Membangkitkan Petani Milenial

Jum'at, 07 Agustus 2020 - 06:34 WIB
loading...
Membangkitkan Petani Milenial
Foto/Koran SINDO
A A A
JAKARTA - Muhammad Nafis (27) warga Wadung Asri, Kabupaten Sidoarjo, tengah sibuk merawat tanaman yang berada di rumahnya. Apa yang dilakukan bukan sekadar hobi atau upaya menghabiskan waktu luang, tapi sudah menjadi gantungan masa depannya. Dia serius menggeluti hidroponik karena meyakini masa depan sektor ini sangat cerah.

Nafis bisa disebut sedikit dari generasi milenial yang mempunyai ketertarikan terjun ke lapangan kerja yang dicap tradisional. Namun, dia menyadari betul bahwa sektor pangan tidak pernah habis dengan pangsa pasar yang sangat luas.

Di sisi lain dia menyadari tidak mudah untuk bisa menjadi petani. Salah satu kendalanya adalah keterbatasan lahan. Karena itu, dia memutuskan memilih sistem hidroponik dengan memanfaatkan lahan yang ada di samping rumahnya. Ada beragam jenis sayuran yang ditanam. Antara lain selada, bayam, sawi, dan kangkung.

“Saat ini saya uji coba menanam tomat ceri dan buah melon. Dua tanaman ini saya tanam di tanah. Kebetulan ada sedikit lahan di rumah yang bisa dimanfaatkan," tuturnya saat ditemui KORAN SINDO. (Baca: Warisan Budaya, Kemendikbud Dukung Upaya Digitalisasi Musik)

Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) menyadari belum banyak kalangan milineal yang terjun di bidang pertanian. Padahal, sektor pertanian sangat strategis. Bahkan di era pandemi Covid-19 ini pertanian merupakan sektor utama yang memiliki tingkat prioritas dalam menghadapi pandemi. Karena itu, Hipmi melihat urgensi untuk mendorong milenial terjun ke dunia pertanian.

"Sektor pertanian bisa kita seriuskan dengan mengajak anak muda masuk ke sana dan memaksimalkan program pemerintah," ujar Ketua Umum BPP Badan Pengurus Pusat Hipmi, Mardani H Maming.

Dia menyadari sektor pertanian menghadapi kendala ketersediaan lahan. Namun, Mardani meyakinkan bahwa persoalan tersebut bisa diatasi dengan pesatnya perkembangan teknologi dan alat mesin pertanian.

"Seiring berjalannya waktu, dengan berbagai macam teknologi yang ada, kita bisa lihat di perkotaan banyak inisiatif melakukan pertanian berskala besar dengan basis komunitas seperti hidroponik dan aeroponik," katanya.

Wakil Ketua Umum BPP Hipmi Anggawira mendorong para petani di seluruh daerah agar mulai memanfaatkan perkembangan teknologi dan informasi untuk meningkatkan produksi. Bahkan teknologi informasi juga bisa dimanfaatkan untuk memasarkan produk pertanian. (Baca juga: Sosialisasi Ganjil Genap Diperpanjang, 30 Kendaraan di Jalan DI Panjaitan Diberi Teguran)

"Dengan teknologi dan informasi, para petani bisa langsung menjual hasil produksinya melalui marketplace. Nah, inisiatif ini bisa kita kembangkan ke samping karena banyak kebutuhan lain yang menjadi konsumsi sehari-hari. Misalnya di pemenuhan protein hewani," ungkapnya.

Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo menyadari pentingnya mengajak milenial menjadi petani karena merekalah yang menjadi penentu kemajuan sektor pertanian ke depan.

"Estafet petani selanjutnya berada pada pundak generasi muda. Sebab, mereka mempunyai inovasi dan gagasan kreatif yang sangat bermanfaat bagi kelangsungan pertanian," katanya.

Mantan Gubernur Sulawesi Selatan ini percaya anak muda yang mau terjun di bidang pertanian bisa mempunyai peluang kehidupan dan ekonomi yang lebih baik. "Generasi milenial adalah masa depan sektor pertanian. Generasi yang mampu memanfaatkan teknologi untuk pertanian. Dengan memanfaatkan teknologi yang tersedia, dunia dalam genggaman mereka," paparnya. (Baca juga: Sadis, Anak SMA Ini Bunuh Pacar Saat Setubuhi Korban di Kamar Kos)

Untuk mendorong kalangan milenial agar mau menjadi petani, Kementan membuat program Penumbuhan Wirausaha Muda Pertanian (PWMP). Dia berharap PWMP bisa mencetak generasi milenial menjadi seorang petani atau mendirikan startup di bidang pertanian. "Hal ini bukanlah sesuatu yang mustahil. Sebab, kaum milenial mulai sadar bahwa pertanian adalah tambang emas tanpa batas jangka panjang," ungkapnya.

Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian, Dedi Nursyamsi, menyatakan, pemerintah menargetkan dapat mencetak 2,5 juta petani milenial. Mereka sekaligus dicetak menjadi usahawan. Kementan juga menyiapkan Komando Strategis Pembangunan Pertanian (Kostratani) sebagai pusat gerakan pembangunan pertanian yang menghubungkan petani milenial di dalam teknologi 4.0 langsung di setiap BPP kecamatan yang terkoneksi dalam Internet of Things.

"Ke depan, generasi muda pertanian bukanlah pekerja bidang pertanian, tetapi menjadi pelaku usaha pertanian. Regenerasi petani menjadi hal yang penting dan utama sekarang ini," katanya. (Baca juga: Siap-siap Kantong Makin Tipis, Ekonomi Anjlok Bakal Dongkrak Harga Beras)

Sejumlah Kendala

Selain keterbatasan lahan, petani milenial menghadapi sejumlah persoalan. Seperti diakui Muhammad Nafis, dia mempunyai keterbatasan modal untuk membeli bibit, pupuk, dan lainnya Sejumlah lembaga pembiayaan seperti leasing dan bank perkreditan rakyat (BPR) berulang kali menawarkan pinjaman. Namun, dia tidak tertarik lantaran bunganya yang tinggi.

“Kalau bunganya tinggi saya merasa berat untuk meminjam. Pernah saya ditawari oleh sebuah leasing. Dia menawari pinjaman Rp5 juta. Dalam tiga bulan jumlah yang harus saya lunasi Rp5,5 juta. Jadi, per Rp1 juta, bunganya Rp100.000. Saya keberatan. Akhirnya saya tidak jadi pinjam," keluhnya.

Ulus Pirmawan, petani milenial asal Kampung Gadok, RT 01/01, Desa Suntenjaya, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat (KBB), menyebut kendala yang dihadapi petani saat ini adalah soal harga yang tidak stabil. Itu yang membuat petani rugi.

Ada ketidakpastian harga dan kebutuhan pasokan yang tidak menentu. ”Bagi petani, ketika harga naik untung? Tidak. Kalau petani ya begitu-begitu saja karena yang menikmati keuntungan dari kenaikan harga hanya mafia harga," ucapnya kepada KORAN SINDO.

Petani yang berhasil mendapatkan penghargaan internasional dari organisasi pangan dunia, Food and Agriculture Organization (FAO), ini menyebutkan, di luar negeri harga komoditas pertanian itu stabil. Kalaupun terjadi pergeseran harga jaraknya kecil. Itu karena pemerintahnya mengontrol pemasaran dan kebutuhan dari masing-masing pasar atau supermarket. (Lihat videonya: Penutupan Gedung DPRD DKI Jakarta Diperpanjang)

Karena itu dia menekankan perlunya kolaborasi antara Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan terkait berapa data kebutuhan semua jenis sayuran di setiap pasar. Hal ini penting agar tidak mengganggu penjualan dan suplai.

"Ya, seperti komoditas beras yang dikontrol oleh Bulog, jadi harga bisa stabil. Terserahlah pemerintah mau bikin lembaga seperti Bulog, koperasi, atau yang lainnya. Yang jelas, biarkan kami (petani) konsentrasi pada peningkatan kualitas dan hasil panen yang bagus," ucap pria yang tergabung dalam Gapoktan Wargi Panggupay ini.

Dia pun menyoroti terlalu banyaknya rantai distribusi penjualan sehingga harga ke tingkat konsumen menjadi mahal. Urutannya, dari petani ke pengepul, lalu dikirim ke pengepul yang memasok ke pasar, dikirim ke pasar grosir, diambil oleh pengecer, baru terakhir konsumen.

"Bayangkan kalau harga timun Rp1.200/kg di tingkat petani, lalu di setiap rantai distribusi itu mengambil keuntungan Rp500/kg, berapa harga jual ke konsumen? Padahal dari petaninya kan murah," keluhnya. (Sudarsono/Adi Haryanto/Lukman Hakim)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1033 seconds (0.1#10.140)