Industri Digital Printing Tergantung Bahan Baku Impor
A
A
A
SEMARANG - Industri percetakan digital (digital printing) di Kota Semarang masih tergantung bahan baku impor. Ketergantungan tersebut, karena bahan baku impor dinilai lebih murah.
Pemilik digital printing Sumber Bahagia, Tommy Handoko, mengatakan, selama ini pelaku industri digital printing masih mengandalkan Cina sebagai pemasok bahan baku.
“Pasar lokal belum mampu menyediakan bahan baku yang dibutuhkan, sehingga mau tidak mau harus impor,” katanya saat ditemui di kantornya di Jalan Moch Suyudi 34 Semarang, baru-baru ini.
Dia mengatakan, bahan baku yang dimpor merupakan bahan baku pokok seperti front lite (bahan spanduk) dan tinta bahkan mesin cetaknya. Untuk mendapatkan bahan baku tersebut, kata Dia, pihaknya harus mendatangkan langsung dari China. China dipilih karena lebih murah dan kualitasnya cukup baik.
“Kalau pelaku usaha kecil mungkin mengambil bahan baku dari suplaiyer yang melakukan impor, tetapi kalau kita tidak karena kita juga semi suplaiyer sehingga bisa mendatangkan bahan baku sendiri,” ujarnya.
Dia mengaku sebenarnya dipasar lokal sudah ada bahan baku, seperti tinta misalnya. Hanya saja menurut dia hasilnya kurang memuaskan, sedangkan Front Lite buatan lokal kualitasnya kurang memadai karena mudah robek. ”Kalau pakai tinta lokal warnanya kurang menarik, sehingga konsumen banyak yang tidak puas,” imbuhnya.
Dia menjelaskan, meski saat ini industri digital printing masih tergantung dengan bahan baku impor, namun persaingannya saat ini cukup tinggi. Terlebih saat ini masyarakat sudah mulai meninggalkan sablon manual, dan memilih digital printing yang lebih berwarna dan menarik.
Dengan persaingan yang tinggi, maka terjadi persaingan harga yang juga cukup ketat, terlebih masyarkat menginginkan produk murah dan berkualitas bagus.
”Sekarang ini masyarakat memilih digital printing yang prosesnya cepat, dan ini menjadi peluang bagi kami karena kami memiliki mesin baru,” tandasnya.
Pemilik digital printing Sumber Bahagia, Tommy Handoko, mengatakan, selama ini pelaku industri digital printing masih mengandalkan Cina sebagai pemasok bahan baku.
“Pasar lokal belum mampu menyediakan bahan baku yang dibutuhkan, sehingga mau tidak mau harus impor,” katanya saat ditemui di kantornya di Jalan Moch Suyudi 34 Semarang, baru-baru ini.
Dia mengatakan, bahan baku yang dimpor merupakan bahan baku pokok seperti front lite (bahan spanduk) dan tinta bahkan mesin cetaknya. Untuk mendapatkan bahan baku tersebut, kata Dia, pihaknya harus mendatangkan langsung dari China. China dipilih karena lebih murah dan kualitasnya cukup baik.
“Kalau pelaku usaha kecil mungkin mengambil bahan baku dari suplaiyer yang melakukan impor, tetapi kalau kita tidak karena kita juga semi suplaiyer sehingga bisa mendatangkan bahan baku sendiri,” ujarnya.
Dia mengaku sebenarnya dipasar lokal sudah ada bahan baku, seperti tinta misalnya. Hanya saja menurut dia hasilnya kurang memuaskan, sedangkan Front Lite buatan lokal kualitasnya kurang memadai karena mudah robek. ”Kalau pakai tinta lokal warnanya kurang menarik, sehingga konsumen banyak yang tidak puas,” imbuhnya.
Dia menjelaskan, meski saat ini industri digital printing masih tergantung dengan bahan baku impor, namun persaingannya saat ini cukup tinggi. Terlebih saat ini masyarakat sudah mulai meninggalkan sablon manual, dan memilih digital printing yang lebih berwarna dan menarik.
Dengan persaingan yang tinggi, maka terjadi persaingan harga yang juga cukup ketat, terlebih masyarkat menginginkan produk murah dan berkualitas bagus.
”Sekarang ini masyarakat memilih digital printing yang prosesnya cepat, dan ini menjadi peluang bagi kami karena kami memiliki mesin baru,” tandasnya.
(gpr)