Pemerintah Diminta Tegas Terkait Pajak e-Commerce
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu) diminta tegas terhadap pelaku bisnis online asing (e-commerce) yang selama ini mengemplang atau tidak membayar pajak.
Mantan Sekretaris Menteri (Sesmen) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Said Didu mengatakan, semakin kaya atau semakin besar perusahaan maka pajak yang dikenakan harus semakin besar.
"Yang penting memang pajak itu membikin hidup ini tertib. Semakin kaya harus semakin tinggi pajak. Kena dong harus (e-commerce)," ujarnya kepada Sindonews di Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (23/3/2015).
Menurutnya, selama ini pengenaan pajak terhadap orang pribadi ataupun usaha di Indonesia masih terbilang kecil, dibanding negara lain. Dia menyebutkan, Spanyol selama ini mengenakan pajak terhadap warga negaranya sebesar 52%.
"Coba Anda ke Spanyol, rata-rata pajak satu orang itu 52%. Di Belanda 50%. Kita berapa? Kan rendah sekali. Tapi, tuntutannya banyak, mau kesehatan bagus, infrastruktur bagus. Tapi, pas disuruh bayar pajak marah-marah," imbuhnya.
Said menambahkan, mengenai rencana pengenaan pajak terhadap usaha warteg, pemerintah juga diminta menelusuri kepemilikan warteg tersebut. Pasalnya, ada warteg yang merupakan usaha informal dikelola orang formal. Bahkan, satu orang bisa memiliki 30 usaha warteg.
"Kadang-kadang satu orang miliki 30 warteg. Kalau hanya miliki satu, enggak lah (dikenakan pajak). Itu kan sektor informal yang sebenarnya pemiliknya orang formal. Menurut saya ditelusuri saja pemiliknya siapa," tandasnya.
Diberitakan Koran Sindo, edisi Senin (23/3/2015), dominasi online asing sulit disentuh mendapat perhatian khusus dari parlemen. Komisi I DPR RI mendesak pemerintah segera membuat aturan khusus agar Indonesia juga diuntungkan dengan keberadaan raksasa internet asing.
Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq mengakui baik bisnis berbasis internet (e-commerce) ataupun penyedia layanan over the top (OTT), seperti Facebook dan Google sulit disentuh sebagai objek pajak. Pasalnya, terjadi lintas batas negara dan melalui jalur online.
”Ini (online global) akan merugikan negara karena nilai transaksi besar tapi tidak dikenai pajak,” papar Mahfudz di Jakarta tadi malam.
Seperti diketahui, dominasi media raksasa online global memicu keprihatinan pemerintah. Ini karena mereka mengeruk keuntungan, besar terutama dari iklan, tanpa memberikan kontribusi pajak ke Indonesia. Pemerintah kesulitan memantau online asing tersebut karena kantor maupun server-nya berada di luar negeri.
Mantan Sekretaris Menteri (Sesmen) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Said Didu mengatakan, semakin kaya atau semakin besar perusahaan maka pajak yang dikenakan harus semakin besar.
"Yang penting memang pajak itu membikin hidup ini tertib. Semakin kaya harus semakin tinggi pajak. Kena dong harus (e-commerce)," ujarnya kepada Sindonews di Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (23/3/2015).
Menurutnya, selama ini pengenaan pajak terhadap orang pribadi ataupun usaha di Indonesia masih terbilang kecil, dibanding negara lain. Dia menyebutkan, Spanyol selama ini mengenakan pajak terhadap warga negaranya sebesar 52%.
"Coba Anda ke Spanyol, rata-rata pajak satu orang itu 52%. Di Belanda 50%. Kita berapa? Kan rendah sekali. Tapi, tuntutannya banyak, mau kesehatan bagus, infrastruktur bagus. Tapi, pas disuruh bayar pajak marah-marah," imbuhnya.
Said menambahkan, mengenai rencana pengenaan pajak terhadap usaha warteg, pemerintah juga diminta menelusuri kepemilikan warteg tersebut. Pasalnya, ada warteg yang merupakan usaha informal dikelola orang formal. Bahkan, satu orang bisa memiliki 30 usaha warteg.
"Kadang-kadang satu orang miliki 30 warteg. Kalau hanya miliki satu, enggak lah (dikenakan pajak). Itu kan sektor informal yang sebenarnya pemiliknya orang formal. Menurut saya ditelusuri saja pemiliknya siapa," tandasnya.
Diberitakan Koran Sindo, edisi Senin (23/3/2015), dominasi online asing sulit disentuh mendapat perhatian khusus dari parlemen. Komisi I DPR RI mendesak pemerintah segera membuat aturan khusus agar Indonesia juga diuntungkan dengan keberadaan raksasa internet asing.
Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq mengakui baik bisnis berbasis internet (e-commerce) ataupun penyedia layanan over the top (OTT), seperti Facebook dan Google sulit disentuh sebagai objek pajak. Pasalnya, terjadi lintas batas negara dan melalui jalur online.
”Ini (online global) akan merugikan negara karena nilai transaksi besar tapi tidak dikenai pajak,” papar Mahfudz di Jakarta tadi malam.
Seperti diketahui, dominasi media raksasa online global memicu keprihatinan pemerintah. Ini karena mereka mengeruk keuntungan, besar terutama dari iklan, tanpa memberikan kontribusi pajak ke Indonesia. Pemerintah kesulitan memantau online asing tersebut karena kantor maupun server-nya berada di luar negeri.
(dmd)