Usai Plastik, Cukai Incar Produk Berpemanis
A
A
A
JAKARTA - Produk plastik tak lama lagi bakal terkena cukai setelah Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui usulan Kementerian Keuangan untuk mengenakan pungutan untuk produk jenis tersebut.
Persetujuan DPR itu merupakan kesimpulan rapat kerja (raker) mengenai ekstensifikasi barang kena cukai berupa kantong plastik. Menteri Keuangan Sri Mulyani sudah mengusulkan besar tarif cukai kantong plastik sebesar Rp30.000/kg atau Rp200 untuk perlembarnya.
Setelah plastik, pemerintah tampaknya mengincar sejumlah jenis produk lain untuk dikenai cukai. Jenis produk lain yang diincar demi menggenjot penerimaan negara dari pajak ini antaralain minuman berpemanis dan kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar fosil.
“Jadi kita ketok dulu, Komisi XI DPR menyetujui rencana pemerintah untuk melakukan penambahan jenis barang kena cukai berupa produk plastik,” ujar Ketua Rapat Komisi XI DPR Dito Ganinduto, Jakarta, kemarin.
Sri Mulyani Indrawati menandaskan, kebijakan cukai plastik sudah harus dilakukan. Pasalnya, Indonesia menjadi negara urutan kedua penyumbang sampah plastik terbanyak ke laut. Dengan kebijakan ini diharapkan Indonesia bisa menjadi negara ramah lingkungan. (Baca: Kenakan Cukai Plastik, Sri Mulyani Tagih Keputusan DPR)
“Berdasarkan data yang di miliki, produksi plastik di Indonesia sebanyak 107 juta kg per tahun. Pengenaan cukai ini akan menurunkan konsumsi 50% atau hanya menjadi 53 juta kg pertahun,” ujar dia.
Pengenaan cukai plastik tentu saja akan menjadi sumber pendapatan baru. Berdasarkan usulan besaran cukai plastik Rp30.000/kg, atau Rp200 un tuk perlembarnya yang disampaikan ke DPR, penerimaan dari cukai plastik ini diperkirakan akan mencapai Rp1,6 triliun pertahun.
“Usulan cukai plastik ini berlaku bagi kantong kresek. Besaran tarif cukai tersebut sesuai dengan kajian komprehensif yang sudah dilakukan oleh Kementerian Keuangan,” papar Sri Mulyani.
Dia mengakui penerapan cukai kantong plastik diterapkan akan berdampak pada kenaikan harga kantong plastik. Saat ini, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mengenakan harga kantong plastik sebesar Rp200/lembar sampai Rp500/lembar. Namun, setelah dikenakan cukai akan naik mulai Rp450/lembar.
Lantas bagaimana cara pembayaran cukai plastik? Menurut Sri Mulyani, pembayaran cukai kantong plastik akan dilakukan ketika keluar dari pabrik dan pelabuhan. Para pengusaha atau perusahaan nantinya harus membayar cukai secara berkala atau setiap bulan. “Nantinya akan ada mekanisme pengawasan fisik, pelaporan produksi, hingga tim audit. Ada registrasi pabrikan, pelaporan produksi, pengawasan fisik, dan audit,” ungkapnya.
Pengenaan cukai plastik sudah dikejar pemerintah pada DPR periode sebelumnya. Pasalnya, otoritas fiskal sudah memenuhi semua permintaan DPR terkait rencana penambahan barang kena cukai (BKC) baru tersebut. Permintaan DPR agar Kemenkeu melakukan studi banding dan pembahasan detailpun sudah dilakukan.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman mengatakan, pe ngenaan cukai pada produk plastik akan menaikkan harga sehingga pada akhirnya menurunkan daya beli masyarakat. “Ini hal lama yang diulang lagi. Kami pernah melakukan kajian bahwa pengenaan cukai akan menaikkan harga dan akhirnya menurunkan daya beli masyarakat,” ujarnya, Rabu (19/2).
