Pasokan Melimpah, Konsumen Gas Nasional Harus Disiapkan
Rabu, 28 Februari 2024 - 19:37 WIB
JAKARTA - Ketersediaan pasokan gas di dalam negeri diproyeksikan akan semakin besar seiring dengan terus ditemukannya cadangan- cadangan gas baru. Berdasarkan neraca gas bumi 2023-2032, Indonesia diperkirakan surplus gas pada tahun 2025 mendatang.
Untuk mengatasi kelebihan pasokan yang berpotensi terjadi mulai tahun 2025 mendatang, calon pembeli gas dari dalam negeri perlu disiapkan. Dengan begitu, pasokan gas bisa dimanfaatkan secara optimal di dalam negeri dan tidak langsung dijual atau diekspor.
“Indonesia bakal surplus gas hingga 2035. Pasokan gas nanti ada dari Bontang, Tangguh, serta dari proyek Masela. Ini gasnya bisa juga untuk domestik, terutama pembangkit listrik dan industri," kata Koordinator Penyiapan Program Migas Ditjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rizal Fajar Muttaqien dalam webinar bertajuk "Menelisik Kesiapan Pasokan Gas untuk Sektor Industri dan Pembangkit Listrik", di Jakarta, Rabu (28/2/2024).
Di bagian lain, kebutuhan gas domestik juga sudah mulai mengalami pertumbuhan. Menurut dia, penurunan ekspor gas sudah terjadi mulai 2012 sejalan dengan meningkatnya penggunaan gas di dalam negeri. Namun, diakui pula bahwa pertumbuhannya masih terbatas, hanya sekitar 1% setiap tahunnya.
Untuk itu, kata Rizal, baik konektivitas maupun konsumen perlu disiapkan. Terkait dengan itu, pemerintah menurutnya menjalankan dua upaya, yakni dengan berusaha mendekatkan konsumen ke sumber gas, atau dengan membangun konektivitas dari sumber gas ke konsumen. Upaya ini bisa dilihat antara lain dari proyek pipa gas transmisi ruas Cirebon-Semarang (Cisem) yang ditargetkan bisa rampung pada Agustus nanti untuk tahap I.
Lebih lanjut, Rizal mengatakan bahwa selain untuk memenuhi kebutuhan energi di masa depan, gas juga berperan penting dalam transisi menuju energi bersih. "Gas bisa memberikan kontribusi terhadap pengurangan emisi. Setelah 2060 memang sudah tidak ada gas dalam RUPTL tapi masih ada untuk transportasi. Untuk industri dan gas ini sumber daya energi yang bersih," jelas Rizal.
Kepala Satuan Pengembangan Teknologi dan Managemen Aset PT PLN Indonesia Power (PT PLN IP) Tarwaji Warsokusumo mengatakan, gas memegang peranan penting dalam pembangkitan. Namun, untuk meningkatkan pemanfaatan gas, PLN harus meningkatkan kapasitas pembangkit listrik tenaga gas uap (PLTGU). "Indonesia harus menyediakan pembangkit-pembangkit yang mempunyai fleksibilitas dalam menangan beban minimum dan maksimum. Kita membutuhkan pembangkit listrik sejenis PLTG yang bisa merespons sekitar 88 MW per menit," tuturnya.
Di bagian lain, Deputi Keuangan dan Komersialisasi Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Kurnia Chairi mengatakan bahwa harga gas bumi tertentu (HGBT) yang diberikan kepada tujuh sektor industri berdampak pada berkurangnya penerimaan negara. Dia mencatat, terjadi penurunan penerimaan negara akibat kebijakan HGBT sebesar USD6 per MMBTU, atau senilai lebih dari USD1 miliar.
Sementara itu, Chairman Indonesia Gas Sociaty (IGS) Aris Mulya juga membeberkan bahwa masih banyak tantangan yang dihadapi dalam pengembangan gas dalam negeri. Tantangan-tantangan tersebut berasal dari sektor hulu, hilir, hingga regulasi. "Dari sektor hulu, kita tahu bahwa tingginya risiko pengembangan juga berdampak pada rendahnya investasi yang masuk. Jadi (butuh strategi) bagaimana kita bisa mengundang investor masuk dalam usaha industri hulu," ujarnya.
