Pengamat: Anjloknya Impor Bahan Baku Perlu Diwaspadai

Selasa, 17 Maret 2020 - 08:40 WIB
Pengamat: Anjloknya...
Pengamat: Anjloknya Impor Bahan Baku Perlu Diwaspadai
A A A
JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia pada Februari 2020 surplus USD2,3 miliar. Surplus ini disebabkan menurunnya transaksi impor seperti bahan baku.

Pengamat ekonomi dari Indef Bhima Yudhistira menilai transaksi surplus menjadi berita buruk. Pasalnya, kondisi neraca dagang surplus lebih disebabkan oleh anjloknya impor bahan baku sebesar -4,8% sepanjang Januari-Februari 2020.

Padahal, menurut Bhima, impor bahan baku diperlukan untuk mendorong kinerja industri berorientasi ekspor. Jika kinerja impor bahan baku terus menurun, pastinya ekspor automotif, elektronik, plastik akan turun di beberapa bulan kedepan. "Jadi, kondisi surplusnya neraca dagang bukan indikator positif perekonomian," ujar Bhima saat dihubungi di Jakarta kemarin.

Dia memperkirakan surplus neraca perdagangan hanya bersifat temporer karena setelah turunnya impor bahan baku dan barang modal, selanjutnya akan terjadi tekanan dari sisi kinerja ekspor. Maka menjelang Mei-Juni 2020 bisa berbalik ke defisit lagi. "Untuk akhir tahun masih dianalisis melihat perkembangan permintaan komoditas yang anjlok karena perang harga minyak Saudi Arabia dan Rusia," tegasnya.

Departement Head Industrial and Regional Research Bank Mandiri Dendi Ramdani mengatakan, neraca perdagangan Februari yang surplus disebabkan ekspor yang meningkat tajam. Ini akibat harga-harga komoditas sampai akhir 2019 masih bagus, seperti CPO, nikel, dan emas. "Namun, kinerja ekspor tersebut hasil dari transaksi ekspor-impor dua sampai tiga bulan lampau," ujar Dendi.

Sementara itu, transaksi impor relatif menurun baik untuk bahan baku maupun barang modal karena aktivitas awal tahun biasanya memang belum kencang. Dampak virus korona belum kelihatan karena data ekspor-impor Februari sebetulnya hasil dari transaksi dua-tiga bulan sebelumnya. "Namun demikian, kinerja perdagangan ke depan terancam defisit karena harga komoditas utama ekspor menurun seperti CPO, batu bara, dan minyak mentah," tegasnya.

Seperti diketahui, kemarin Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Yunita Rusanti mengumumkan kinerja ekspor Indonesia mencapai USD13,94 miliar pada Februari 2020. Nilai tersebut naik 11% dibandingkan Februari 2019 sebesar USD12,56 miliar.

"Kontribusi terbesar ekspor sepanjang Februari 2020 berasal dari sektor nonmigas USD13,12 miliar. Untuk ekspor migas USD820 juta," kata Yunita saat konferensi pers di Jakarta kemarin.

Sementara impor Februari 2020 mencapai USD11,6 miliar, turun 5% dibandingkan bulan yang sama tahun lalu. Penurunan tersebut terutama untuk barang modal.

Lebih lanjut Yunita menuturkan, pada Februari 2020 impor migas turun 12,05% dibandingkan Januari 2020 dan nonmigas turun 19,77% dibandingkan Januari 2020. Secara tahunan, impor migas naik 10,33% dan impor nonmigas turun 7,4%.

Yunita mengungkapkan, kinerja impor mengalami penurunan di semua lini. Di sektor konsumsi, nilai impor tercatat USD880 juta, turun 39,91% dibandingkan Januari 2020 dan turun 12,81% dibandingkan Februari 2019.

Di sektor bahan baku atau penolong, impor mencapai USD8,89 miliar, turun 15,89% secara bulanan dan turun 1,50% secara tahunan. "Penurunan ini karena impor bahan baku dari China menurun akibat Covid-19," jelasnya.

Di sektor barang modal, nilai impor mencapai USD1,83 miliar, turun 18,03% dibandingkan Januari 2020 dan turun 16,44% dibandingkan Februari 2019. "Struktur penggunaan impor paling besar ialah golongan bahan baku atau penolong sebesar 76,63%, kemudian golongan barang modal sebesar 15,77% dan konsumsi 7,60%," kata Yunita.

Sementara untuk angka ekspor pada Februari 2020 mencapai USD13,94 miliar, naik 2,24% dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar USD13,63 miliar. Sedangkan jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu, ekspor Februari mengalami kenaikan 11%.

"Nilai ekspor bulan Februari 2020 mencapai USD13,94 miliar, untuk migas mengalami penurunan sebesar 0,02%, nonmigas mengalami kenaikan sebesar 2,38%," jelas Yunita.

Dia melanjutkan, kenaikan ekspor ini disebabkan oleh penjualan perhiasaan yang meningkat di beberapa negara ASEAN. "Ini yang dominan karena kita naik di wilayah ASEAN, kita ekspornya banyak yakni di logam mulia dan perhiasaan yang naiknya sebesar 26,3%," katanya.

Namun, lanjut Yunita, seluruh komponen ekspor hampir seluruhnya mengalami kenaikan dibandingkan bulan sebelumnya. Salah satunya sektor pertanian tercatat USD0,30 miliar atau naik 0,91% secara bulanan.

"Lalu, ada sektor pertanian mengalami kenaikan sebesar 0,91% dibandingkan bulan sebelumnya dan naik 28,04% dibandingkan periode yang sama tahun lalu," jelasnya.

Ekspor industri pengolahan naik 2,73% dibandingkan bulan sebelumnya, dan juga naik 17,11% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sementara sektor pertambangan dan lainnya juga mengalami kenaikan sebesar 0,53%% dibandingkan bulan sebelumnya, tapi turun 0,04% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

"Kenaikan lainnya juga terlihat dari industri pengolahan yang tercatat sebesar USD11,03 miliar atau naik 2,73%. Kemudian untuk sektor pertambangan dan lainnya, juga terjadi kenaikan sebesar 0,53% atau setara dengan nilai USD1,80 miliar," jelasnya.

Menurut Yunita, kondisi tersebut membuat neraca perdagangan Indonesia surplus USD2,34 miliar. Nilai tersebut lebih baik dibandingkan Januari 2020 yang defisit USD870 juta. Dengan demikian, secara kumulatif, neraca perdagangan surplus USD1,47 miliar. (Rina Anggraeni/Hafid Fuad)
(ysw)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1074 seconds (0.1#10.140)