Menurut Adhi, belum ada data yang menunjukkan pengenaan cukai bisa menurunkan penyakit tidak menular (PTM) dan obesitas sehingga perlu dikaji ulang jika itu tujuan pengenaan cukai produk plastik. “Peran produk pangan olahan 30% dari total konsumsi pangan. Jadi, alasan mengatasi PTM dan obesitas tidak tepat sasaran. Sebagian besar konsumsi segar dan olahan rumah tangga,” jelasnya.
Apabila tujuannya untuk menurunkan PTM dan obesitas, pelaku usaha sudah berupaya membantu pemerintah melalui berbagai cara. Diantaranya melalui edukasi konsumen, reformulasi produk, dan mencari alternatif pemanis yang lebih baik. “Di sisi lain dalam kajian yang lalu, bisa menurunkan pendapatan pajak. Kami sangat mengkhawatirkan ini karena tujuannya harus jelas. Kalau judulnya ‘Potensi Penerimaan’, apakah tepat pemerintah melakukan ini?” tandasnya.
Terendah di ASEAN
Selain karena alasan penyelamatan lingkungan, Sri Mulyani juga menyebut Indonesia merupakan negara paling rendah dalam penerapan cukai. “Kalau dibandingkan ASEAN, Indonesia negara paling sedikit instrumen cukai sebagai fungsi pengendalian. Dalam hal ini Thailand yang paling banyak menerapkan cukai, 21 sendiri. Dari emisi fuel alias bahan bakar, tembakau, dan minuman keras,” ujar Sri di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.
Karena itulah, selain cukai plastik, Sri Mulyani juga mengincar sejumlah jenis produk lain untuk dikenai cukai. Salah satunya cukai minuman berpemanis. Untuk itu, dia juga meminta persetujuan pada Komisi XI DPR agar kebijakan cukai minuman berpemanis bisa diselesaikan. “Untuk minuman berpemanis ini apabila disetujui objek kena cukai, kami usulkan minuman yang siap dikonsumsi,” ujar Sri Mulyani kemarin.
Wacana cukai minuman berpemanis sebetulnya sudah lama digulirkan. Alasan utama pemerintah menerapkan cukai terhadap produk minuman berpemanis karena menjadi penyebab utama diabetes yang angka penderitanya di Tanah Air melonjak sehingga menurunkan tingkat kesehatan masyarakat Indonesia. “Kita semua tahu diabetes salah satu penyakit yang jadi paling tinggi fenomenanya dan tumbuh terutama seiring kenaikan income masyarakat. Implikasi diabetes bermacam-macam,” katanya. (Baca juga: Pelaku Industri Cemas Penerapan Pajak Plastik Akan Hambat Investasi)
Kendati demikian, mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu memberikan pengecualian atau pembebasan cukai terhadap produk minuman berpemanis yang dibuat dan dikemas non pabrikasi, madu dan jus sayur tanpa tambahan gula, dan barang yang diekspor. “Kami usulkan pengecualian untuk barang yang dibuat atau dikemas non pabrikasi (sederhana) misal UMKM. Kemudian madu dan jus sayur tanpa tambahan gula. Kemudian barang berpemanis yang diekspor atau rusak atau musnah,” jelasnya. Adapun tarif cukai yang diusulkan pada produk minuman berpemanis adalah Rp1.500 perliter untuk teh kemasan. Produksi teh kemasan ini mencapai 2.191 juta liter pertahun, dari total produksi itu potensi penerimaannya mencapai Rp2,7 triliun. Untuk produk karbonasi Kemenkeu mengusulkan tarif cukainya sebesar Rp2.500 per liter. Tercatat produksi minuman karbonasi ini mencapai 747 juta liter. Dari sini potensi penerimaan negara mencapai Rp1,7 triliun. Usulan selanjutnya adalah tarif cukai untuk produk minuman berpemanis lain seperti minuman berenergi, kopi, konsentrat, dan lainnya Rp2.500 per liter. Total produksi minuman ini 808 juta liter dengan potensi penerimaan Rp1,85 triliun.