Untuk mengatasi kelebihan pasokan yang berpotensi terjadi mulai tahun 2025 mendatang, calon pembeli gas dari dalam negeri perlu disiapkan. Dengan begitu, pasokan gas bisa dimanfaatkan secara optimal di dalam negeri dan tidak langsung dijual atau diekspor.
“Indonesia bakal surplus gas hingga 2035. Pasokan gas nanti ada dari Bontang, Tangguh, serta dari proyek Masela. Ini gasnya bisa juga untuk domestik, terutama pembangkit listrik dan industri," kata Koordinator Penyiapan Program Migas Ditjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rizal Fajar Muttaqien dalam webinar bertajuk "Menelisik Kesiapan Pasokan Gas untuk Sektor Industri dan Pembangkit Listrik", di Jakarta, Rabu (28/2/2024).
Di bagian lain, kebutuhan gas domestik juga sudah mulai mengalami pertumbuhan. Menurut dia, penurunan ekspor gas sudah terjadi mulai 2012 sejalan dengan meningkatnya penggunaan gas di dalam negeri. Namun, diakui pula bahwa pertumbuhannya masih terbatas, hanya sekitar 1% setiap tahunnya.
Untuk itu, kata Rizal, baik konektivitas maupun konsumen perlu disiapkan. Terkait dengan itu, pemerintah menurutnya menjalankan dua upaya, yakni dengan berusaha mendekatkan konsumen ke sumber gas, atau dengan membangun konektivitas dari sumber gas ke konsumen. Upaya ini bisa dilihat antara lain dari proyek pipa gas transmisi ruas Cirebon-Semarang (Cisem) yang ditargetkan bisa rampung pada Agustus nanti untuk tahap I.
Lebih lanjut, Rizal mengatakan bahwa selain untuk memenuhi kebutuhan energi di masa depan, gas juga berperan penting dalam transisi menuju energi bersih. "Gas bisa memberikan kontribusi terhadap pengurangan emisi. Setelah 2060 memang sudah tidak ada gas dalam RUPTL tapi masih ada untuk transportasi. Untuk industri dan gas ini sumber daya energi yang bersih," jelas Rizal.
Kepala Satuan Pengembangan Teknologi dan Managemen Aset PT PLN Indonesia Power (PT PLN IP) Tarwaji Warsokusumo mengatakan, gas memegang peranan penting dalam pembangkitan. Namun, untuk meningkatkan pemanfaatan gas, PLN harus meningkatkan kapasitas pembangkit listrik tenaga gas uap (PLTGU). "Indonesia harus menyediakan pembangkit-pembangkit yang mempunyai fleksibilitas dalam menangan beban minimum dan maksimum. Kita membutuhkan pembangkit listrik sejenis PLTG yang bisa merespons sekitar 88 MW per menit," tuturnya.
Di bagian lain, Deputi Keuangan dan Komersialisasi Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Kurnia Chairi mengatakan bahwa harga gas bumi tertentu (HGBT) yang diberikan kepada tujuh sektor industri berdampak pada berkurangnya penerimaan negara. Dia mencatat, terjadi penurunan penerimaan negara akibat kebijakan HGBT sebesar USD6 per MMBTU, atau senilai lebih dari USD1 miliar.
Sementara itu, Chairman Indonesia Gas Sociaty (IGS) Aris Mulya juga membeberkan bahwa masih banyak tantangan yang dihadapi dalam pengembangan gas dalam negeri. Tantangan-tantangan tersebut berasal dari sektor hulu, hilir, hingga regulasi. "Dari sektor hulu, kita tahu bahwa tingginya risiko pengembangan juga berdampak pada rendahnya investasi yang masuk. Jadi (butuh strategi) bagaimana kita bisa mengundang investor masuk dalam usaha industri hulu," ujarnya.
(fjo)
tulis komentar anda