Investor Butuh Kepastian Hukum di Sektor Migas
A
A
A
JAKARTA - Sejak amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada November 2012 lalu yang membubarkan BP Migas, belum ada revisi ataupun UU Migas baru yang dapat menjadi landasan yang kuat bagi keberadaan SKK Migas.
Menurut Wakil Ketua Komite Hulu Migas Kadin Indonesia, Firlie Ganinduto, hal ini yang menyebabkan keraguan para investor, baik investor yang sudah ada atau investor baru untuk menanamkan modalnya dalam menemukan cadangan migas baru.
“Investor membutuhkan kepastian hukum, investasi yang ditanamkan di sektor Migas sangat berisiko dan berjangka waktu panjang,” ujar Firlie dalam keterangan tertulisnya, Rabu (5/11/2014).
Keadaan ini diperburuk juga oleh kasus kriminalisasi pegawai salah satu perusahaan Migas dan kontraktor penunjang Migas. Tidak ada bukti yang kredibel soal korupsi, tindakan kriminal ataupun keuntungan pribadi yang dilakukan oleh kontraktor dan karyawan-karyawan tersebut dalam proyek bioremediasi tersebut.
Namun putusan kasasi lembaga peradilan telah menyatakan kontraktor-kontraktor penunjang Migas itu bersalah dan menghukumnya dengan masing-masing 5 (lima) dan 6 (enam) tahun penjara.
Begitu juga dengan salah satu karyawan perusahaan migas tersebut, Bachtiar Abdul Fatah juga telah dinyatakan bersalah dan menghukumnya dengan 4 (empat) tahun penjara dan denda sebesar Rp200 juta.
"Hal ini merupakan contoh dari kriminalisasi atas dugaan kinerja pekerjaan yang dilakukan oleh para karyawan yang bekerja untuk perusahaan swasta," lanjutnya.
Isu bioremediasi merupakan ketidaksepahaman teknis mengenai penerapan kontrak dan izin kewenangan yang harus diselesaikan berdasarkan hukum perdata (dan bukan hukum pidana) dalam Kontrak Kerja Sama (PSC). PSC telah memiliki mekanisme pengawasan, audit dan kepatuhan secara ketat untuk memastikan integritas tender dan proyek.
“Untuk itu, Kadin sebagai wadah pelaku bisnis nasional sangat prihatin atas kasus kriminalisasi proses bisnis ini,” tegas Firlie.
Menurut Wakil Ketua Komite Hulu Migas Kadin Indonesia, Firlie Ganinduto, hal ini yang menyebabkan keraguan para investor, baik investor yang sudah ada atau investor baru untuk menanamkan modalnya dalam menemukan cadangan migas baru.
“Investor membutuhkan kepastian hukum, investasi yang ditanamkan di sektor Migas sangat berisiko dan berjangka waktu panjang,” ujar Firlie dalam keterangan tertulisnya, Rabu (5/11/2014).
Keadaan ini diperburuk juga oleh kasus kriminalisasi pegawai salah satu perusahaan Migas dan kontraktor penunjang Migas. Tidak ada bukti yang kredibel soal korupsi, tindakan kriminal ataupun keuntungan pribadi yang dilakukan oleh kontraktor dan karyawan-karyawan tersebut dalam proyek bioremediasi tersebut.
Namun putusan kasasi lembaga peradilan telah menyatakan kontraktor-kontraktor penunjang Migas itu bersalah dan menghukumnya dengan masing-masing 5 (lima) dan 6 (enam) tahun penjara.
Begitu juga dengan salah satu karyawan perusahaan migas tersebut, Bachtiar Abdul Fatah juga telah dinyatakan bersalah dan menghukumnya dengan 4 (empat) tahun penjara dan denda sebesar Rp200 juta.
"Hal ini merupakan contoh dari kriminalisasi atas dugaan kinerja pekerjaan yang dilakukan oleh para karyawan yang bekerja untuk perusahaan swasta," lanjutnya.
Isu bioremediasi merupakan ketidaksepahaman teknis mengenai penerapan kontrak dan izin kewenangan yang harus diselesaikan berdasarkan hukum perdata (dan bukan hukum pidana) dalam Kontrak Kerja Sama (PSC). PSC telah memiliki mekanisme pengawasan, audit dan kepatuhan secara ketat untuk memastikan integritas tender dan proyek.
“Untuk itu, Kadin sebagai wadah pelaku bisnis nasional sangat prihatin atas kasus kriminalisasi proses bisnis ini,” tegas Firlie.
(gpr)