Selain produk berpemanis, pemerintah juga mengincar kendaraan bermotor yang masih mengeluarkan emisi CO2 alias kendaraan berbasis bahan bakar fosil untuk dikenai cukai. Pemerintah beralasan efek yang ditimbulkan kendaraan berbahan bakar fosil adalah polusi yang juga berkontribusi pada perubahan iklim. “Semua negara fuel emission menimbulkan polusi dan kemudian menimbulkan efek rumah kaca atau fenomena climate change, tidak hanya kesehatan langsung, tapi juga sustainabilitas lingkungan,” katanya.
Namun, lanjut Sri, subjek cukai atau yang wajib membayar cukai emisi karbon tersebut pabrikan dan importir. “Pabrikan yang akan membayar, jadi bukan pengguna. Tiap produsen harus bayar dan tarif cukainya avalorum dan atau spesifik multi tarif berdasarkan emisi CO2 yang dihasilkan dengan aspek keseimbangan dan keadilan,” ucapnya.
Dia lantas menggariskan, akan ada pengecualian bagi kendaraan bermotor yang tidak menghasilkan emisi CO2, seperti mobil atau motor listrik. “Kendaran umum, pemerintah, keperluan khusus seperti ambulans, mobil pemadam kebakaran dan angkutan juga tidak dikenakan,” imbuhnya.
Selain terkait penyelamatan lingkungan, pemerintah juga tengah mempertimbangkan pengenaan cukai pada barang yang dinilai membahayakan.Sri Mulyani menyebut banyak negara yang melakukan pengenaan cukai untuk barang yang membahayakan tersebut.
Komisi XI DPR memberi sinyal persetujuannya untuk perluasan cukai. Bahkan dalam rapat tersebut anggota Komisi XI juga meminta Sri Mulyani menerapkan cukai pada klub malam, diskotek, dan judi karena hal tersebut sudah banyak dilakukan di beberapa negara. Pengenaan cukai judi dan klub malam ini sudah diterapkan di negara ASEAN seperti Thailand, Kamboja, Laos dan Malaysia. “Mengapa klub malam, diskotek, rokok, dan judi tidak kita kenai cukai juga? Ini demi peradaban,” ujar Anggota Komisi XI Fraksi DPR Agung Rai Wirajaya di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.
Sebelumnya pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics andFinance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menyatakan perlunya penambahan objek barang kena cukai selain kantong plastik dengan alasan pengendalian.
Dalam pandangannya, apabila penambahan barang kena cukai hanya dilakukan pada kantong plastik, maka kontribusi yang didapatkan penerimaan cukai pada APBN tidak akan maksimal. “Penambahan objek kena cukai perlu segera dilakukan dengan alasan pengendalian dampak negatif kesehatan dan lingkungan,” ucapnya.
Dia kemudian mengingatkan agar pemerintah dan DPR perlu bertindak cepat dalam menambahkan objek cukai karena Indonesia tertinggal jauh dari negara lain dalam jumlah objek kena cukai. “Dengan penambahan beberapa objek cukai maka akan ada penurunan konsumsi masyarakat atas produk-produk yang memberikan dampak negatif bagi kesehatan dan lingkungan,” ucapnya.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo juga mempunyai pandangan sama. Menurut dia, Indonesia selama ini hanya mengandalkan cukai dari industri hasil tembakau dan minuman beralkohol. Padahal, jika dibandingkan dengan negara ASEAN lain, ada banyak objek cukai. Dijelaskan, Thailand punya sedikitnya 11 jenis produk objek cukai, dari hasil tembakau, kendaraan bermotor, bensin, hingga minuman berpemanis. “Indonesia adalah negara yang paling sedikit memiliki jenis barang kena cukai (BKC). Kalah dibandingkan Laos, Myanmar, Malaysia, apalagi Thailand,” ujarnya. (Rina Anggraeni/Oktiani Endarwati/SINDOnews.com/Hafid Fuad)
Persetujuan DPR itu merupakan kesimpulan rapat kerja (raker) mengenai ekstensifikasi barang kena cukai berupa kantong plastik. Menteri Keuangan Sri Mulyani sudah mengusulkan besar tarif cukai kantong plastik sebesar Rp30.000/kg atau Rp200 untuk perlembarnya.
