Ramai-ramai Guru Besar Minta Audit Investigasi Bansos Jokowi Nyaris Rp500 Triliun
Kamis, 08 Februari 2024 - 10:56 WIB
"Bansos penting untuk penanggulangan kemiskinan, tapi masih begitu banyak tantangan yang dihadapi untuk menjadikan bansos efektif seperti yang diharapkan. Dan tanpa politisasi pun masalah-masalah itu masih terhampar di depan kita. Apalagi dengan masalah politisasi," jelasnya.
Dia menegaskan untuk menanggulangi kemiskinan bukan dengan bansos karena fungsinya hanya safety net atau jaring pengaman sosial. Fungsi menahan, namun tidak bisa mengangkat kesejahteraan signifikan dalam jangka pendek.
Sebeb itu, butuh kehadiran negara dengan program yang bisa mengungkit atau mengangkat kapasitas ekonomi dari masyarakat bawah seperti pengembangan usaha, UMKM dan inkusivitas yang lain.
"Sayangnya program-program di atas tidak secara efektif dan sistematis dikaitkan dengan penanggulangan kemiskinan. Yang dikenal masyarakat penanggulangan kemiskinan adalah bansos," tandasnya.
Sementara, Dosen Universitas Indonesia Ninasapti Triaswati menyoroti anggaran bansos yang mengalami kenaikan tahun ini. Dia beranggapan kenaikan anggaran bansos menjadi Rp496 triliun tahun ini dibandingkan periode lalu sebesar Rp476 triliun memang besar. Namun, yang menjadi masalah bukan hanya tidak mencapai sasaran secara absolut tetapi juga soal pemerataan.
Dana bansos yang paling besar pada 2020 sebesar Rp498 triliun di era pandemi Covid-19 kemudian turun menjadi Rp397 triliun pada 2021. Lalu, naik lagi pada 2022 sebesar Rp431 triliun dan Rp476 triliun di 2023.
"Dari angka-angka itu memang ada pertanyaan besar, apakah ada kepentingan yang muncul, yakni kepentingan politik," jelas Ninasapti.
Dia mengatakan peningkatan bansos seharusnya hanya bisa terjadi dalam situasi insidental seperti di masa Covid-19, dan menjadi aneh jika pada 2024 pertumbuhan angka dana bansos sedemikian tinggi. Tambahan dananya pun diperoleh dengan memotong anggaran sehingga perlu adanya audit investigasi.
"Di situlah timbul pertanyaan, dan sekaligus muncul potensi korupsi yang demikian besar. Apakah itu akan menjadi sebuah korupsi kebijakan, yang seharusnya kebijakan pengentasan kemiskinan diukur dengan target dan ketepatan sasaran," kata dia.
Dia menegaskan untuk menanggulangi kemiskinan bukan dengan bansos karena fungsinya hanya safety net atau jaring pengaman sosial. Fungsi menahan, namun tidak bisa mengangkat kesejahteraan signifikan dalam jangka pendek.
Sebeb itu, butuh kehadiran negara dengan program yang bisa mengungkit atau mengangkat kapasitas ekonomi dari masyarakat bawah seperti pengembangan usaha, UMKM dan inkusivitas yang lain.
"Sayangnya program-program di atas tidak secara efektif dan sistematis dikaitkan dengan penanggulangan kemiskinan. Yang dikenal masyarakat penanggulangan kemiskinan adalah bansos," tandasnya.
Baca Juga
Sementara, Dosen Universitas Indonesia Ninasapti Triaswati menyoroti anggaran bansos yang mengalami kenaikan tahun ini. Dia beranggapan kenaikan anggaran bansos menjadi Rp496 triliun tahun ini dibandingkan periode lalu sebesar Rp476 triliun memang besar. Namun, yang menjadi masalah bukan hanya tidak mencapai sasaran secara absolut tetapi juga soal pemerataan.
Dana bansos yang paling besar pada 2020 sebesar Rp498 triliun di era pandemi Covid-19 kemudian turun menjadi Rp397 triliun pada 2021. Lalu, naik lagi pada 2022 sebesar Rp431 triliun dan Rp476 triliun di 2023.
"Dari angka-angka itu memang ada pertanyaan besar, apakah ada kepentingan yang muncul, yakni kepentingan politik," jelas Ninasapti.
Dia mengatakan peningkatan bansos seharusnya hanya bisa terjadi dalam situasi insidental seperti di masa Covid-19, dan menjadi aneh jika pada 2024 pertumbuhan angka dana bansos sedemikian tinggi. Tambahan dananya pun diperoleh dengan memotong anggaran sehingga perlu adanya audit investigasi.
"Di situlah timbul pertanyaan, dan sekaligus muncul potensi korupsi yang demikian besar. Apakah itu akan menjadi sebuah korupsi kebijakan, yang seharusnya kebijakan pengentasan kemiskinan diukur dengan target dan ketepatan sasaran," kata dia.
tulis komentar anda