Perbankan Hadapi Tahun Berat
A
A
A
JAKARTA - Bank Indonesia (BI) mengemukakan industri perbankan di Tanah Air tahun ini diperkirakan akan mengalami tantangan berat. Hal tersebut terlihat dari penurunan nilai kredit yang disalurkan dan kenaikan risiko kredit bermasalah (NPL) pada awal 2015.
BI mencatat penurunan kredit (year on year/yoy) dari perbankan terus mengalami penurunan. Sejak Februari 2015 pertumbuhan tercatat masih di atas 12%, lalu menjadi 11,3% pada Maret, hingga 10% pada April 2015.
Sementara risiko gross NPL perbankan cenderung naik mencapai 2,42% per Februari. NPL tertinggi bersumber dari sektor konstruksi melampaui batas threshold atau 5,4% per Februari. Penyumbang NPL utama berikutnya dari sektor perdagangan yang mencapai level 3,5%.
Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial BI, Yati Kurniati mengatakan, perlambatan kredit perbankan sangat berhubungan dengan kondisi ekonomi nasional yang juga sedang menurun. Sehingga, dikhawatirkan ekspansi bank masih terus melambat. Karena dari sisi permintaan kredit akan berkurang, akibat produksi sedang turun. Di sisi lain bank juga memperketat kredit baik secara bunga maupun syarat demi menjaga risiko NPL.
"Kondisi perbankan sejalan dengan perekonomian yang sedang turun. Tapi tidak tahu siapa yang memengaruhi lebih dulu," ujar Yati, dalam diskusi bersama media akhir pekan lalu.
Dia mengatakan kondisi perbankan ditandai kekuatan modal dan likuiditas yang baik, sedangkan kredit lambat. Sehingga, membuat tren peningkatan risiko kredit perbankan khususnya dari sektor konstruksi dan perdagangan.
"Risiko ini mayoritas bersumber dari BPD. Bank daerah paling tinggi karena pembiayaan proyek banyak berada di daerah," terang Yati.
Lebih lanjut, dia mengatakan, tingginya NPL sektor konstruksi per Februari 2015 tersebut lebih banyak disebabkan oleh proyek konstruksi perumahan. Khususnya perumahan yang diinisiasi pemerintah.
Namun, Yati mengaku belum mengetahui dengan rinci penyebabnya. Sebab itu, saat ini pihaknya tengah berkoordinasi dengan pihak cabang untuk mengetahui lebih lanjut mengenai hal ini. “Kami minta teman-teman di daerah untuk menyelidiki, saat ini saya belum tahu,” jelasnya.
Untuk itu, BI telah menyiapkan beberapa instrumen dalam kebijakan makroprudensial yang dilakukan dalam pendekatan makro. Kebijakan tersebut perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya risiko sistemik. Kebijakan makroprudensial bertujuan untuk mengurangi risiko sistemik, potensi instabilitas, gangguan atau kegagalan di suatu institusi keuangan yang menjalar ke institusi keuangan lainnya.
"Karena institusi keuangan itu usaha besar, sehingga ada keterkaitan antara institusi yang gagal. Ketika yang besar jatuh maka akan merembet secara luas, itu yang kami coba cegah," tegas Yati.
Dalam kebijakan makroprudensial tersebut BI siap meningkatkan kerjasama dengan OJK, Kementerian Keuangan, dan LPS. Kerjasama dibutuhkan untuk mendorong intermediasi yang seimbang, sehingga penyaluran kredit sesuai dengan penyerapan perekonomian. Serta meningkatkan efisiensi sistem keuangan dan akses keuangan.
Dia mengaku terdapat wewenang antara BI dengan OJK yang beririsan antara keduanya. Sehingga apabila akan mengeluarkan kebijakan berarti harus dibahas bersama hingga level pimpinan. Bahkan apabila salah satunya mengeluarkan kebijakan maka harus direspon dalam 20 hari kerja. "Dan apabila tidak itu berarti disetujui. Koordinasi kami juga kembangkan dalam hal kebijakan, data, dan riset," ujarnya.
Executive Director Mandiri Destry Damayanti, Institute optimistis pertumbuhan ekonomi sepanjang 2015 masih bisa di atas 5%. Meskipun banyak yang meragukan karena pada triwulan pertama 2015 hanya tumbuh 4,7%. Keyakinannya karena melihat potensi pembangunan dan belanja pemerintah yang dapat dilakukan.
"Saya masih yakin tahun ini di atas 5%. Karena sekarang pemerintah belum optimal aja, kita masih bisa tumbuh 4,7%," ujar Destry, dalam kesempatan yang sama.
Dia meyakini, pada semester kedua proyek-proyek infrastruktur pemerintah bisa diakselerasi. Dia memprediksi pertumbuhan ekonomi hingga akhir 2015 dapat mencapai 5,3%. Menurutnya rendahnya pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan pertama 2015 memang disebabkan daya beli masyarakat masih relatif rendah karena masih merasa adanya ketidakpastian ekonomi.
Dalam kondisi seperti ini, pelaku usaha juga relatif masih wait and see dan ragu-ragu apakah proyek-proyek pemerintah dapat terealisasi. Dan jika ada progres misalnya pembebasan lahan yang dilakukan dengan baik, itu bisa meyakinkan para investor.
Investor asing masih menganggap ekonomi Indonesia memiliki ruang untuk tumbuh lebih tinggi. Saat ini, menurutnya mereka hanya menunggu perkembangan realisasi proyek-proyek yang direncanakan pemerintah. Saat ini lembaga pemeringkat S&P mempertahankan peringkat kredit Indonesia pada level BB+ atau satu level di bawah investment grade.
