Investor Panas Bumi Ngeluh, Regulasi Masih Tidak Konsisten
Selasa, 11 Agustus 2020 - 12:30 WIB
JAKARTA - Potensi energi panas bumi Indonesia menduduki posisi kedua terbesar di dunia setelah Amerika Serikat (AS), yakni sebesar 23 gigawatt (GW) atau sekitar 23.000 megawatt (MW). Namun, hingga saat ini, potensi tersebut baru termanfaatkan sebesar 2,1 MW.
Senior Advisor Indonesian Geothermal Association-Asosiasi Panas Bumi Indonesia (Inaga-API) Abadi Poernomo mengatakan, hal utama yang menyebabkan rendahnya pemanfaatan panas bumi di Indonesia adalah investor panas bumi masih terkendala karena sektor ini sarat aturan (highly regulated), namun regulasinya masih tidak konsisten.
"Regulasinya tidak sustain, khususnya perizinan. Ganti pejabat ya ganti regulasi, maka tidak sustain pelaksanaannya," ungkap Abadi dalam Market Review IDX Channel Live di Jakarta, Selasa (11/8/2020).
(Baca Juga: Pengembangan Energi Panas Bumi, Antara Lemahnya Infrastruktur dan Potensi)
Karena kendala tersebut, proyek panas bumi yang berkembang hanyalah proyek on site. Sementara itu, kata dia, di lapangan sudah banyak kontraktor yang bisnis intinya di bahan bakar fosil mulai tertarik untuk masuk ke energi panas bumi.
"Pengembangan panas bumi butuh waktu 6-7 tahun, begitu regulasi tidak sustain, tentu proyeknya akan mundur. Ini artinya, program-program panas bumi yang targetnya 2025 dengan effort yang luar biasa dari Kementerian ESDM melalui Dirjen EBTKE, tidak akan terealisasi pada 2025, akan tergeser," jelas Abadi.
Dia mengatakan, seandainya pelaksanaan Peraturan Presiden (Perpres) tentang panas bumi terbit tahun ini, maka sampai dua tahun kedepan, belum ada kegiatan apa-apa.
"Ini kan masih menyiapkan regulasi, baru 2022 mereka bisa clear up untuk menjalankan proyek. Untuk itu, butuh regulasi yang sustain, sehingga siapa saja bisa masuk. Risiko investasi proyek panas bumi tinggi, jadi tentunya butuh effort, dukungan regulasi, infrastruktur, dan kubu-kubu yang cukup baik sehingga investor tertarik masuk," pungkas Abadi.
Senior Advisor Indonesian Geothermal Association-Asosiasi Panas Bumi Indonesia (Inaga-API) Abadi Poernomo mengatakan, hal utama yang menyebabkan rendahnya pemanfaatan panas bumi di Indonesia adalah investor panas bumi masih terkendala karena sektor ini sarat aturan (highly regulated), namun regulasinya masih tidak konsisten.
"Regulasinya tidak sustain, khususnya perizinan. Ganti pejabat ya ganti regulasi, maka tidak sustain pelaksanaannya," ungkap Abadi dalam Market Review IDX Channel Live di Jakarta, Selasa (11/8/2020).
(Baca Juga: Pengembangan Energi Panas Bumi, Antara Lemahnya Infrastruktur dan Potensi)
Karena kendala tersebut, proyek panas bumi yang berkembang hanyalah proyek on site. Sementara itu, kata dia, di lapangan sudah banyak kontraktor yang bisnis intinya di bahan bakar fosil mulai tertarik untuk masuk ke energi panas bumi.
"Pengembangan panas bumi butuh waktu 6-7 tahun, begitu regulasi tidak sustain, tentu proyeknya akan mundur. Ini artinya, program-program panas bumi yang targetnya 2025 dengan effort yang luar biasa dari Kementerian ESDM melalui Dirjen EBTKE, tidak akan terealisasi pada 2025, akan tergeser," jelas Abadi.
Dia mengatakan, seandainya pelaksanaan Peraturan Presiden (Perpres) tentang panas bumi terbit tahun ini, maka sampai dua tahun kedepan, belum ada kegiatan apa-apa.
"Ini kan masih menyiapkan regulasi, baru 2022 mereka bisa clear up untuk menjalankan proyek. Untuk itu, butuh regulasi yang sustain, sehingga siapa saja bisa masuk. Risiko investasi proyek panas bumi tinggi, jadi tentunya butuh effort, dukungan regulasi, infrastruktur, dan kubu-kubu yang cukup baik sehingga investor tertarik masuk," pungkas Abadi.
(fai)
tulis komentar anda