BI Desak Percepatan Reformasi Struktural Tahun Ini
A
A
A
PADANG - Bank Indonesia (BI) terus mendesak percepatan reformasi struktural untuk mulai dilakukan pada tahun ini. Hal ini karena Indonesia dihadapkan pada tiga ketidakseimbangan perekonomian yang harus segera diatasi.
Direktur Eksekutif Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Juda Agung dalam media briefing penyampaian Laporan Perekonomian Indonesia (LPI) 2013 menyatakan urgensi dilakukannya reformasi struktural. Menurutnya walaupun dari eksternal sudah ada kebijakan moneter tapi masih tidak cukup untuk mengatasi defisit transaksi berjalan.
"Misalnya untuk menekan impor dengan naikkan suku bunga. Tapi juga tidak pas dengan kondisi saat ini, sehingga harus dibarengi dengan perbaikan struktural untuk menjaga transaksi berjalan," ujar Juda, di Padang, Minggu (7/6/2014) malam.
Dia mengatakan, terdapat tiga ketidakseimbangan yang harus diselesaikan, khususnya oleh presiden yang akan terpilih tahun ini. Pertama dari sisi eksternal yang ditunjukkan oleh defisit transaksi berjalan sejak 2011. BI disebutnya hanya bisa menggunakan instrumen suku bunga acuan dan nilai tukar rupiah untuk menekan impor.
Sementara itu, pemerintah menggunakan instrumen kebijakan fiskal dengan menaikkan pajak penghasilan (PPh) impor dan mandatori penggunaan biodiesel untuk mengurangi konsumsi solar. Dengan langkah itu, defisit transaksi berjalan masih di level 4,4% terhadap produk domestik bruto pada kuartal II tahun ini.
"Defisit neraca perdagangan kita melebar lagi pada April yang mencapai hampir USD2 miliar. Jadi, ini masih menjadi sebuah tantangan yang kita hadapi ke depan," ujarnya.
Kedua, di sektor fiskal masih ditandai oleh tidak tercapainya target penerimaan pajak, sedangkan subsidi energi meningkat. Menurutnya, jika pemerintah tidak segera melakukan langkah memperbaiki perpajakan dan mekanisme subsidi, maka pelebaran defisit fiskal menjadi risiko.
"Defisit fiskal naiknya bisa mencapai 4,69% yang tertinggi sejak krisis moneter 1998. Ini berarti secara fiskal kita sangat beresiko terhadap fluktuasi harga internasional," terangnya.
Ketiga, ketidakseimbangan di sektor riil yang ditunjukkan oleh defisit energi dan pangan. Defisit energi selama ini dipicu oleh produksi minyak yang turun, sedangkan konsumsi bertambah. Akibatnya, RI bergantung pada suplai luar negeri.
Defisit pangan pun selama ini kerap memicu inflasi di dalam negeri. Cara penanganannya selama ini hanya bersifat jangka pendek, yakni mengimpor."Reformasi struktural ini harus dilakukan sebelum pergantian presiden, sehingga tinggal dilanjutkan oleh presiden terpilih berikutnya," ujarnya.
Direktur Eksekutif Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Juda Agung dalam media briefing penyampaian Laporan Perekonomian Indonesia (LPI) 2013 menyatakan urgensi dilakukannya reformasi struktural. Menurutnya walaupun dari eksternal sudah ada kebijakan moneter tapi masih tidak cukup untuk mengatasi defisit transaksi berjalan.
"Misalnya untuk menekan impor dengan naikkan suku bunga. Tapi juga tidak pas dengan kondisi saat ini, sehingga harus dibarengi dengan perbaikan struktural untuk menjaga transaksi berjalan," ujar Juda, di Padang, Minggu (7/6/2014) malam.
Dia mengatakan, terdapat tiga ketidakseimbangan yang harus diselesaikan, khususnya oleh presiden yang akan terpilih tahun ini. Pertama dari sisi eksternal yang ditunjukkan oleh defisit transaksi berjalan sejak 2011. BI disebutnya hanya bisa menggunakan instrumen suku bunga acuan dan nilai tukar rupiah untuk menekan impor.
Sementara itu, pemerintah menggunakan instrumen kebijakan fiskal dengan menaikkan pajak penghasilan (PPh) impor dan mandatori penggunaan biodiesel untuk mengurangi konsumsi solar. Dengan langkah itu, defisit transaksi berjalan masih di level 4,4% terhadap produk domestik bruto pada kuartal II tahun ini.
"Defisit neraca perdagangan kita melebar lagi pada April yang mencapai hampir USD2 miliar. Jadi, ini masih menjadi sebuah tantangan yang kita hadapi ke depan," ujarnya.
Kedua, di sektor fiskal masih ditandai oleh tidak tercapainya target penerimaan pajak, sedangkan subsidi energi meningkat. Menurutnya, jika pemerintah tidak segera melakukan langkah memperbaiki perpajakan dan mekanisme subsidi, maka pelebaran defisit fiskal menjadi risiko.
"Defisit fiskal naiknya bisa mencapai 4,69% yang tertinggi sejak krisis moneter 1998. Ini berarti secara fiskal kita sangat beresiko terhadap fluktuasi harga internasional," terangnya.
Ketiga, ketidakseimbangan di sektor riil yang ditunjukkan oleh defisit energi dan pangan. Defisit energi selama ini dipicu oleh produksi minyak yang turun, sedangkan konsumsi bertambah. Akibatnya, RI bergantung pada suplai luar negeri.
Defisit pangan pun selama ini kerap memicu inflasi di dalam negeri. Cara penanganannya selama ini hanya bersifat jangka pendek, yakni mengimpor."Reformasi struktural ini harus dilakukan sebelum pergantian presiden, sehingga tinggal dilanjutkan oleh presiden terpilih berikutnya," ujarnya.
(rna)