Pengusaha tekstil keluhkan banyak pungli
A
A
A
Sindonews.com - Banyaknya persyaratan dengan biaya tinggi dan pungutan ilegal alias pungutan liar (pungli), menjadikan beban pengusaha tekstil di Tanah Air sangat berat.
Apalagi, mereka masih disudutkan dengan kewajiban membayar buruh sesuai dengan penerapan upah minimum kabupaten (UMK) dan kenaikan tarif dasar listrik (TDL). Padahal, produk China terus menggempur pasar dalam negeri.
Ketua Badan Pengurus Nasional Asosiasi Pertekstilan Indonesia (BPN API), Ade Sudradjat mengatakan, selama ini para pengusaha tekstil banyak dikeluhkan dengan biaya logistik. Untuk mengirim satu truk tekstil ke Jakarta, biaya yang dikeluarkan bisa mencapai Rp12 juta.
Ade menuturkan, biaya tersebut mulai dari pungutan liar, preman jalanan hingga pungutan di jembatan timbang. Belum lagi, proses administrasi yang lambat dan banyaknya perizinan.
"Biaya ilegal seperti ini selalu muncul dan cukup membebani," tuturnya, Kamis (21/2/2013).
Adanya biaya seperti ini, lanju Ade, menjadikan persaingan dengan produk impor semakin berat. Produk impor biasanya langsung masuk ke pelabuhan, tanpa dikenai biaya tambahan. Hal ini mejadikan persaingan harga semakin ketat karena mereka bisa lebih murah.
Sementara, masalah impor tekstil ini sebenarnya sudah ada sejak dulu. Di mana Jepang dan Korea sudah sejak lama mengirimkan produknya ke tanah air. Produk mereka bisa saling mengisi untuk pasar lokal. Hanya produk berteknologi tinggi yang didatangkan.
Sedangkan, produk yang dikirim ke Jepang dan Korea juga berbeda dengan yang ada di pasar mereka. "China ini produknya sama dengan kita, ini yang harus diperket," ujar dia.
Apalagi, mereka masih disudutkan dengan kewajiban membayar buruh sesuai dengan penerapan upah minimum kabupaten (UMK) dan kenaikan tarif dasar listrik (TDL). Padahal, produk China terus menggempur pasar dalam negeri.
Ketua Badan Pengurus Nasional Asosiasi Pertekstilan Indonesia (BPN API), Ade Sudradjat mengatakan, selama ini para pengusaha tekstil banyak dikeluhkan dengan biaya logistik. Untuk mengirim satu truk tekstil ke Jakarta, biaya yang dikeluarkan bisa mencapai Rp12 juta.
Ade menuturkan, biaya tersebut mulai dari pungutan liar, preman jalanan hingga pungutan di jembatan timbang. Belum lagi, proses administrasi yang lambat dan banyaknya perizinan.
"Biaya ilegal seperti ini selalu muncul dan cukup membebani," tuturnya, Kamis (21/2/2013).
Adanya biaya seperti ini, lanju Ade, menjadikan persaingan dengan produk impor semakin berat. Produk impor biasanya langsung masuk ke pelabuhan, tanpa dikenai biaya tambahan. Hal ini mejadikan persaingan harga semakin ketat karena mereka bisa lebih murah.
Sementara, masalah impor tekstil ini sebenarnya sudah ada sejak dulu. Di mana Jepang dan Korea sudah sejak lama mengirimkan produknya ke tanah air. Produk mereka bisa saling mengisi untuk pasar lokal. Hanya produk berteknologi tinggi yang didatangkan.
Sedangkan, produk yang dikirim ke Jepang dan Korea juga berbeda dengan yang ada di pasar mereka. "China ini produknya sama dengan kita, ini yang harus diperket," ujar dia.
(izz)