Aviliani: Indonesia Belum Bisa Disebut Negara Maju

Jum'at, 28 Februari 2020 - 18:15 WIB
Aviliani: Indonesia Belum Bisa Disebut Negara Maju
Aviliani: Indonesia Belum Bisa Disebut Negara Maju
A A A
JAKARTA - Ekonom senior Indef, Aviliani, mengatakan Indonesia belum bisa disebut sebagai negara maju. Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyampaikan kemungkinan Indonesia bisa jadi negara maju pada 10 tahun lagi, jika sesuai parameter ekonomi dan sosial dalam hukum Countervailing Duty (CVD).

Sebelumnya, pemerintah mengklaim Indonesia sudah menjadi negara maju karena Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (United States Trade Representative/USTR) mencabut Indonesia, dan beberapa negara seperti China, Brasil, India, dan Afrika Selatan dari status negara berkembang.

Pencabutan status tersebut sebenarnya untuk memudahkan Amerika Serikat melakukan penyelidikan apakah negara-negara tersebut secara tidak adil melakukan subsidi ekspor.

Aviliani mengatakan Indonesia bisa disebut negara maju bila pendapatan per kapita sesuai dengan starndar negara maju, yaitu USD12.375 per kapita. Sementara, Indonesia masih masuk parameter negara berkembang dari sisi ekonomi (GNI per kapita), dimana pendapatan per kapita tahun 2018 sebesar USD3.840 per kapita per tahun.

"Indonesia bisa jadi negara maju dalam 10 tahun lagi, dengan syarat ada perubahan pendidikan. Juga harus menaikkan pendapatan per kapita. Jangan sampai kena jebakan masyarakat kelas menengah (middle income trap)," ujar Aviliani dalam diskusi "Salah Kaprah Status Negara Maju" di Jakarta, Jumat (28/2/2020).

Aviliani juga menyoroti porsi ekspor nasional yang masih rendah terhadap produk domestik bruto (PDB), yakni sebesar 25%. Bandingkan dengan negara tetangga, Vietnam yang kontribusi ekspor terhadap PDB mencapai 105%.

Aviliani menerangkan ukuran negara maju terdiri dari banyak hal, diantaranya pembangunan sosial, tingkat kemiskinan, angka kematian bayi, tingkat melek huruf orang dewasa, dan tingkat harapan hidup.

Sementara itu, peneliti Indef lainnya, Ahmad Heri Firdaus, mengatakan pencabutan status Indonesai sebagai negara berkembang, sebagai upaya AS untuk menaikkan bea masuk produk Indonesia ke Negeri Paman Sam. Pasalnya, selama ini neraca perdagangan Indonesia selalu surplus terhadap AS. Sehingga mereka ingin mengurangi defisit perdagangan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan sepanjang tahun 2019, neraca perdagangan Indonesia dengan AS surplus USD8,5 miliar. Oleh karena itu, Heri meminta pemerintah harus menolak perubahan status tersebut. Pasalnya, banyak dampak pada perdagangan Indonesia ke depannya.

Heri menyarankan agar pemerintah melakukan strategi untuk menolak pencabutan status itu. Salah satunya bekerjasama dengan negara yang dicoret sebagai negara berkembang untuk memprotes lewat persidangan di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6211 seconds (0.1#10.140)