Pajak Hiburan Diklaim Perkuat Keuangan Daerah, Intip Jenis Usahanya Apa Saja

Selasa, 16 Januari 2024 - 20:35 WIB
Terapist memberikan layanan spa kepada pelanggan di salah satu rumah spa di kawasan Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (9/12/2020). Foto/Sutikno
JAKARTA - Kenaikan tarif pajak hiburan , yang baru saja disahkan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, jadi perdebatan sengit. Pemerintah mengklaim langkah ini diambil sebagai upaya untuk memperkuat keuangan daerah .



Pemerintah pusat dan daerah memberikan alasan bahwa peningkatan tarif pajak hiburan ini dimaksudkan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun, pihak pelaku usaha hiburan merasa bahwa peningkatan tarif pajak tersebut terlalu tinggi dan dikhawatirkan akan membawa dampak buruk bagi industri hiburan.

Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Lydia Kurniawati Christyana mengatakan, secara umum pemerintah juga memberikan pengecualian terkait jasa kesenian dan hiburan untuk promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran. Hal ini menunjukkan pemerintah berpihak dan mendukung pengembangan pariwisata di daerah.

"PBJT atas jasa kesenian dan hiburan bukanlah suatu jenis pajak baru, sudah ada sejak Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD). Pada Masa Itu, objek PBJT atas jasa kesenian dan hiburan telah dipungut dengan nama pajak hiburan,” jelas Lydia dalam Media Briefing Pajak Hiburan, Selasa (16/1/2024).





Pemerintah memang telah menaikkan besaran pajak barang dan jasa tertentu (PBJT), yaitu diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa dengan batas bawah 40% dan batas atas 75% per 5 Januari 2024.

Namun diungkapkan mayoritas pajak hiburan secara umum justru turun menjadi paling tinggi sebesar 10%. Diterangkan ada penurunan tarif Pajak Barang Jasa Tertentu (PBJT) jasa kesenian dan hiburan secara umum dari semula sebesar paling tinggi 35% menjadi paling tinggi 10%.

Hal ini dilakukan untuk menyeragamkan dengan tarif pungutan berbasis konsumsi lainnya seperti makanan dan/atau minuman, tenaga listrik, jasa perhotelan, dan jasa parkir sebagai bukti komitmen pemerintah mendukung pengembangan pariwisata dan menyelaraskan dengan kondisi perekonomian.
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More