Untung-Rugi Pemisahan Ditjen Pajak dan Bea Cukai dari Kemenkeu Menurut Ekonom
Minggu, 24 Maret 2024 - 12:00 WIB
JAKARTA - RencanaCalon Presiden Prabowo Subianto untuk memisahkan Direktorat Jenderal Pajak ( Ditjen Pajak /DJP) dan Bea Cukai dari Kementerian Keuangan ( Kemenkeu ) mendapatkan respons dari ekonom.Kebijakan memisahkan kedua Direktorat Kementerian Keuangan itu dinilai memiliki dua sisi yang tidak terpisahkan, yakni untung dan rugi.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan, poin positifnya tentu pemisahan Ditjen Pajak-Bea Cukai memberikan dampak terhadap kewenangan yang lebih luas bagi pengambil kebijakan perpajakan dan kebijakan cukai.
"Misalnya mau terapkan pajak karbon, ya langsung bisa dieksekusi. Kemudian mau kejar pajak kekayaan (wealth tax) juga bisa lebih cepat masuk kantong penerimaan negara," ujar Bhima saat dihubungi MNC Portal, Sabtu (23/3/2024).
Selain itu menurutnya koordinasi DJP dan Bea Cukai juga menjadi lebih fleksibel ketika hendak mengambil sebuah keputusan. Seperti halnya bisa langsung berkoordinasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk merumuskan strategi perpajakan dan target pajak.
"Apalagi mau kejar rasio pajak 18-25% di 2045 dan Indonesia mau jadi negara anggota OECD yang rasio pajaknya tinggi butuh lembaga perpajakan yang superpower," sambungnya.
Namun demikian, strategi pemisahan DJP dan Bea Cukai juga tidak luput dari kelemahan, misalnya proses pemisahan waktu yang tidak sebentar dan tentunya membutuhkan anggaran yang tidak sedikit untuk mewujudkannya.
"Ego sektoral di Kemenkeu juga penting dilihat. Ibaratnya kalau DJP-Bea Cukai keluar dari Kemenkeu, maka hilang sebagian wewenang Menteri Keuangan. Padahal soal rancangan APBN dirumuskan bersama dirjen dan lembaga di bawah kendali Menkeu," lanjutnya.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan, poin positifnya tentu pemisahan Ditjen Pajak-Bea Cukai memberikan dampak terhadap kewenangan yang lebih luas bagi pengambil kebijakan perpajakan dan kebijakan cukai.
"Misalnya mau terapkan pajak karbon, ya langsung bisa dieksekusi. Kemudian mau kejar pajak kekayaan (wealth tax) juga bisa lebih cepat masuk kantong penerimaan negara," ujar Bhima saat dihubungi MNC Portal, Sabtu (23/3/2024).
Baca Juga
Selain itu menurutnya koordinasi DJP dan Bea Cukai juga menjadi lebih fleksibel ketika hendak mengambil sebuah keputusan. Seperti halnya bisa langsung berkoordinasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk merumuskan strategi perpajakan dan target pajak.
"Apalagi mau kejar rasio pajak 18-25% di 2045 dan Indonesia mau jadi negara anggota OECD yang rasio pajaknya tinggi butuh lembaga perpajakan yang superpower," sambungnya.
Namun demikian, strategi pemisahan DJP dan Bea Cukai juga tidak luput dari kelemahan, misalnya proses pemisahan waktu yang tidak sebentar dan tentunya membutuhkan anggaran yang tidak sedikit untuk mewujudkannya.
"Ego sektoral di Kemenkeu juga penting dilihat. Ibaratnya kalau DJP-Bea Cukai keluar dari Kemenkeu, maka hilang sebagian wewenang Menteri Keuangan. Padahal soal rancangan APBN dirumuskan bersama dirjen dan lembaga di bawah kendali Menkeu," lanjutnya.
tulis komentar anda