenghasilan kurang dari Rp4 juta disalurkan anggaran Rp1 triliun dengan bunga 5% selama 20 tahun, sehingga dapat mengkover 8.888 unit rumah. Sementara untuk konsumen berpenghasilan antara Rp4-5 juta disalurkan anggaran sebesar Rp10 triliun dengan bunga 8% selama 20 tahun sehingga dapat mengkover 141.300 unit rumah. Sehingga anggaran Rp11 triliun dapat mengkover hingga 150.188 unit rumah," papar Totok.

Sisa kekurangan dana dapat dicarikan melalui beberapa alternatif substitusi seperti yang sudah disampaikan seperti pengalihan dana SSB dan BP2BT, realokasi subsidi gas dan peranan lebih besar dari BPJS TK dan SMF.

Ketua Umum Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra), Endang Kawidjaya, mengatakan sasaran sumber dana perlu diputuskan mana yang paling tepat, agar masalah di tahun-tahun lalu tidak terulang.

"Jika dana dari BPJS TK dan subsidi yang tidak tepat sasaran seperti subsidi gas bisa disalurkan untuk perumahan rakyat, pembahasan dana FLPP langsung bisa selesai," kata Endang.

Menurut informasi yang diterima Himppera, 70% penerima dana FLPP adalah peserta BPJS TK sehingga demi keadilan terpenuhinya akses pekerja anggota BPJS TK terhadap KPR maka perlu adanya dukungan dana porsi APBN dari BPJS TK.

"Namun sayangnya dana BPJS TK terhalang oleh aturan yang mengatur tingkat imbal hasil bunga dana BPJS TK yang terlalu tinggi. Aturan ini harus dipertimbangkan ulang," papar Endang.

Ketua Umum Pengembang Indonesia (PI), Barkah Hidayat, menyebut sebanyak 85% anggota PI adalah pengembang perumahan FLPP yang sangat rentan terhadap pergerakan pembiayaan konsumen. "Jika pembiayaan terhambat maka akan ada multiplier effect ke stakeholder lain yaitu perbankan, kontraktor, vendor dan akhirnya ke konsumen juga".

Oleh karena itu, sambung Barkah, ke depan agar tidak terjadi lagi hal seperti ini, sebaiknya angka kuota FLPP tidak ditentukan sepihak oleh pemerintah namun berdasarkan data bersama seluruh organisasi. Dengan begitu, akan diketahui berapa besar kebutuhan sebenarnya.

Dia pun menegaskan, pihaknya banyak menerima laporan dari daerah mengenai rumitnya aturan dengan aplikasi FLPP. Harapannya, ke depan prosedur FLPP dapat dipermudah. "Jangan sampai rumahnya sederhana, tapi peraturannya tidak sederhana," pungkas dia.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1794 seconds (0.1#10.140)