Lezatnya Bisnis Perbankan di Indonesia Jadi Daya Tarik Investor Asing
Rabu, 22 Juli 2020 - 09:26 WIB
Dari sisi regulator, masuknya investor asing dapat menjadi salah satu sumber aliran capital inflow di sektor perbankan. Aliran inflow ini kemudian akan mampu melonggarkan likuiditas di bank yang diambil alih.
Menurut Josua, dengan adanya pelonggaran likuiditas dari bank yang diambil alih, maka risiko dari terbatasnya likuiditas di sektor perbankan akan semakin terbatasi. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan, bank asing dan kepemilikan asing, mempunyai market share yang relatif rendah saat ini, yaitu sekitar 27%.
"Dengan rendahnya proporsi tersebut, maka regulator masihlah belum perlu khawatir terkait kompetisi yang terlalu ketat antara bank lokal dan bank asing/kepemilikan asing," ungkap Josua. (Baca juga: Menikmati Eksotika Danau Singkarak dari Ketinggian Aur Serumpun)
Anggota komisi XI DPR RI Hendrawan Supratikno mengatakan, kehadiran investor asing tersebut akan membuat industri perbankan nasional menjadi semakin menarik karena kehadiran pemain-pemain yang datang dari banyak negara, seperti AS, Eropa, Jepang, Tiongkok, Singapura, Malaysia, Korsel, India, dan Thailand. "Ini pertanda bahwa investor global semakin percaya dengan kondisi perbankan dan ekonomi Indonesia. Dari perspektif investasi tentu bagus. Artinya, Indonesia dinilai sebagai pasar yang menarik," katanya.
Hal berbeda diungkapkan ekonom Indef Bhima Yudhistira. Dia menuturkan, jika banyak bank asing yang mengusai perbankan lokal maka akan membuat mudahnya arus modal keluar, apalagi jika terjadi shock pada ekonomi sangat berisiko. Padahal, bank lokal sedang membutuhkan suntikan modal baru untuk penyehatan likuiditas.
Menurut Bhima, ekspansi bank asing di Indonesia berada dalam tahap yang mengkhawatirkan jika dilihat dari kacamata kepentingan ekonomi nasional. Problem lain adanya potensi transfer pricing antara anak dan induk bank baik dalam bentuk pengalihan dana simpanan, penempatan tenaga kerja, maupun pembelian barang dari negara asal.
Selain itu, sambung Bhima, ada faktor risiko soal penggunaan data nasabah bank di Indonesia untuk kepentingan induk bank asing. Indonesia soal perlindungan data nasabah tergolong lemah. "Padahal ‘data is the new oil’, komoditas yang mungkin nilainya ke depan lebih bernilai dari bisnis simpan-pinjam itu sendiri," ungkap dia.
Jelas ada konsekuensi dari liberalnya aturan perbankan terkait kepemilikan asing di perbankan lokal. Regulasinya bisa dilihat dalam Peraturan Pemerintah No 29/1999, dan Peraturan BI No 14/8/PBI/2012 tahun 2012. Dari aturan itu bisa disimpulkan kepemilikan saham oleh asing bisa sampai 99%. Padahal besaran kepemilikan asing idealnya di bawah 40% untuk bank lokal. (Lihat videonya: Miris, Tak :unya HP Anak Pemulung Numpang belajar di Rumah Tetangga)
Jika menilik paparan Bhima, sudah seharusnya pemerintah dan regulator lebih mengutamakan agar investor lokal dapat mengusai perbankan dalam negeri. Agar keuntungan yang saat ini dinikmati Grup Djarum dengan mengusai Bank BCA, juga dapat dirasakan oleh investor lokal lainnya. (Kunthi Fahmar Sandy)
Menurut Josua, dengan adanya pelonggaran likuiditas dari bank yang diambil alih, maka risiko dari terbatasnya likuiditas di sektor perbankan akan semakin terbatasi. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan, bank asing dan kepemilikan asing, mempunyai market share yang relatif rendah saat ini, yaitu sekitar 27%.
"Dengan rendahnya proporsi tersebut, maka regulator masihlah belum perlu khawatir terkait kompetisi yang terlalu ketat antara bank lokal dan bank asing/kepemilikan asing," ungkap Josua. (Baca juga: Menikmati Eksotika Danau Singkarak dari Ketinggian Aur Serumpun)
Anggota komisi XI DPR RI Hendrawan Supratikno mengatakan, kehadiran investor asing tersebut akan membuat industri perbankan nasional menjadi semakin menarik karena kehadiran pemain-pemain yang datang dari banyak negara, seperti AS, Eropa, Jepang, Tiongkok, Singapura, Malaysia, Korsel, India, dan Thailand. "Ini pertanda bahwa investor global semakin percaya dengan kondisi perbankan dan ekonomi Indonesia. Dari perspektif investasi tentu bagus. Artinya, Indonesia dinilai sebagai pasar yang menarik," katanya.
Hal berbeda diungkapkan ekonom Indef Bhima Yudhistira. Dia menuturkan, jika banyak bank asing yang mengusai perbankan lokal maka akan membuat mudahnya arus modal keluar, apalagi jika terjadi shock pada ekonomi sangat berisiko. Padahal, bank lokal sedang membutuhkan suntikan modal baru untuk penyehatan likuiditas.
Menurut Bhima, ekspansi bank asing di Indonesia berada dalam tahap yang mengkhawatirkan jika dilihat dari kacamata kepentingan ekonomi nasional. Problem lain adanya potensi transfer pricing antara anak dan induk bank baik dalam bentuk pengalihan dana simpanan, penempatan tenaga kerja, maupun pembelian barang dari negara asal.
Selain itu, sambung Bhima, ada faktor risiko soal penggunaan data nasabah bank di Indonesia untuk kepentingan induk bank asing. Indonesia soal perlindungan data nasabah tergolong lemah. "Padahal ‘data is the new oil’, komoditas yang mungkin nilainya ke depan lebih bernilai dari bisnis simpan-pinjam itu sendiri," ungkap dia.
Jelas ada konsekuensi dari liberalnya aturan perbankan terkait kepemilikan asing di perbankan lokal. Regulasinya bisa dilihat dalam Peraturan Pemerintah No 29/1999, dan Peraturan BI No 14/8/PBI/2012 tahun 2012. Dari aturan itu bisa disimpulkan kepemilikan saham oleh asing bisa sampai 99%. Padahal besaran kepemilikan asing idealnya di bawah 40% untuk bank lokal. (Lihat videonya: Miris, Tak :unya HP Anak Pemulung Numpang belajar di Rumah Tetangga)
Jika menilik paparan Bhima, sudah seharusnya pemerintah dan regulator lebih mengutamakan agar investor lokal dapat mengusai perbankan dalam negeri. Agar keuntungan yang saat ini dinikmati Grup Djarum dengan mengusai Bank BCA, juga dapat dirasakan oleh investor lokal lainnya. (Kunthi Fahmar Sandy)
(ysw)
Lihat Juga :
tulis komentar anda