China Larang Keras Predatory Pricing, Teten Sebut Praktik Bisnis Kotor
Jum'at, 29 September 2023 - 09:35 WIB
JAKARTA - Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (MenkopUKM), Teten Masduki mengungkapkan bahwa saat ini 90% barang yang dijual pada platform jual-beli online merupakan produk impor. Hal ini diyakini membuat para pelaku UMKM sulit bersaing dalam segi harga barang.
Teten mengatakan, kondisi tersebut merupakan dampak dari praktik predatory pricing yang dilakukan pada platform jual-beli online. Di mana, para pedagang menjual barang di bawah harga pokok penjualan (HPP).
"Itu merupakan persaingan bisnis yang kotor untuk meraih pangsa pasar," kata Teten dalam unggahan akun Instagram resminya, dikutip Jumat (29/9/2023).
Teten menambahkan, praktik predatory pricing dilarang oleh Permenkominfo No.1 Tahun 2012. Oleh karena itu, pihak marketplace dan penjual harus memahami untuk tidak lagi menerapkan praktik tersebut. "Di China sendiri itu dilarang keras dan didenda sangat besar," imbuh Teten.
Teten melanjutkan, praktik predatory pricing tersebut memang sementara menguntungkan konsumen, terutama yang berdaya beli rendah. Namun, hal tersebut dapat menurunkan tingkat produksi dalam negeri.
Jika produksi dalam negeri lumpuh dan pengangguran meningkat, kata Teten, maka daya beli masyarakat akan semakin melemah. Hal itu mendorong pemerintah untuk mengatur perihal praktik jual-beli agar tak lagi menerapkan predatory pricing, apalagi harga barang untuk kebutuhan tersier, bukan kebutuhan pokok.
“Jadi semua harus paham bahwa inti ekonomi suatu negara kekuatannya pada produksi. Sayangnya, digitalisasi industri di kita belum maju seperti Tiongkok, sehingga produk kita belum berdaya saing,” ujar Teten.
Sebagaimana diketahui, pemerintah secara resmi melarang TikTok menjadi platform socio commerce, sehingga tidak boleh lagi menjadi platform perdagangan online. Aplikasi milik Bytedance tersebut hanya diizinkan menjadi media sosial saja.
Teten mengatakan, kondisi tersebut merupakan dampak dari praktik predatory pricing yang dilakukan pada platform jual-beli online. Di mana, para pedagang menjual barang di bawah harga pokok penjualan (HPP).
"Itu merupakan persaingan bisnis yang kotor untuk meraih pangsa pasar," kata Teten dalam unggahan akun Instagram resminya, dikutip Jumat (29/9/2023).
Teten menambahkan, praktik predatory pricing dilarang oleh Permenkominfo No.1 Tahun 2012. Oleh karena itu, pihak marketplace dan penjual harus memahami untuk tidak lagi menerapkan praktik tersebut. "Di China sendiri itu dilarang keras dan didenda sangat besar," imbuh Teten.
Teten melanjutkan, praktik predatory pricing tersebut memang sementara menguntungkan konsumen, terutama yang berdaya beli rendah. Namun, hal tersebut dapat menurunkan tingkat produksi dalam negeri.
Jika produksi dalam negeri lumpuh dan pengangguran meningkat, kata Teten, maka daya beli masyarakat akan semakin melemah. Hal itu mendorong pemerintah untuk mengatur perihal praktik jual-beli agar tak lagi menerapkan predatory pricing, apalagi harga barang untuk kebutuhan tersier, bukan kebutuhan pokok.
“Jadi semua harus paham bahwa inti ekonomi suatu negara kekuatannya pada produksi. Sayangnya, digitalisasi industri di kita belum maju seperti Tiongkok, sehingga produk kita belum berdaya saing,” ujar Teten.
Sebagaimana diketahui, pemerintah secara resmi melarang TikTok menjadi platform socio commerce, sehingga tidak boleh lagi menjadi platform perdagangan online. Aplikasi milik Bytedance tersebut hanya diizinkan menjadi media sosial saja.
tulis komentar anda