IHSG Menunggu Mitigasi Sektor Perbankan dari Pemerintah
A
A
A
JAKARTA - Kesepakatan Gedung Putih dan Senat Amerika Serikat memberi paket stimulus USD2 triliun untuk mengatasi dampak ekonomi akibat pandemi corona, berdampak positif terhadap pasar saham di Asia Pasifik yang ditutup melonjak.
Namun paket stimulus AS sebesar USD2 triliun belum tentu berdampak positif pada laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Chief Economist Tanamduit Ferry Latuhihin mengingatkan terdapat risiko di pasar modal Indonesia akibat belum ada mitigasi risiko perbankan yang dijamin oleh pemerintah. Sedangkan perbankan menghadapi risiko karena dibolehkannya restrukturisasi utang debitur oleh OJK.
"Belum tentu stimulus AS berdampak juga ke IHSG. Sebab kita punya masalah yaitu mitigasi risiko perbankan yang belum jelas bagaimana caranya," ujar Ferry di Jakarta, Rabu (25/3/2020).
Kekhawatirannya terbukti karena Fitch Ratings merevisi peringkat bank-bank di Indonesia menjadi BB+ dari BBB-. Ini berarti ada risiko jangka pendek yang signifikan terhadap pertumbuhan, kualitas aset, dan profitabilitas sektor ini.
Fitch juga menurunkan rating PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) menjadi BBB- dari sebelumnya BBB. Sementara peringkat nasional jangka panjang BCA dan anak usaha emiten ini yakni PT BCA Finance diturunkan menjadi AA+ (idn), dari AAA (idn).
Saham perbankan pada Selasa (24/3) mengalami net sell signifikan. Saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) mengalami net sell sebesar Rp190,6 miliar hingga jatuh 5,73% ke level Rp2.470 per saham.
Kemudian saham PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) mengalami tekanan jual senilai Rp110,8 miliar dan terkoreksi 6,78% ke level Rp3.160 per saham. Saham PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) juga harus terkoreksi 6,99% ke level Rp3.860 per saham.
Ferry mengingatkan ini sebagai sinyal agar otoritas dan pemerintah segera mengumumkan langkah mitigasi untuk perbankan. Berikutnya juga harus dibentuk tim khusus adhoc untuk menghadapi dampak pandemi corona.
Dampak buruknya sektor perbankan akan menjadi korban dan berikutnya pemerintah harus menyiapkan bailout yang tidak sedikit untuk menyelamatkan perekonomian.
"Kebijakan yang memberi penundaan pembayaran cicilan kredit sangat berisiko buat sektor perbankan. Seharusnya dalam kebijakan harus diumumkan bagaimana memitigasi risikonya," ujarnya.
Sementara itu, Senior Portfolio Manager Equity PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) Samuel Kesuma mengatakan selain pasar finansial juga ada satu hal penting lainnya yang harus terus dicermati, yaitu keberhasilan Amerika Serikat meredam penyebaran Covid-19 di negaranya sendiri.
"Kami melihat katalis positif seperti berkurangnya jumlah penderita baru dan penemuan vaksin atau perawatan yang efektif akan membantu stabilitas dan mengatasi kepanikan investor di pasar. Ini akan membawa valuasi bursa saham ke level mendekati wajar," ujar Samuel.
Lebih lanjut dia mengatakan dalam situasi yang masih sangat dinamis dan fluktuatif saat ini, masih sulit untuk menghitung seberapa dalam dan seberapa lama perlambatan ekonomi global akan terjadi.
Jika melihat China, dibutuhkan dua bulan untuk memerangi Covid-19 sampai ke level tidak adanya kasus harian baru yang muncul. Namun justru di belahan negara lain penyebaran Covid-19 baru mulai terjadi secara masif.
"Kami asumsikan aktivitas ekonomi baru akan berjalan normal setidaknya di bulan Juli, dan mulai pulih secara gradual memasuki kuartal ketiga 2020. Tapi asumsi ini akan sangat tergantung pada kesiapan masing-masing negara menyelesaikan tantangan ini," ujarnya.
Di Indonesia sendiri beberapa sektor seperti ritel dan pariwisata tentunya akan merasakan dampak yang cukup besar dari kekhawatiran masyarakat yang mengurangi aktifitas ekonomi dan menghindari tempat keramaian.
"Namun di sisi lain, kami melihat ada banyak industri yang secara fundamental relatif lebih sedikit terpengaruh oleh kondisi saat ini, antara lain sektor telekomunikasi, health care dan industri pokok lainnya," tambahnya.
Indonesia yang ekspornya didominasi oleh sumber daya alam sebetulnya relatif diuntungkan karena China sebagai mitra dagang utama telah berhasil melewati krisis virus corona ini. Bahkan saat ini hampir memulihkan seluruh aktifitas produksi.
Dalam koreksi yang terjadi di bursa saham global saat ini lebih banyak didorong oleh faktor sentimen, yang disebabkan ketidakpastian akan dampak dan durasi wabah virus yang saat ini masih terus meluas.
Pemerintah dan bank sentral dari negara-negara di seluruh dunia telah bereaksi cepat dengan meluncurkan program stimulus dengan skala yang cukup besar. Karena saat ini penambahan jumlah penderita virus corona masih cukup tinggi, membuat tekanan pada risk appetite investor di pasar cenderung bersifat psikologis.
