Potensi batik di perbatasan Klaten-Gunung Kidul
A
A
A
Sindonews.com - Kering dan tandus, itulah kesan pertama ketika tim KORAN SINDO, memijakkan kaki di Desa Jarum, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten.
Tanah retak-retak menghiasi di setiap perjalanan menuju desa tersebut. Debu yang berterbangan, semakin menambah kesan kering di Desa yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Akan tetapi siapa sangka, dari desa yang tandus tersebut tersimpan potensi yang sangatlah luar biasa. Masyarakat di desa itu memang tidak mengandalkan sektor pertanian untuk menopang kehidupan mereka. Akan tetapi masyarakat di desa itu memenuhi kebutuhan mereka dengan cara membatik.
Banyak motif batik yang dihasilkan oleh masyarakat desa itu. Tidak hanya jenis kain saja, melainkan bentuk bentuk hiasan bermotif batik dapat ditemukan di Desa itu. Kerajinan itu diantaranya, nampan, vas bunga, cawan, wayang kayu, hiasan dinding, gelang dan meja. Tidak tanggung-tanggung semua kerajinan yang berasal dari desa tersebut pasti memiliki motif batik yang beraneka ragam.
Salah seorang perajin batik kayu, Jimo, mengatakan berbagai kerajinan biasa ia kerjakan setiap harinya. Mulai dari gantungan kayu dengan ukuran dibawah sepuluh sentimeter hingga wayang dengan ukuran lebih dari satu meter selalu ia produksi.
Untuk masalah harga, menurutnya sangtalah bervariasi. Hal itu tergantung dari jenis kerajinan dan keruwetan tata cara pembuatan kerajinan tersebut. Ia mencontohkan untuk batik kayu jenis gantungan kunci harganya dibawah Rp10.000 sedangkan untuk batik jenis wayang, menurutya bisa mencapai harga jutaan rupiah.
Omzet dari kerajinan batik tersebut menurutnya sangatlah luar biasa. Menurutnya dengan menjadi perajin batik kayu, ia mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga selesai. Tidak hanya itu ia juga bisa membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat di desanya yang kurang beruntung. Dengan kata lain dari batik kayu tersebut mampu mengangkat perekonomian di desa yang tanahnya cukup tandus tersebut.
“Kerajinan batik kayu di sini memang belum besar dan mendunia. Akan tetapi dari kerajinan ini banyak masyarakat yang bergantung hidup. Selain itu banyak masyarakat yang berkembang dari batik ini,” ucapnya.
Selain batik kayu, di Desa Jarum juga dikenal dengan kerajinan kain batik warna alam. Berbeda dengan batik di Kota Solo ataupun di Pekalongan yang menggunakan pewarna kimia, batik di desa tersebut hanyalah menggunakan warna alam sebagai pewarna kain tersebut.
Salah seorang perajin Kain Batik Warna Alam, Sriyono, menyebutkan warna alam yang dipakai untuk batik tersebut berasal dari kulit pepohonan yang ada di lingkungan sekitar. Seperti kulit pohon mahoni dan beberapa pohon lain yang memiliki warna cukup kuat. Tidak hanya itu, pewarna alam tersebut juga dihasilkan dari tanaman sayur seperti daun adas.
Sriyono mengatakan karena menggunakan warna alam, batik yang dihasilkan desa tersebut sangatlah higienis. Bahkan bisa dibilang kain tersebut tidak akan menyebabkan iritasi kulit bagi siapapun yang memakainya. “Ini khas daerah sini, mungkin belum ada di daerah lain. Sehingga kami akan terus mengembangkan batik dengan warna alami ini,” ucapnya.
Untuk masalah harga, warga sekitar biasanya membanderol mulai angka Rp700.000 untuk setiap potong kain berukuran dua meter. Harga itu bisa semakin mahal jika motif yang dibuat pada kain tersebut semakin rumit. Ia mengatakan harga mahal tersebut disebabkan karena metode kain tersebut sangalah rumit. Sehingga harga sebesar itu dinilai pantas untuk kain batik warna alam tersebut.
“Kalau bahan kimia semua sudah ada sehingga murah. Sedangkan bahan alam, prosesnya itu lumayan sulit. Mulai dari perendaman kulit sebagai penghasil warna hingga proses pembatikan itu membutuhkan waktu lebih dari sepekan. Sehingga sepadan dengan harga yang ditawarkan,” pungkasnya.