Setelah plastik, pemerintah tampaknya mengincar sejumlah jenis produk lain untuk dikenai cukai. Jenis produk lain yang diincar demi menggenjot penerimaan negara dari pajak ini antaralain minuman berpemanis dan kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar fosil.
“Jadi kita ketok dulu, Komisi XI DPR menyetujui rencana pemerintah untuk melakukan penambahan jenis barang kena cukai berupa produk plastik,” ujar Ketua Rapat Komisi XI DPR Dito Ganinduto, Jakarta, kemarin.
Sri Mulyani Indrawati menandaskan, kebijakan cukai plastik sudah harus dilakukan. Pasalnya, Indonesia menjadi negara urutan kedua penyumbang sampah plastik terbanyak ke laut. Dengan kebijakan ini diharapkan Indonesia bisa menjadi negara ramah lingkungan. (Baca: Kenakan Cukai Plastik, Sri Mulyani Tagih Keputusan DPR)
“Berdasarkan data yang di miliki, produksi plastik di Indonesia sebanyak 107 juta kg per tahun. Pengenaan cukai ini akan menurunkan konsumsi 50% atau hanya menjadi 53 juta kg pertahun,” ujar dia.
Pengenaan cukai plastik tentu saja akan menjadi sumber pendapatan baru. Berdasarkan usulan besaran cukai plastik Rp30.000/kg, atau Rp200 un tuk perlembarnya yang disampaikan ke DPR, penerimaan dari cukai plastik ini diperkirakan akan mencapai Rp1,6 triliun pertahun.
“Usulan cukai plastik ini berlaku bagi kantong kresek. Besaran tarif cukai tersebut sesuai dengan kajian komprehensif yang sudah dilakukan oleh Kementerian Keuangan,” papar Sri Mulyani.
Dia mengakui penerapan cukai kantong plastik diterapkan akan berdampak pada kenaikan harga kantong plastik. Saat ini, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mengenakan harga kantong plastik sebesar Rp200/lembar sampai Rp500/lembar. Namun, setelah dikenakan cukai akan naik mulai Rp450/lembar.
Lantas bagaimana cara pembayaran cukai plastik? Menurut Sri Mulyani, pembayaran cukai kantong plastik akan dilakukan ketika keluar dari pabrik dan pelabuhan. Para pengusaha atau perusahaan nantinya harus membayar cukai secara berkala atau setiap bulan. “Nantinya akan ada mekanisme pengawasan fisik, pelaporan produksi, hingga tim audit. Ada registrasi pabrikan, pelaporan produksi, pengawasan fisik, dan audit,” ungkapnya.
Pengenaan cukai plastik sudah dikejar pemerintah pada DPR periode sebelumnya. Pasalnya, otoritas fiskal sudah memenuhi semua permintaan DPR terkait rencana penambahan barang kena cukai (BKC) baru tersebut. Permintaan DPR agar Kemenkeu melakukan studi banding dan pembahasan detailpun sudah dilakukan.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman mengatakan, pe ngenaan cukai pada produk plastik akan menaikkan harga sehingga pada akhirnya menurunkan daya beli masyarakat. “Ini hal lama yang diulang lagi. Kami pernah melakukan kajian bahwa pengenaan cukai akan menaikkan harga dan akhirnya menurunkan daya beli masyarakat,” ujarnya, Rabu (19/2).
