Lifting Minyak Saban Tahun Turun Dianggap Wajar, Ini 5 Penyebabnya
Sabtu, 15 Agustus 2020 - 22:52 WIB
JAKARTA - Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai, turunnya lifting minyak pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang terjadi saban tahun merupakan hal yang wajar. Menurutnya, setidaknya ada lima faktor yang menyebabkan tidak pernah beranjaknya angka lifting minyak dan gas dalam beberapa tahun terakhir.
“Kenapa dibilang wajar, karena pertama, kondisi lapangan migas kita saat ini sudah mature dan decline rate yang cukup besar. Tahun ini saja sudah berkisar 4% dan bahkan bisa 20% jika tidak ada kegiatan pengeboran dan kerja sumur secara signifikan,” kata Mamit kepada SINDO Media di Jakarta, Sabtu (15/08/2020).
(Baca Juga: Dekati Target APBN, Lifting Minyak Semester I/2020 Capai 94,5% )
Diketahui, saat menyampaikan Rancangan Undang Undang RAPBN 2021 pada Jumat (14/08/20), pemerintah memproyeksikan angka lifting minyak pada tahun depan sebesar 705.000 barel per hari (bph). Angka tersebut menurun dibanding lifting pada tahun ini yang ditargetkan 755.000 bph. Setahun sebelumnya yakni di 2019 lifting dipatok 775.000 bph dan pada 2018 sebesar 800.000 bph.
Menurut Mamit, faktor kedua yang menyebabkan lifting turun adalah tren harga minyak dunia yang masih belum kondusif mengingat pandemi Covid-19 masih belum ada kepastian kapan berakhirnya. Dengan demikian, ujar dia, target harga minyak tahun depan di angka USD45 per barel masih belum bisa mengerek keekonomian harga minyak di Indonesia mengingat lifting cost yang masih cukup tinggi.
Dia menambahkan, dampak dari masih rendahnya harga minya dunia mengakibatkan banyak KKKS mengurangi kegiatan pengeboran dan cendrung hanya menahan laju produksi dengan kegiatan workover dan well services (WOWS) saja.
(Baca Juga: Jokowi Beberkan Asumsi-Asumsi Makro 2021 )
“Data yang saya punya, sampai dengan Juli 2020 realisasi pengeboran baru 39% dari target outlook sebanyak 263 pengeboran eksploitasi. Untuk WOWS baru 46% dari target outlook 603 pekerjaan WOWS. Bahkan untuk pengeboran explorasi baru 15% dari target outlook 30 pengeboran sumur eksplorasi," ungkapnya.
Ketiga, iklim investasi yang masih belum kondusif. Hal ini menyebabkan KKKS kesulitan dalam mengembangkan kegiatan operasional mereka. Sebagai contoh, permasalahan sosial masyarakat masih sering ditemui di lapangan sehingga mengganggu kegiatan operasi. Belum lagi persoalan lahan yang bermasalah dan menjadi kendala.
“Yang lain terkait dengan ilegal taping flowline yang banyak terjadi di beberapa wilayah juga berpengaruh terhadap operasional,” ujar dia.
Faktor keempat, yang menjadi masalah adalah belum rampungnya Revisi UU Migas. Hal itu bisa menjadi kendala dalam target pemenuhan investasi sektor migas di Tanah Air. “Tapi dengan diterbitkannya Permen ESDM No 12/2020 saya kira bisa membantu untuk menumbuhkan iklim investasi di sektor migas,” ujarnya.
Adapun faktor kelima adalah, sampai saat ini tidak ada giant discovery yang kita temukan. “Terakhir adalah lapangan Banyu Urip yang full scale onstream,” kata dia.
“Kenapa dibilang wajar, karena pertama, kondisi lapangan migas kita saat ini sudah mature dan decline rate yang cukup besar. Tahun ini saja sudah berkisar 4% dan bahkan bisa 20% jika tidak ada kegiatan pengeboran dan kerja sumur secara signifikan,” kata Mamit kepada SINDO Media di Jakarta, Sabtu (15/08/2020).
(Baca Juga: Dekati Target APBN, Lifting Minyak Semester I/2020 Capai 94,5% )
Diketahui, saat menyampaikan Rancangan Undang Undang RAPBN 2021 pada Jumat (14/08/20), pemerintah memproyeksikan angka lifting minyak pada tahun depan sebesar 705.000 barel per hari (bph). Angka tersebut menurun dibanding lifting pada tahun ini yang ditargetkan 755.000 bph. Setahun sebelumnya yakni di 2019 lifting dipatok 775.000 bph dan pada 2018 sebesar 800.000 bph.
Menurut Mamit, faktor kedua yang menyebabkan lifting turun adalah tren harga minyak dunia yang masih belum kondusif mengingat pandemi Covid-19 masih belum ada kepastian kapan berakhirnya. Dengan demikian, ujar dia, target harga minyak tahun depan di angka USD45 per barel masih belum bisa mengerek keekonomian harga minyak di Indonesia mengingat lifting cost yang masih cukup tinggi.
Dia menambahkan, dampak dari masih rendahnya harga minya dunia mengakibatkan banyak KKKS mengurangi kegiatan pengeboran dan cendrung hanya menahan laju produksi dengan kegiatan workover dan well services (WOWS) saja.
(Baca Juga: Jokowi Beberkan Asumsi-Asumsi Makro 2021 )
“Data yang saya punya, sampai dengan Juli 2020 realisasi pengeboran baru 39% dari target outlook sebanyak 263 pengeboran eksploitasi. Untuk WOWS baru 46% dari target outlook 603 pekerjaan WOWS. Bahkan untuk pengeboran explorasi baru 15% dari target outlook 30 pengeboran sumur eksplorasi," ungkapnya.
Ketiga, iklim investasi yang masih belum kondusif. Hal ini menyebabkan KKKS kesulitan dalam mengembangkan kegiatan operasional mereka. Sebagai contoh, permasalahan sosial masyarakat masih sering ditemui di lapangan sehingga mengganggu kegiatan operasi. Belum lagi persoalan lahan yang bermasalah dan menjadi kendala.
“Yang lain terkait dengan ilegal taping flowline yang banyak terjadi di beberapa wilayah juga berpengaruh terhadap operasional,” ujar dia.
Faktor keempat, yang menjadi masalah adalah belum rampungnya Revisi UU Migas. Hal itu bisa menjadi kendala dalam target pemenuhan investasi sektor migas di Tanah Air. “Tapi dengan diterbitkannya Permen ESDM No 12/2020 saya kira bisa membantu untuk menumbuhkan iklim investasi di sektor migas,” ujarnya.
Adapun faktor kelima adalah, sampai saat ini tidak ada giant discovery yang kita temukan. “Terakhir adalah lapangan Banyu Urip yang full scale onstream,” kata dia.
(akr)
Lihat Juga :
tulis komentar anda