Pemerintah diminta konsisten wajibkan bangun smelter
A
A
A
Sindonews.com - Direktur Eksekutif ReforMiners Institute Pri Agung Rakhmanto meminta pemerintah tetap konsisten menerapkan kewajiban pembangunan pengolahan dan pemurnian (smelter) tambang mineral di dalam negeri. Pasalnya, hal itu sesuai dengan amanat undang-undang pertambangan dan mineral yang sudah disepakati antara pemerintah dan DPR.
“Tidak ada kata lain pemerintah harus konsisten dengan UU yang telah dibuatnya,” kata dia di Jakarta, Jumat (6/12/2013).
Menurut Pri Agung, pemeritah dan DPR sebagai pihak yang mengesahkan UU bermaksud baik dan berusaha konsisten menjalankannya. Namun sejak awal ketika peraturan itu berlaku, ketentuan menyangkut kewajiban pengolahan dan pemurnian di dalam negeri secara teknis tidak layak dijalankan sesuai batas waktu 2014.
“Jadi kelemahan pertama memang ada dalam undang-undang itu sendiri, yakni aspek kelayakan,” kata dia.
Selain itu, dia menjelaskan, kelemahan mendasar adalah posisi tawar negara terhadap perusahan tambang besar, seperti PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara.
Di atas kertas pemerintah terlihat memiliki posisi tawar tinggi berenang dan berkuasa, tapi dalam realiatas negara bergantung perusahaan tambang besar ini dalam pengelolaan dan pengusahaan tambang.
“Akibatnya pemerintah sulit menerapkan sanksi kepada perusahaan perusahaan besar itu jika melanggar aturan, sehingga pemerintah harus memperjelas kewajiban dan juga sanksi bagi perusahaan yang melanggar dalam peraturan pemerintah dan turunannya,” tutur Pri Agung.
Sekedar mengingatkan, penerapan larangan ekspor bahan mentah tambang mineral merupakan kesepakatan bersama antara Komisi VII DPR dan pemerintah dalam hal ini yakni Kementerian ESDM.
Dalam rapat kerja yang digelar pada Kamis (5/12/2013) Kementerian ESDM mengusulkan adanya pengecualian ekspor pasca 12 Januari 2014, namun usulan tersebut ditolak seluruh fraksi Komisi VII DPR. Alhasil, pemerintah mau tidak mau menyepakati bahwa peraturan terkait Undang-Undang No.4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara harus dijalankan tanpa pengecualian.
“Tidak ada kata lain pemerintah harus konsisten dengan UU yang telah dibuatnya,” kata dia di Jakarta, Jumat (6/12/2013).
Menurut Pri Agung, pemeritah dan DPR sebagai pihak yang mengesahkan UU bermaksud baik dan berusaha konsisten menjalankannya. Namun sejak awal ketika peraturan itu berlaku, ketentuan menyangkut kewajiban pengolahan dan pemurnian di dalam negeri secara teknis tidak layak dijalankan sesuai batas waktu 2014.
“Jadi kelemahan pertama memang ada dalam undang-undang itu sendiri, yakni aspek kelayakan,” kata dia.
Selain itu, dia menjelaskan, kelemahan mendasar adalah posisi tawar negara terhadap perusahan tambang besar, seperti PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara.
Di atas kertas pemerintah terlihat memiliki posisi tawar tinggi berenang dan berkuasa, tapi dalam realiatas negara bergantung perusahaan tambang besar ini dalam pengelolaan dan pengusahaan tambang.
“Akibatnya pemerintah sulit menerapkan sanksi kepada perusahaan perusahaan besar itu jika melanggar aturan, sehingga pemerintah harus memperjelas kewajiban dan juga sanksi bagi perusahaan yang melanggar dalam peraturan pemerintah dan turunannya,” tutur Pri Agung.
Sekedar mengingatkan, penerapan larangan ekspor bahan mentah tambang mineral merupakan kesepakatan bersama antara Komisi VII DPR dan pemerintah dalam hal ini yakni Kementerian ESDM.
Dalam rapat kerja yang digelar pada Kamis (5/12/2013) Kementerian ESDM mengusulkan adanya pengecualian ekspor pasca 12 Januari 2014, namun usulan tersebut ditolak seluruh fraksi Komisi VII DPR. Alhasil, pemerintah mau tidak mau menyepakati bahwa peraturan terkait Undang-Undang No.4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara harus dijalankan tanpa pengecualian.
(rna)