Menurut Adhi, belum ada data yang menunjukkan pengenaan cukai bisa menurunkan penyakit tidak menular (PTM) dan obesitas sehingga perlu dikaji ulang jika itu tujuan pengenaan cukai produk plastik. “Peran produk pangan olahan 30% dari total konsumsi pangan. Jadi, alasan mengatasi PTM dan obesitas tidak tepat sasaran. Sebagian besar konsumsi segar dan olahan rumah tangga,” jelasnya.
Apabila tujuannya untuk menurunkan PTM dan obesitas, pelaku usaha sudah berupaya membantu pemerintah melalui berbagai cara. Diantaranya melalui edukasi konsumen, reformulasi produk, dan mencari alternatif pemanis yang lebih baik. “Di sisi lain dalam kajian yang lalu, bisa menurunkan pendapatan pajak. Kami sangat mengkhawatirkan ini karena tujuannya harus jelas. Kalau judulnya ‘Potensi Penerimaan’, apakah tepat pemerintah melakukan ini?” tandasnya.
Terendah di ASEAN
Selain karena alasan penyelamatan lingkungan, Sri Mulyani juga menyebut Indonesia merupakan negara paling rendah dalam penerapan cukai. “Kalau dibandingkan ASEAN, Indonesia negara paling sedikit instrumen cukai sebagai fungsi pengendalian. Dalam hal ini Thailand yang paling banyak menerapkan cukai, 21 sendiri. Dari emisi fuel alias bahan bakar, tembakau, dan minuman keras,” ujar Sri di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.
Karena itulah, selain cukai plastik, Sri Mulyani juga mengincar sejumlah jenis produk lain untuk dikenai cukai. Salah satunya cukai minuman berpemanis. Untuk itu, dia juga meminta persetujuan pada Komisi XI DPR agar kebijakan cukai minuman berpemanis bisa diselesaikan. “Untuk minuman berpemanis ini apabila disetujui objek kena cukai, kami usulkan minuman yang siap dikonsumsi,” ujar Sri Mulyani kemarin.
Wacana cukai minuman berpemanis sebetulnya sudah lama digulirkan. Alasan utama pemerintah menerapkan cukai terhadap produk minuman berpemanis karena menjadi penyebab utama diabetes yang angka penderitanya di Tanah Air melonjak sehingga menurunkan tingkat kesehatan masyarakat Indonesia. “Kita semua tahu diabetes salah satu penyakit yang jadi paling tinggi fenomenanya dan tumbuh terutama seiring kenaikan income masyarakat. Implikasi diabetes bermacam-macam,” katanya. (Baca juga: Pelaku Industri Cemas Penerapan Pajak Plastik Akan Hambat Investasi)
Kendati demikian, mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu memberikan pengecualian atau pembebasan cukai terhadap produk minuman berpemanis yang dibuat dan dikemas non pabrikasi, madu dan jus sayur tanpa tambahan gula, dan barang yang diekspor. “Kami usulkan pengecualian untuk barang yang dibuat atau dikemas non pabrikasi (sederhana) misal UMKM. Kemudian madu dan jus sayur tanpa tambahan gula. Kemudian barang berpemanis yang diekspor atau rusak atau musnah,” jelasnya. Adapun tarif cukai yang diusulkan pada produk minuman berpemanis adalah Rp1.500 perliter untuk teh kemasan. Produksi teh kemasan ini mencapai 2.191 juta liter pertahun, dari total produksi itu potensi penerimaannya mencapai Rp2,7 triliun. Untuk produk karbonasi Kemenkeu mengusulkan tarif cukainya sebesar Rp2.500 per liter. Tercatat produksi minuman karbonasi ini mencapai 747 juta liter. Dari sini potensi penerimaan negara mencapai Rp1,7 triliun. Usulan selanjutnya adalah tarif cukai untuk produk minuman berpemanis lain seperti minuman berenergi, kopi, konsentrat, dan lainnya Rp2.500 per liter. Total produksi minuman ini 808 juta liter dengan potensi penerimaan Rp1,85 triliun.