"Sehingga stimulus ekonomi ini belum memberikan dampak signifikan pada kinerja pasar modal ataupun kepercayaan investor," ujarnya.
Namun paket stimulus AS sebesar USD2 triliun belum tentu berdampak positif pada laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Chief Economist Tanamduit Ferry Latuhihin mengingatkan terdapat risiko di pasar modal Indonesia akibat belum ada mitigasi risiko perbankan yang dijamin oleh pemerintah. Sedangkan perbankan menghadapi risiko karena dibolehkannya restrukturisasi utang debitur oleh OJK.
"Belum tentu stimulus AS berdampak juga ke IHSG. Sebab kita punya masalah yaitu mitigasi risiko perbankan yang belum jelas bagaimana caranya," ujar Ferry di Jakarta, Rabu (25/3/2020).
Kekhawatirannya terbukti karena Fitch Ratings merevisi peringkat bank-bank di Indonesia menjadi BB+ dari BBB-. Ini berarti ada risiko jangka pendek yang signifikan terhadap pertumbuhan, kualitas aset, dan profitabilitas sektor ini.
Fitch juga menurunkan rating PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) menjadi BBB- dari sebelumnya BBB. Sementara peringkat nasional jangka panjang BCA dan anak usaha emiten ini yakni PT BCA Finance diturunkan menjadi AA+ (idn), dari AAA (idn).
Saham perbankan pada Selasa (24/3) mengalami net sell signifikan. Saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) mengalami net sell sebesar Rp190,6 miliar hingga jatuh 5,73% ke level Rp2.470 per saham.
Kemudian saham PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) mengalami tekanan jual senilai Rp110,8 miliar dan terkoreksi 6,78% ke level Rp3.160 per saham. Saham PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) juga harus terkoreksi 6,99% ke level Rp3.860 per saham.
Ferry mengingatkan ini sebagai sinyal agar otoritas dan pemerintah segera mengumumkan langkah mitigasi untuk perbankan. Berikutnya juga harus dibentuk tim khusus adhoc untuk menghadapi dampak pandemi corona.
Dampak buruknya sektor perbankan akan menjadi korban dan berikutnya pemerintah harus menyiapkan bailout yang tidak sedikit untuk menyelamatkan perekonomian.
"Kebijakan yang memberi penundaan pembayaran cicilan kredit sangat berisiko buat sektor perbankan. Seharusnya dalam kebijakan harus diumumkan bagaimana memitigasi risikonya," ujarnya.
Sementara itu, Senior Portfolio Manager Equity PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) Samuel Kesuma mengatakan selain pasar finansial juga ada satu hal penting lainnya yang harus terus dicermati, yaitu keberhasilan Amerika Serikat meredam penyebaran Covid-19 di negaranya sendiri.
"Kami melihat katalis positif seperti berkurangnya jumlah penderita baru dan penemuan vaksin atau perawatan yang efektif akan membantu stabilitas dan mengatasi kepanikan investor di pasar. Ini akan membawa valuasi bursa saham ke level mendekati wajar," ujar Samuel.
Lebih lanjut dia mengatakan dalam situasi yang masih sangat dinamis dan fluktuatif saat ini, masih sulit untuk menghitung seberapa dalam dan seberapa lama perlambatan ekonomi global akan terjadi.
Jika melihat China, dibutuhkan dua bulan untuk memerangi Covid-19 sampai ke level tidak adanya kasus harian baru yang muncul. Namun justru di belahan negara lain penyebaran Covid-19 baru mulai terjadi secara masif.
"Kami asumsikan aktivitas ekonomi baru akan berjalan normal setidaknya di bulan Juli, dan mulai pulih secara gradual memasuki kuartal ketiga 2020. Tapi asumsi ini akan sangat tergantung pada kesiapan masing-masing negara menyelesaikan tantangan ini," ujarnya.
Di Indonesia sendiri beberapa sektor seperti ritel dan pariwisata tentunya akan merasakan dampak yang cukup besar dari kekhawatiran masyarakat yang mengurangi aktifitas ekonomi dan menghindari tempat keramaian.
"Namun di sisi lain, kami melihat ada banyak industri yang secara fundamental relatif lebih sedikit terpengaruh oleh kondisi saat ini, antara lain sektor telekomunikasi, health care dan industri pokok lainnya," tambahnya.
Indonesia yang ekspornya didominasi oleh sumber daya alam sebetulnya relatif diuntungkan karena China sebagai mitra dagang utama telah berhasil melewati krisis virus corona ini. Bahkan saat ini hampir memulihkan seluruh aktifitas produksi.
Dalam koreksi yang terjadi di bursa saham global saat ini lebih banyak didorong oleh faktor sentimen, yang disebabkan ketidakpastian akan dampak dan durasi wabah virus yang saat ini masih terus meluas.
Pemerintah dan bank sentral dari negara-negara di seluruh dunia telah bereaksi cepat dengan meluncurkan program stimulus dengan skala yang cukup besar. Karena saat ini penambahan jumlah penderita virus corona masih cukup tinggi, membuat tekanan pada risk appetite investor di pasar cenderung bersifat psikologis.
"Sehingga stimulus ekonomi ini belum memberikan dampak signifikan pada kinerja pasar modal ataupun kepercayaan investor," ujarnya.
(ven)