BI mencatat penurunan kredit (year on year/yoy) dari perbankan terus mengalami penurunan. Sejak Februari 2015 pertumbuhan tercatat masih di atas 12%, lalu menjadi 11,3% pada Maret, hingga 10% pada April 2015.
Sementara risiko gross NPL perbankan cenderung naik mencapai 2,42% per Februari. NPL tertinggi bersumber dari sektor konstruksi melampaui batas threshold atau 5,4% per Februari. Penyumbang NPL utama berikutnya dari sektor perdagangan yang mencapai level 3,5%.
Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial BI, Yati Kurniati mengatakan, perlambatan kredit perbankan sangat berhubungan dengan kondisi ekonomi nasional yang juga sedang menurun. Sehingga, dikhawatirkan ekspansi bank masih terus melambat. Karena dari sisi permintaan kredit akan berkurang, akibat produksi sedang turun. Di sisi lain bank juga memperketat kredit baik secara bunga maupun syarat demi menjaga risiko NPL.
"Kondisi perbankan sejalan dengan perekonomian yang sedang turun. Tapi tidak tahu siapa yang memengaruhi lebih dulu," ujar Yati, dalam diskusi bersama media akhir pekan lalu.
Dia mengatakan kondisi perbankan ditandai kekuatan modal dan likuiditas yang baik, sedangkan kredit lambat. Sehingga, membuat tren peningkatan risiko kredit perbankan khususnya dari sektor konstruksi dan perdagangan.
"Risiko ini mayoritas bersumber dari BPD. Bank daerah paling tinggi karena pembiayaan proyek banyak berada di daerah," terang Yati.
Lebih lanjut, dia mengatakan, tingginya NPL sektor konstruksi per Februari 2015 tersebut lebih banyak disebabkan oleh proyek konstruksi perumahan. Khususnya perumahan yang diinisiasi pemerintah.
Namun, Yati mengaku belum mengetahui dengan rinci penyebabnya. Sebab itu, saat ini pihaknya tengah berkoordinasi dengan pihak cabang untuk mengetahui lebih lanjut mengenai hal ini. “Kami minta teman-teman di daerah untuk menyelidiki, saat ini saya belum tahu,” jelasnya.
Untuk itu, BI telah menyiapkan beberapa instrumen dalam kebijakan makroprudensial yang dilakukan dalam pendekatan makro. Kebijakan tersebut perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya risiko sistemik. Kebijakan makroprudensial bertujuan untuk mengurangi risiko sistemik, potensi instabilitas, gangguan atau kegagalan di suatu institusi keuangan yang menjalar ke institusi keuangan lainnya.
"Karena institusi keuangan itu usaha besar, sehingga ada keterkaitan antara institusi yang gagal. Ketika yang besar jatuh maka akan merembet secara luas, itu yang kami coba cegah," tegas Yati.
Dalam kebijakan makroprudensial tersebut BI siap meningkatkan kerjasama dengan OJK, Kementerian Keuangan, dan LPS. Kerjasama dibutuhkan untuk mendorong intermediasi yang seimbang, sehingga penyaluran kredit sesuai dengan penyerapan perekonomian. Serta meningkatkan efisiensi sistem keuangan dan akses keuangan.
Dia mengaku terdapat wewenang antara BI dengan OJK yang beririsan antara keduanya. Sehingga apabila akan mengeluarkan kebijakan berarti harus dibahas bersama hingga level pimpinan. Bahkan apabila salah satunya mengeluarkan kebijakan maka harus direspon dalam 20 hari kerja. "Dan apabila tidak itu berarti disetujui. Koordinasi kami juga kembangkan dalam hal kebijakan, data, dan riset," ujarnya.
Executive Director Mandiri Destry Damayanti, Institute optimistis pertumbuhan ekonomi sepanjang 2015 masih bisa di atas 5%. Meskipun banyak yang meragukan karena pada triwulan pertama 2015 hanya tumbuh 4,7%. Keyakinannya karena melihat potensi pembangunan dan belanja pemerintah yang dapat dilakukan.
"Saya masih yakin tahun ini di atas 5%. Karena sekarang pemerintah belum optimal aja, kita masih bisa tumbuh 4,7%," ujar Destry, dalam kesempatan yang sama.
Dia meyakini, pada semester kedua proyek-proyek infrastruktur pemerintah bisa diakselerasi. Dia memprediksi pertumbuhan ekonomi hingga akhir 2015 dapat mencapai 5,3%. Menurutnya rendahnya pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan pertama 2015 memang disebabkan daya beli masyarakat masih relatif rendah karena masih merasa adanya ketidakpastian ekonomi.
Dalam kondisi seperti ini, pelaku usaha juga relatif masih wait and see dan ragu-ragu apakah proyek-proyek pemerintah dapat terealisasi. Dan jika ada progres misalnya pembebasan lahan yang dilakukan dengan baik, itu bisa meyakinkan para investor.
Investor asing masih menganggap ekonomi Indonesia memiliki ruang untuk tumbuh lebih tinggi. Saat ini, menurutnya mereka hanya menunggu perkembangan realisasi proyek-proyek yang direncanakan pemerintah. Saat ini lembaga pemeringkat S&P mempertahankan peringkat kredit Indonesia pada level BB+ atau satu level di bawah investment grade.
(dmd)