Utamakan Survival Innovation dalam Stay At Home Economy

Rabu, 29 April 2020 - 19:20 WIB
Pakar Marketing sekaligus Managing Partner Inventure Yuswohady. Foto/Dok. SINDOnews
JAKARTA - Situasi pandemi Covid-19 ini mengharuskan masyarakat dan para pebisnis untuk menerapkan budaya Stay at Home atau tetap di rumah. Pakar Marketing sekaligus Managing Partner Inventure Yuswohady mengatakan bahwa Stay at Home ini kemudian menciptakan lifestyle, bisnis, dan bahkan ekonomi baru, yaitu Stay At Home Economy.

"Dengan adanya pandemi ini, ekonomi kita menjadi kacau balau. Kalau diringkas, ekonomi selalu ada empat flow atau arus, yaitu arus orang, barang, uang, dan data. Ada berbeda dengan krisis-krisis tahun sebelumnya, karena sebelumnya mobilitas masih ada. Tetapi yang membedakan krisis sekarang adalah, arus orang pun tidak bisa berjalan," ujar Yuswohady, yang akrab dipanggil Siwo, dalam Instagram TV Live Sindonews di Jakarta, Rabu(29/4/2020).

Ia mengatakan bahwa bisnis-bisnis yang terdampak harus segera menerapkan Survival Innovation. Siwo menegaskan bahwa Survival Innovation ini adalah aksi yang harus segera diambil, jangan sampai para pebisnis menunggu situasi kembali normal, khususnya bagi perusahaan besar. Dalam ekonomi Stay At Home, ada bisnis yang bangkit (rise), jatuh(fall), dan ada pula yang berada diantara kedua status tersebut (in between). Hal tersebut dikarenakan ada bisnis yang relevan dengan gaya hidup sekarang, dan ada bisnis yang tidak relevan karena mengharuskan orang untuk keluar rumah.



"Survei Harvard terbaru mengatakan bahwa buka tutupnya PSBB harus dilakukan setidaknya hingga tahun 2022, yang berarti situasi ini akan berlangsung cukup lama. Jadi jangan sampai menunggu normal, harus segera action, dan menyetel perusahaan ke survival mode, jangan sampai lay off karyawan," ungkap Siwo.

Dia menjelaskan, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam situasi ini adalah sektor bisnis yang paling gampang jatuh, tapi juga paling gampang bangkit, berbeda dari perusahaan besar.

"Misal Astra atau Toyota, kalau ganti bisnis enggak bisa. Kalau UMKM, shifting business lebih gampang. Relatively, UMKM lebih gampang dan lebih beruntung dari perusahaan besar, karena tidak ada overhead yang besar. Bayangkan perusahaan dengan 10.000 karyawan, dan harus makan gaji semua. UMKM, karena overhead-nya belum besar, kalau di-pivot, akan lebih mudah," papar Siwo.

Kunci dari semua itu, tegas dia, adalah survival innovation. Survival innovation banyak dilakukan perusahaan asuransi misalnya, seperti produk jaminan untuk Covid-19. Sementara untuk perbankan, di satu sisi banyak orang yang tidak mampu bayar, tapi kalau mereka sudah mulai bangkit, mereka akan butuh banyak pembiayaan.

Di perbankan saat ini situasinya semakin risky karena banyak keluarga dan perusahaan yang bangkrut, tapi di sisi lain, permintaan kredit meningkat. Siwo menyarankan, untuk peluang bisnis usaha restoran, selain dengan food delivery, juga bisa menawarkan frozen food bagi para konsumen. Untuk perhotelan, mereka bisa menawarkan food delivery dan cleaning service melalui housekeeping-nya ke rumah-rumah.

"Pendanaan harus dicari, tapi harus diingat bahwa pemerintah Indonesia enggak kaya-kaya amat. Di luar negeri, kalau bangkrut bisa dapat subsidi dari pemerintah. Namun, dengan kondisi sekarang, tentunya pemerintah kita akan lebih memprioritaskan ke golongan paling bawah," pungkasnya.
(fai)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More