Selain produk berpemanis, pemerintah juga mengincar kendaraan bermotor yang masih mengeluarkan emisi CO2 alias kendaraan berbasis bahan bakar fosil untuk dikenai cukai. Pemerintah beralasan efek yang ditimbulkan kendaraan berbahan bakar fosil adalah polusi yang juga berkontribusi pada perubahan iklim. “Semua negara fuel emission menimbulkan polusi dan kemudian menimbulkan efek rumah kaca atau fenomena climate change, tidak hanya kesehatan langsung, tapi juga sustainabilitas lingkungan,” katanya.
Namun, lanjut Sri, subjek cukai atau yang wajib membayar cukai emisi karbon tersebut pabrikan dan importir. “Pabrikan yang akan membayar, jadi bukan pengguna. Tiap produsen harus bayar dan tarif cukainya avalorum dan atau spesifik multi tarif berdasarkan emisi CO2 yang dihasilkan dengan aspek keseimbangan dan keadilan,” ucapnya.
Dia lantas menggariskan, akan ada pengecualian bagi kendaraan bermotor yang tidak menghasilkan emisi CO2, seperti mobil atau motor listrik. “Kendaran umum, pemerintah, keperluan khusus seperti ambulans, mobil pemadam kebakaran dan angkutan juga tidak dikenakan,” imbuhnya.
Selain terkait penyelamatan lingkungan, pemerintah juga tengah mempertimbangkan pengenaan cukai pada barang yang dinilai membahayakan.Sri Mulyani menyebut banyak negara yang melakukan pengenaan cukai untuk barang yang membahayakan tersebut.
Komisi XI DPR memberi sinyal persetujuannya untuk perluasan cukai. Bahkan dalam rapat tersebut anggota Komisi XI juga meminta Sri Mulyani menerapkan cukai pada klub malam, diskotek, dan judi karena hal tersebut sudah banyak dilakukan di beberapa negara. Pengenaan cukai judi dan klub malam ini sudah diterapkan di negara ASEAN seperti Thailand, Kamboja, Laos dan Malaysia. “Mengapa klub malam, diskotek, rokok, dan judi tidak kita kenai cukai juga? Ini demi peradaban,” ujar Anggota Komisi XI Fraksi DPR Agung Rai Wirajaya di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.
Sebelumnya pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics andFinance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menyatakan perlunya penambahan objek barang kena cukai selain kantong plastik dengan alasan pengendalian.
Dalam pandangannya, apabila penambahan barang kena cukai hanya dilakukan pada kantong plastik, maka kontribusi yang didapatkan penerimaan cukai pada APBN tidak akan maksimal. “Penambahan objek kena cukai perlu segera dilakukan dengan alasan pengendalian dampak negatif kesehatan dan lingkungan,” ucapnya.
Dia kemudian mengingatkan agar pemerintah dan DPR perlu bertindak cepat dalam menambahkan objek cukai karena Indonesia tertinggal jauh dari negara lain dalam jumlah objek kena cukai. “Dengan penambahan beberapa objek cukai maka akan ada penurunan konsumsi masyarakat atas produk-produk yang memberikan dampak negatif bagi kesehatan dan lingkungan,” ucapnya.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo juga mempunyai pandangan sama. Menurut dia, Indonesia selama ini hanya mengandalkan cukai dari industri hasil tembakau dan minuman beralkohol. Padahal, jika dibandingkan dengan negara ASEAN lain, ada banyak objek cukai. Dijelaskan, Thailand punya sedikitnya 11 jenis produk objek cukai, dari hasil tembakau, kendaraan bermotor, bensin, hingga minuman berpemanis. “Indonesia adalah negara yang paling sedikit memiliki jenis barang kena cukai (BKC). Kalah dibandingkan Laos, Myanmar, Malaysia, apalagi Thailand,” ujarnya. (Rina Anggraeni/Oktiani Endarwati/SINDOnews.com/Hafid Fuad)
(ysw)