IMES usulkan tiga isi PP untuk UU Minerba
A
A
A
Sindonews.com - Lembaga Kajian Strategis Pertambangan dan Energi Indonesia atau Indonesia Mineral and Energy Studies (IMES) mengusulkan substansi dari isi PP untuk UU Minerba, setidaknya mengatur hal-hal strategis menyangkut tiga hal.
Direktur Eksekutif IMES, Erwin Usman mengatakan, pertama adalah penegasan terkait ketentuan bagi pemegang Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) untuk segera menjalankan program renegosiasi sebagaimana diatur dalam UU Minerba.
"Khususnya terkait perubahan kontrak menjadi izin usaha pertambangan, luasan lahan (maksimal 25.000 ha), royalti, pengolahan dan pemurnian mineral dalam negeri, penggunaan barang dan jasa dalam negeri, serta divestasi saham," kata dia dalam rilisnya, Selasa (31/12/2013).
Menurutnya, klausal ini mesti tegas. Karena seharusnya proses renegosiasi ini sudah selesai pada 2010, atau satu tahun sejak UU Minerba diberlakukan.
"Faktanya, hingga kini publik tidak mendapatkan keterangan terkait perkembangannya. Hatta Rajasa (Menko Perekonomian) sebagai Koordinator Tim Evaluasi mesti bertanggung jawab untuk ini," ujarnya.
Kedua, bagi para perusahaan tambang skala besar pemegang KK dan PKP2B, agenda hilirisasi dan pelarangan ekspor mineral wajib diterapkan. Karena produksi tambang mereka sudah lama hingga puluhan tahun. Keuntungan yang diperoleh sangat besar sekali, jika dibandingkan biaya untuk pembangunan smelter.
Ketiga, kata dia, PP tersebut mesti memberi kesempatan pada pengusaha pertambangan nasional pemegang IUP yang baru tumbuh 3-6 tahun terakhir. Mereka telah berkomitmen tentang agenda hilirisasi dan membangun smelter untuk tetap mengekspor, dengan sejumlah syarat tertentu.
Diantaranya, lanjut Erwin, dengan kuota ekspor dibatasi dan diawasi ketat, kadar persentase produk konsentrat mineral yang boleh di ekspor, serta diberi tempo, misalnya dua tahun ekspor. Mereka menyelesaikan proses pembangunan smelter.
"Namun, di saat yang sama, pemerintah wajib membantu menyediakan infrastruktur pendukung smelter, terutama ketersediaan listrik," tegasnya.
Dia menjelaskan, hal tersebut agar usaha kecil dan menengah di sektor pertambangan, yang modalnya tidak sebesar, perusahaan tambang asing pemegang Kontrak Karya dan PKP2B, dapat tetap tumbuh dan memiliki daya saing ekonomi.
Selain untuk menghindari terjadinya PHK yang meluas, proses ini mesti diawasi dengan sangat ketat oleh pemerintah. Pihaknya meminta bagi perusahaan yang melanggar bisa segera dikenai penalti serta sanksi tegas, sampai IUP-nya dicabut.
"Apalagi pembangunan dan produksi sebuah smelter tentu akan menimbulkan dampak bagi lingkungan hidup (pencemaran B3) dan masalah tata ruang," pungkas Erwin.
Direktur Eksekutif IMES, Erwin Usman mengatakan, pertama adalah penegasan terkait ketentuan bagi pemegang Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) untuk segera menjalankan program renegosiasi sebagaimana diatur dalam UU Minerba.
"Khususnya terkait perubahan kontrak menjadi izin usaha pertambangan, luasan lahan (maksimal 25.000 ha), royalti, pengolahan dan pemurnian mineral dalam negeri, penggunaan barang dan jasa dalam negeri, serta divestasi saham," kata dia dalam rilisnya, Selasa (31/12/2013).
Menurutnya, klausal ini mesti tegas. Karena seharusnya proses renegosiasi ini sudah selesai pada 2010, atau satu tahun sejak UU Minerba diberlakukan.
"Faktanya, hingga kini publik tidak mendapatkan keterangan terkait perkembangannya. Hatta Rajasa (Menko Perekonomian) sebagai Koordinator Tim Evaluasi mesti bertanggung jawab untuk ini," ujarnya.
Kedua, bagi para perusahaan tambang skala besar pemegang KK dan PKP2B, agenda hilirisasi dan pelarangan ekspor mineral wajib diterapkan. Karena produksi tambang mereka sudah lama hingga puluhan tahun. Keuntungan yang diperoleh sangat besar sekali, jika dibandingkan biaya untuk pembangunan smelter.
Ketiga, kata dia, PP tersebut mesti memberi kesempatan pada pengusaha pertambangan nasional pemegang IUP yang baru tumbuh 3-6 tahun terakhir. Mereka telah berkomitmen tentang agenda hilirisasi dan membangun smelter untuk tetap mengekspor, dengan sejumlah syarat tertentu.
Diantaranya, lanjut Erwin, dengan kuota ekspor dibatasi dan diawasi ketat, kadar persentase produk konsentrat mineral yang boleh di ekspor, serta diberi tempo, misalnya dua tahun ekspor. Mereka menyelesaikan proses pembangunan smelter.
"Namun, di saat yang sama, pemerintah wajib membantu menyediakan infrastruktur pendukung smelter, terutama ketersediaan listrik," tegasnya.
Dia menjelaskan, hal tersebut agar usaha kecil dan menengah di sektor pertambangan, yang modalnya tidak sebesar, perusahaan tambang asing pemegang Kontrak Karya dan PKP2B, dapat tetap tumbuh dan memiliki daya saing ekonomi.
Selain untuk menghindari terjadinya PHK yang meluas, proses ini mesti diawasi dengan sangat ketat oleh pemerintah. Pihaknya meminta bagi perusahaan yang melanggar bisa segera dikenai penalti serta sanksi tegas, sampai IUP-nya dicabut.
"Apalagi pembangunan dan produksi sebuah smelter tentu akan menimbulkan dampak bagi lingkungan hidup (pencemaran B3) dan masalah tata ruang," pungkas Erwin.
(izz)