Duh, OJK Sebut Tingkat Inklusi Literasi Sektor Asuransi di Indonesia Memprihatinkan
Kamis, 30 Juli 2020 - 16:00 WIB
JAKARTA - Deputi Komisioner Pengawasan IKNB II Otoritas Jasa Keuangan (OJK) M Ihsanudin menyebutkan bahwa berdasarkan hasil survei di tahun 2019, angka inklusi literasi secara nasional cukup menggembirakan. Tapi untuk inklusi literasi di sektor asuransi , menurut dia, sangat memprihatinkan.
"Angkanya sangat menyedihkan untuk saya sebut terkait sektor asuransi ini, pertumbuhannya sangat lamban sekali, bahkan dari sisi densitas dan penetrasi soal asuransi juga sangat rendah," ucap Ihsan dalam acara Infobank Talk "INSURTECH: Peluang dan Tantangan Asuransi di Era Digital" di Jakarta, Kamis (30/7/2020)
Karena tingkat densitas dan penetrasi yang sangat rendah soal asuransi ini, lanjut dia, maka produk non-bank yang melejit justru adalah pegadaian dan fintech P2P lending. "Apalagi kalau dibandingkan rasio densitas dan penetrasi dengan pengguna handphone aktif dan internet, makin miris lagi angka persentasenya," tambah Ihsan.
(Baca Juga: Bukan hanya Produk, Investasi di Asuransi juga Sedap-Sedap Ngeri)
Dia mencatat, data penduduk Indonesia terakhir angkanya mencapai lebih dari 270 juta. Pengguna handphone aktif dan internet tercatat sebanyak 338 juta. Oleh karena itu, kata Ihsan, tidak mengherankan jika jumlah handphone lebih banyak daripada jumlah penduduknya.
Inklusi literasi sektor asuransi yang rendah ini yang kemudian juga membuat orang-orang susah memahami produk asuransi. Hal ini bisa menyebabkan adanya tuduhan miss-selling.
"Karena product knowledge-nya kurang, pemegang polis tidak terlalu paham dengan isi produk. Sehingga nantinya ketika suatu saat mereka ingin mencairkan seperti saving plan, unit link, atau produk lain, mereka terkaget-kaget," ucap Ihsan.
Hal ini sering terjadi, khususnya untuk produk unit link. Ada beberapa komponen produk yang ternyata tidak dipahami pemegang polis. "Mereka kemudian bertanya-tanya, kok malah berkurang duitnya? Padahal ada komponen-komponen yang kedepannya harus di-disclose ke pemegang polis. Ketika menutup polis, khususnya unit link, kita harus paham biaya akuisisi. Juga tidak lupa ada pembayaran premi yang memotong pokok tersebut," tutur Ihsan.
"Angkanya sangat menyedihkan untuk saya sebut terkait sektor asuransi ini, pertumbuhannya sangat lamban sekali, bahkan dari sisi densitas dan penetrasi soal asuransi juga sangat rendah," ucap Ihsan dalam acara Infobank Talk "INSURTECH: Peluang dan Tantangan Asuransi di Era Digital" di Jakarta, Kamis (30/7/2020)
Karena tingkat densitas dan penetrasi yang sangat rendah soal asuransi ini, lanjut dia, maka produk non-bank yang melejit justru adalah pegadaian dan fintech P2P lending. "Apalagi kalau dibandingkan rasio densitas dan penetrasi dengan pengguna handphone aktif dan internet, makin miris lagi angka persentasenya," tambah Ihsan.
(Baca Juga: Bukan hanya Produk, Investasi di Asuransi juga Sedap-Sedap Ngeri)
Dia mencatat, data penduduk Indonesia terakhir angkanya mencapai lebih dari 270 juta. Pengguna handphone aktif dan internet tercatat sebanyak 338 juta. Oleh karena itu, kata Ihsan, tidak mengherankan jika jumlah handphone lebih banyak daripada jumlah penduduknya.
Inklusi literasi sektor asuransi yang rendah ini yang kemudian juga membuat orang-orang susah memahami produk asuransi. Hal ini bisa menyebabkan adanya tuduhan miss-selling.
"Karena product knowledge-nya kurang, pemegang polis tidak terlalu paham dengan isi produk. Sehingga nantinya ketika suatu saat mereka ingin mencairkan seperti saving plan, unit link, atau produk lain, mereka terkaget-kaget," ucap Ihsan.
Hal ini sering terjadi, khususnya untuk produk unit link. Ada beberapa komponen produk yang ternyata tidak dipahami pemegang polis. "Mereka kemudian bertanya-tanya, kok malah berkurang duitnya? Padahal ada komponen-komponen yang kedepannya harus di-disclose ke pemegang polis. Ketika menutup polis, khususnya unit link, kita harus paham biaya akuisisi. Juga tidak lupa ada pembayaran premi yang memotong pokok tersebut," tutur Ihsan.
(fai)
tulis komentar anda