Membangkitkan Petani Milenial
Jum'at, 07 Agustus 2020 - 06:34 WIB
Ulus Pirmawan, petani milenial asal Kampung Gadok, RT 01/01, Desa Suntenjaya, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat (KBB), menyebut kendala yang dihadapi petani saat ini adalah soal harga yang tidak stabil. Itu yang membuat petani rugi.
Ada ketidakpastian harga dan kebutuhan pasokan yang tidak menentu. ”Bagi petani, ketika harga naik untung? Tidak. Kalau petani ya begitu-begitu saja karena yang menikmati keuntungan dari kenaikan harga hanya mafia harga," ucapnya kepada KORAN SINDO.
Petani yang berhasil mendapatkan penghargaan internasional dari organisasi pangan dunia, Food and Agriculture Organization (FAO), ini menyebutkan, di luar negeri harga komoditas pertanian itu stabil. Kalaupun terjadi pergeseran harga jaraknya kecil. Itu karena pemerintahnya mengontrol pemasaran dan kebutuhan dari masing-masing pasar atau supermarket. (Lihat videonya: Penutupan Gedung DPRD DKI Jakarta Diperpanjang)
Karena itu dia menekankan perlunya kolaborasi antara Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan terkait berapa data kebutuhan semua jenis sayuran di setiap pasar. Hal ini penting agar tidak mengganggu penjualan dan suplai.
"Ya, seperti komoditas beras yang dikontrol oleh Bulog, jadi harga bisa stabil. Terserahlah pemerintah mau bikin lembaga seperti Bulog, koperasi, atau yang lainnya. Yang jelas, biarkan kami (petani) konsentrasi pada peningkatan kualitas dan hasil panen yang bagus," ucap pria yang tergabung dalam Gapoktan Wargi Panggupay ini.
Dia pun menyoroti terlalu banyaknya rantai distribusi penjualan sehingga harga ke tingkat konsumen menjadi mahal. Urutannya, dari petani ke pengepul, lalu dikirim ke pengepul yang memasok ke pasar, dikirim ke pasar grosir, diambil oleh pengecer, baru terakhir konsumen.
"Bayangkan kalau harga timun Rp1.200/kg di tingkat petani, lalu di setiap rantai distribusi itu mengambil keuntungan Rp500/kg, berapa harga jual ke konsumen? Padahal dari petaninya kan murah," keluhnya. (Sudarsono/Adi Haryanto/Lukman Hakim)
Ada ketidakpastian harga dan kebutuhan pasokan yang tidak menentu. ”Bagi petani, ketika harga naik untung? Tidak. Kalau petani ya begitu-begitu saja karena yang menikmati keuntungan dari kenaikan harga hanya mafia harga," ucapnya kepada KORAN SINDO.
Petani yang berhasil mendapatkan penghargaan internasional dari organisasi pangan dunia, Food and Agriculture Organization (FAO), ini menyebutkan, di luar negeri harga komoditas pertanian itu stabil. Kalaupun terjadi pergeseran harga jaraknya kecil. Itu karena pemerintahnya mengontrol pemasaran dan kebutuhan dari masing-masing pasar atau supermarket. (Lihat videonya: Penutupan Gedung DPRD DKI Jakarta Diperpanjang)
Karena itu dia menekankan perlunya kolaborasi antara Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan terkait berapa data kebutuhan semua jenis sayuran di setiap pasar. Hal ini penting agar tidak mengganggu penjualan dan suplai.
"Ya, seperti komoditas beras yang dikontrol oleh Bulog, jadi harga bisa stabil. Terserahlah pemerintah mau bikin lembaga seperti Bulog, koperasi, atau yang lainnya. Yang jelas, biarkan kami (petani) konsentrasi pada peningkatan kualitas dan hasil panen yang bagus," ucap pria yang tergabung dalam Gapoktan Wargi Panggupay ini.
Dia pun menyoroti terlalu banyaknya rantai distribusi penjualan sehingga harga ke tingkat konsumen menjadi mahal. Urutannya, dari petani ke pengepul, lalu dikirim ke pengepul yang memasok ke pasar, dikirim ke pasar grosir, diambil oleh pengecer, baru terakhir konsumen.
"Bayangkan kalau harga timun Rp1.200/kg di tingkat petani, lalu di setiap rantai distribusi itu mengambil keuntungan Rp500/kg, berapa harga jual ke konsumen? Padahal dari petaninya kan murah," keluhnya. (Sudarsono/Adi Haryanto/Lukman Hakim)
(ysw)
Lihat Juga :
tulis komentar anda