60% Kebutuhan Baja Masih Impor
A
A
A
JAKARTA - Industri baja nasional berperan strategis dalam menopang perekonomian Indonesia mengingat posisinya sebagai ‘mother of industries’. Baja yang dihasilkan sangat dibutuhkan untuk pengembangan infrastruktur, industri pertahanan, hingga manufaktur.
Ke depan, seiring pesatnya pertumbuhan ekonomi nasional dan permintaan, kebutuhan baja nasional diproyeksikan mencapai 21 juta ton pada 2020.
“Kebutuhan baja Indonesia terus meningkat pesat. Pada 2013 lalu, kebutuhannya tercatat mencapai 14,3 juta ton, namun sekitar 60% dari kebutuhan tersebut masih harus dipenuhi dari impor,” terang PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) Irvan K Hakim dalam seminar Refleksi Tiga Tahun Pelaksanaan MP3EI di Jakarta baru-baru ini.
Selain itu, konsumsi baja Indonesia perkapita masih sangat rendah, yakni hanya 50 kg/tahun, jauh dibandingkan Malaysia yang mencapai 300 kg/tahun, Korea Selatan 1.000 kg/tahun, dan Jepang 500 kg/tahun.
Menurutnya, tingginya konsumsi baja di Korea Selatan karena pemerintah Korsel menerapkan kebijakan production push. “Invisible hand negara perlu berperan untuk menggerakkan permintaan, seperti jembatan harus menggunakan baja, jangan beton. Rumah tipe sekian harus menggunakan baja atau daerah-daerah rawan gempa, gedung-gedungnya harus dibangun dengan struktur baja,” ujar dia.
Selain itu, pemerintah juga harus melakukan akselerasi pembangunan infrastruktur dan utilitis (air dan listrik), yang wajib disertai kawasan industri, termasuk pemberian insentif untuk industri.
Selain akselerasi, pemerintah juga harus menjamin jangan sampai ada kebocoran anggaran (tidak ada korupsi), dan memperhatikan aspek prosedural legal.
Ke depan, seiring pesatnya pertumbuhan ekonomi nasional dan permintaan, kebutuhan baja nasional diproyeksikan mencapai 21 juta ton pada 2020.
“Kebutuhan baja Indonesia terus meningkat pesat. Pada 2013 lalu, kebutuhannya tercatat mencapai 14,3 juta ton, namun sekitar 60% dari kebutuhan tersebut masih harus dipenuhi dari impor,” terang PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) Irvan K Hakim dalam seminar Refleksi Tiga Tahun Pelaksanaan MP3EI di Jakarta baru-baru ini.
Selain itu, konsumsi baja Indonesia perkapita masih sangat rendah, yakni hanya 50 kg/tahun, jauh dibandingkan Malaysia yang mencapai 300 kg/tahun, Korea Selatan 1.000 kg/tahun, dan Jepang 500 kg/tahun.
Menurutnya, tingginya konsumsi baja di Korea Selatan karena pemerintah Korsel menerapkan kebijakan production push. “Invisible hand negara perlu berperan untuk menggerakkan permintaan, seperti jembatan harus menggunakan baja, jangan beton. Rumah tipe sekian harus menggunakan baja atau daerah-daerah rawan gempa, gedung-gedungnya harus dibangun dengan struktur baja,” ujar dia.
Selain itu, pemerintah juga harus melakukan akselerasi pembangunan infrastruktur dan utilitis (air dan listrik), yang wajib disertai kawasan industri, termasuk pemberian insentif untuk industri.
Selain akselerasi, pemerintah juga harus menjamin jangan sampai ada kebocoran anggaran (tidak ada korupsi), dan memperhatikan aspek prosedural legal.
(gpr)