Perizinan Tambang dalam Revisi UU Minerba Dinilai Mengandung Polemik

Rabu, 10 Juni 2020 - 16:03 WIB
loading...
Perizinan Tambang dalam...
Kepala divisi litigasi Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP), Jamil Burhanudin menilai, beberapa pasal dalam revisi UU Minerba melanggar konstitusi. Foto/Ilustrasi
A A A
JAKARTA - Kepala divisi litigasi Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP), Jamil Burhanudin menilai, beberapa pasal dalam revisi UU Minerba melanggar konstitusi. Seperti diketahui revisi UU Minerba baru saja ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI), tepatnya pada 12 Mei 2020 lalu.

"Bahkan sejumlah pasal tersebut berpotensi melanggar atau bertentangan dengan UUD RI 1945," tegas Jamil saat berbicara dalam diskusi daring bertajuk 'Catatan Kritis Undang-Undang Minerba', Rabu (10/6/2020).

Beberapa pasal yang mengandung polemik itu, di antaranya ketentuan mengenai pemberian izin tambang yang oleh Undang-Undang sebelumnya (Pasal 37 dan 38) didistribusikan kepada pemerintah daerah. Sementara, dalam UU perubahan dihapus menjadi kewenangan sepenuhnya pemerintah pusat.

Menurut Jamil, penghapusan ketentuan tersebut selain bertentangan dengan semangat otonomi daerah sebagai amanat reformasi, juga bertentangan dengan Pasal 18A UUD 1945. Oleh karenanya, sangat besar peluang inkonstitusinalitas pengahapusan pasal ini dalam revisi UU Minerba.

“Kalau mengacu pada Pasal 18A UUD 1945, penghapusan pasal 37 dan 38 di UU perubahan ini (penghapusan kewenangan daerah dalam pemberian izin tambang) mesti diuji di Mahkamah Konstitusi!,” tegas Jamil.

Alumni fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang itu juga menyoroti jangka waktu izin pertambangan. Di dalam revisi UU Minerba memberikan jaminan adanya kelanjutan operasi Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) menjadi IUPK sebagai kelanjutan operasi.

Tak hanya KK dan PKP2B, pemegang IUP dan IUPK pun menghirup angin segar yang sama dari perubahan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara tersebut (juga mendapatkan jaminan kelanjutan operasi).

Dalam UU Minerba yang lama perpanjangan izin tercantum dengan klausul "dapat diperpanjang" serta ditegaskan berapa kali dapat dilakukan perpanjangan itu (Pasal 47, Pasal 83), namun dalam UU perubahan diganti dengan klausul "dijamin memperoleh perpanjangan" tanpa ada kepastian berapa kali perpanjangan tersebut dapat dilakukan (Pasal 169, Pasal 169 A dan Pasal 169 B).

Menurut Jamil, ketentuan tersebut menutup ruang BUMN atau negara untuk melakukan pengelolaan terhadap izin yang akan mati. Pasalnya, menurut UU Nomor 4 Tahun 2009 kalau (izin) sudah mati harusnya kembali ke negara untuk dikelola. "(Tapi) kalau kemudian diperpanjang maka Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 serta tafsir MK mengenai penguasaan negara itu tidak ada artinya," imbuhnya.

Peneliti PUSHEP, Akmaludin Rachim mengatakan, selain bermasalah secara materiil, revisi UU Minerba juga cacat secara formil. Pasalnya, proses pengesahan atas revisi UU Nomor 4 Tahun 2009 tersebut tidak sesuai dengan tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1522 seconds (0.1#10.140)