Gapero sesalkan pernyataan Dirjen Bea Cukai Jatim

Minggu, 16 Juni 2013 - 14:39 WIB
Gapero sesalkan pernyataan Dirjen Bea Cukai Jatim
Gapero sesalkan pernyataan Dirjen Bea Cukai Jatim
A A A
Sindonews.com - Ketua Gabungan Perusahaan Rokok (Gapero) Malang, Johny menilai, pernyataan Kepala Kanwil Dirjen Bea dan Cukai Jatim II yang menyatakan pabrik rokok diduga "memiskinkan diri" adalah sangat tidak santun dan emosional.

Sebelumnya diberitakan, Kakanwil Dirjen Bea dan Cukai Jatim II, M Purwantoro mengatakan, sebanyak 70 pabrik rokok (PR) dari 250 pabrik yang berada di Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jatim II diduga memiskinkan diri. PR yang masuk di golongan II tersebut disinyalir merupakan pabrik rokok turunan dari golongan I.

Menanggapi pernyataan itu, Johny merasa kecewa. "Saya sangat heran dengan pernyataannya yang tidak berdasar dan cenderung emosional," kata dia dalam rilisnya, Minggu (16/6/2013).

"Pernyataan Kakanwil itu ngawur, datanya belum final kok sudah menentukan. Ini namanya prejudice," sambung Johny.

Johny menuturkan, pemilik pabrik rokok di Malang dimintai data-data seperti saudaranya yang menjadi komisaris, saudaranya yang menjadi direktur, bahkan surat kawin pun diminta. Ini fakta yang terjadi di Malang. Para pemilik pabrik rokok keberatan atas data tersebut. Johny pun mempertanyakan dasar hukum yang dipakai Kakanwil Ditjen Bea dan Cukai.

"Dia menentukan begitu dasarnya apa? Dari sudut pandang apa? Di mana letak memiskinkan diri-nya?" tanya dia.

Menurutnya, ketidakberdasaran itu antara lain mudah dipahami saat membandingkan dengan industri lain, tetapi tidak terkena aturan cukai (pajak) kumulatif.

Misalnya industri otomotif, terdapat sister company dan tidak masalah. Toyota memproduksi mobil mewah kelas premium Lexus yang supermahal, tetapi Toyota juga memproduksi mobil kelas low price seperti Avanza. "Dan Toyota tidak terkena pajak kumulatif," ujarnya.

Johny menyarankan Kakanwil Dirjen Bea dan Cukai Jatim II agar lebih berhati-hati dalam menerapkan peraturan, karena tujuan dibuatnya peraturan adalah melindungi. Jika ada pihak yang dirugikan dengan peraturan, kata Johny, berarti ada yang tidak beres dalam peraturan itu.

"Sebagai pejabat publik, sudah seharusnya Kakanwil bisa memberikan contoh baik bagi publik," ujarnya.

Sementara, Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Latif Adam menilai, langkah pemerintah yang menaikkan cukai rokok terhadap industri nasional hasil tembakau berpotensi melanggar UU No 39/2007 tentang Cukai.

Menurut Latif, pemerintah saat ini telah keluar dari patron demi mengejar penerimaan negara. "Ada setting yang salah di sini. Cukai itu bukan instrumen utama dalam penerimaan negara," ujar Latif.

Latif mengatakan, cukai seharusnya digunakan sebagai instrumen untuk mengontrol konsumsi suatu produk atau barang. Menurut dia, pemerintah saat ini menggunakan pendekatan parsial dalam mengoleksi penerimaan negara.

"Kalau saya melihatnya sekarang ini parsial, begitu pemerintah tidak mampu memenuhi target pajak, maka kemudian instrumen cukai yang dimainkan," terang dia.
(izz)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6254 seconds (0.1#10.140)