Tanah retak-retak menghiasi di setiap perjalanan menuju desa tersebut. Debu yang berterbangan, semakin menambah kesan kering di Desa yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Akan tetapi siapa sangka, dari desa yang tandus tersebut tersimpan potensi yang sangatlah luar biasa. Masyarakat di desa itu memang tidak mengandalkan sektor pertanian untuk menopang kehidupan mereka. Akan tetapi masyarakat di desa itu memenuhi kebutuhan mereka dengan cara membatik.
Banyak motif batik yang dihasilkan oleh masyarakat desa itu. Tidak hanya jenis kain saja, melainkan bentuk bentuk hiasan bermotif batik dapat ditemukan di Desa itu. Kerajinan itu diantaranya, nampan, vas bunga, cawan, wayang kayu, hiasan dinding, gelang dan meja. Tidak tanggung-tanggung semua kerajinan yang berasal dari desa tersebut pasti memiliki motif batik yang beraneka ragam.
Salah seorang perajin batik kayu, Jimo, mengatakan berbagai kerajinan biasa ia kerjakan setiap harinya. Mulai dari gantungan kayu dengan ukuran dibawah sepuluh sentimeter hingga wayang dengan ukuran lebih dari satu meter selalu ia produksi.
Untuk masalah harga, menurutnya sangtalah bervariasi. Hal itu tergantung dari jenis kerajinan dan keruwetan tata cara pembuatan kerajinan tersebut. Ia mencontohkan untuk batik kayu jenis gantungan kunci harganya dibawah Rp10.000 sedangkan untuk batik jenis wayang, menurutya bisa mencapai harga jutaan rupiah.
Omzet dari kerajinan batik tersebut menurutnya sangatlah luar biasa. Menurutnya dengan menjadi perajin batik kayu, ia mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga selesai. Tidak hanya itu ia juga bisa membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat di desanya yang kurang beruntung. Dengan kata lain dari batik kayu tersebut mampu mengangkat perekonomian di desa yang tanahnya cukup tandus tersebut.
“Kerajinan batik kayu di sini memang belum besar dan mendunia. Akan tetapi dari kerajinan ini banyak masyarakat yang bergantung hidup. Selain itu banyak masyarakat yang berkembang dari batik ini,” ucapnya.
Selain batik kayu, di Desa Jarum juga dikenal dengan kerajinan kain batik warna alam. Berbeda dengan batik di Kota Solo ataupun di Pekalongan yang menggunakan pewarna kimia, batik di desa tersebut hanyalah menggunakan warna alam sebagai pewarna kain tersebut.
Salah seorang perajin Kain Batik Warna Alam, Sriyono, menyebutkan warna alam yang dipakai untuk batik tersebut berasal dari kulit pepohonan yang ada di lingkungan sekitar. Seperti kulit pohon mahoni dan beberapa pohon lain yang memiliki warna cukup kuat. Tidak hanya itu, pewarna alam tersebut juga dihasilkan dari tanaman sayur seperti daun adas.
Sriyono mengatakan karena menggunakan warna alam, batik yang dihasilkan desa tersebut sangatlah higienis. Bahkan bisa dibilang kain tersebut tidak akan menyebabkan iritasi kulit bagi siapapun yang memakainya. “Ini khas daerah sini, mungkin belum ada di daerah lain. Sehingga kami akan terus mengembangkan batik dengan warna alami ini,” ucapnya.
Untuk masalah harga, warga sekitar biasanya membanderol mulai angka Rp700.000 untuk setiap potong kain berukuran dua meter. Harga itu bisa semakin mahal jika motif yang dibuat pada kain tersebut semakin rumit. Ia mengatakan harga mahal tersebut disebabkan karena metode kain tersebut sangalah rumit. Sehingga harga sebesar itu dinilai pantas untuk kain batik warna alam tersebut.
“Kalau bahan kimia semua sudah ada sehingga murah. Sedangkan bahan alam, prosesnya itu lumayan sulit. Mulai dari perendaman kulit sebagai penghasil warna hingga proses pembatikan itu membutuhkan waktu lebih dari sepekan. Sehingga sepadan dengan harga yang ditawarkan,” pungkasnya.
(gpr)