Peran Batu Bara Belum Tergantikan, Indonesia Perlu Dorong Clean Coal Process
Kamis, 14 Maret 2024 - 23:23 WIB
Menurut Irwandy, industri batu bara memang dibayangi transisi energi. Seiring kehadiran EBT, keberlangsungan batu bara makin dipertanyakan. Padahal, imbuh dia, faktanya saat ini hampir seluruh pembangkit listrik di Jawa menggunakan batu bara. Di sisi lain, pengembangan EBT masih jauh dalam menggantikan energi fosil, termasuk batu bara. Pemerintah pun menyadari hal itu sehingga target EBT dalam bauran energi nasional pada 2025 yang tadinya 23% diturunkan menjadi 17%.
Terkait dengan itu, Irwandy mengatakan, tantangan dalam optimalisasi pemanfaatan batu bara adalah bagaimana menekan emisi CO2 yang dihasilkan. Namun, hal itu butuh teknologi yang sejauh ini menurutnya masih mahal. "Kita memang belum memiliki teknologi ini, semuanya masih dari luar sehingga mahal sekali," ujarnya.
Tekait dengan dilema tersebut, Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro berharap semua pihak yang berkepentingan bijak dalam mengambil keputusan. Sebab, kata dia, peran penting batu bara tak bisa dimungkiri. Negara-negara industri seperti Inggris dan Amerika pun menurut dia dulu besar dengan memanfaatkan batu bara, sebelum kini beranjak pada energi yang lebih bersih.
"Tapi Eropa dan Amerika dari sisi perdagangan dalam 15 tahun terakhir kalah saing dengan China dan India. Kalau mau dilihat, salah satu faktornya adalah karena energi di kedua negara itu lebih murah, di mana India bauran energinya 70% dari batu bara dan China 60-65%," paparnya.
Berangkat dari hal itu, Komaidi menilai transisi energi yang digembar-gemborkan Barat saat ini bisa saja tidak murni persoalan lingkungan, tetapi juga memiliki unsur geopolitik. Indonesia yang memiliki sumber daya batu bara dalam jumlah besar menurutnya perlu bijak menyikapi hal ini. "Kita tetap ikut transisi energi, tapi ada pilihan cara. Kita enggak harus didikte oleh Eropa. Banyak argumentasi kenapa kita tidak harus memaksakan diri, tapi tetap ikut arus global," tandasnya.
Terkait dengan itu, Irwandy mengatakan, tantangan dalam optimalisasi pemanfaatan batu bara adalah bagaimana menekan emisi CO2 yang dihasilkan. Namun, hal itu butuh teknologi yang sejauh ini menurutnya masih mahal. "Kita memang belum memiliki teknologi ini, semuanya masih dari luar sehingga mahal sekali," ujarnya.
Tekait dengan dilema tersebut, Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro berharap semua pihak yang berkepentingan bijak dalam mengambil keputusan. Sebab, kata dia, peran penting batu bara tak bisa dimungkiri. Negara-negara industri seperti Inggris dan Amerika pun menurut dia dulu besar dengan memanfaatkan batu bara, sebelum kini beranjak pada energi yang lebih bersih.
"Tapi Eropa dan Amerika dari sisi perdagangan dalam 15 tahun terakhir kalah saing dengan China dan India. Kalau mau dilihat, salah satu faktornya adalah karena energi di kedua negara itu lebih murah, di mana India bauran energinya 70% dari batu bara dan China 60-65%," paparnya.
Berangkat dari hal itu, Komaidi menilai transisi energi yang digembar-gemborkan Barat saat ini bisa saja tidak murni persoalan lingkungan, tetapi juga memiliki unsur geopolitik. Indonesia yang memiliki sumber daya batu bara dalam jumlah besar menurutnya perlu bijak menyikapi hal ini. "Kita tetap ikut transisi energi, tapi ada pilihan cara. Kita enggak harus didikte oleh Eropa. Banyak argumentasi kenapa kita tidak harus memaksakan diri, tapi tetap ikut arus global," tandasnya.
(fjo)
Lihat Juga :
tulis komentar anda