Pelaku Industri Tekstil: Saat Ini Trennya Bukan Lagi PHK, Tapi Menutup Pabrik
Jum'at, 14 Juni 2024 - 08:10 WIB
JAKARTA - Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja ( PHK ) massal yang menimpa sektor industri menjadi sorotan. Ratusan ribu pekerja terpaksa dirumahkan yang dialami oleh industri tekstil dan produk tekstil (TPT) , saat mengalami penurunan penjualan di tengah gempuran produk impor yang menginvasi Indonesia.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta menjelaskan, situasi PHK yang digembar-gemborkan tersebut hanya yang terlihat secara permukaan saja. Dia mengatakan situasi industri TPT lokal yang terjadi saat ini adalah penutupan pabrik hingga berujung bisnis terpaksa gulung tikar.
"Saat ini trendnya bukan lagi PHK tetapi menutup pabrik, karena perusahaan jalan saat ini dengan sisa karyawan, jadi PHK sekaligus tutup pabrik," ujar Gita kepada MPI, Jumat (14/6/2024).
Sambung dia mengungkapkan, tren gulung tikar bisnis industri TPT ini akan terus berlangsung selama pemerintah masih mempertahankan kebijakan yang pro importir.
"Kondisi ini akan terus berlangsung sampai ada kebijakan perbaikan pasar dari pemerintah, sepanjang pemerintah masih pro terhadap para importir pedagang, tren tutup pabrik ini akan terus terjadi," jelas Gita.
Dia menyebutkan situasi semakin diperparah sejak awal 2024 ketika Kementerian Perdagangan mengeluarkan Permendag Nomor 8 tahun 2024, yang mengutamakan relaksasi impor sehingga pasar industri TPT condong kembali ke produk bukan dalam negeri tersebut.
"Semenjak ada Permendag Nomor 8 Tahun 2024, yang semangatnya relaksasi impor sehingga banyak brand lokal kembali ke produk impor, industri TPT merasa tidak ada harapan lagi dan cashflow yang buruk maka sebagian perusahaan memutuskan menutup pabriknya dan mem-PHK sisa karyawannya," ungkap Gita.
Sekadar informasi, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi menjelaskan penurunan permintaan produk TPT yang diproduksi lantaran kalah bersaing secara harga dengan barang impor, khususnya dengan yang berasal dari Tiongkok.
"Pabrik-pabrik tekstil tersebut sebenarnya sudah berusaha untuk bertahan dengan inovasi menjual barangnya sendiri, tetapi kemudian tidak laku juga terutama di pasar lokal," terang Ristadi.
"Produk mereka tidak laku karena kalah bersaing harganya dengan barang TPT impor, terutama dari China, sehingga mereka tidak mampu bertahan," sambung Ristadi.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta menjelaskan, situasi PHK yang digembar-gemborkan tersebut hanya yang terlihat secara permukaan saja. Dia mengatakan situasi industri TPT lokal yang terjadi saat ini adalah penutupan pabrik hingga berujung bisnis terpaksa gulung tikar.
"Saat ini trendnya bukan lagi PHK tetapi menutup pabrik, karena perusahaan jalan saat ini dengan sisa karyawan, jadi PHK sekaligus tutup pabrik," ujar Gita kepada MPI, Jumat (14/6/2024).
Baca Juga
Sambung dia mengungkapkan, tren gulung tikar bisnis industri TPT ini akan terus berlangsung selama pemerintah masih mempertahankan kebijakan yang pro importir.
"Kondisi ini akan terus berlangsung sampai ada kebijakan perbaikan pasar dari pemerintah, sepanjang pemerintah masih pro terhadap para importir pedagang, tren tutup pabrik ini akan terus terjadi," jelas Gita.
Dia menyebutkan situasi semakin diperparah sejak awal 2024 ketika Kementerian Perdagangan mengeluarkan Permendag Nomor 8 tahun 2024, yang mengutamakan relaksasi impor sehingga pasar industri TPT condong kembali ke produk bukan dalam negeri tersebut.
"Semenjak ada Permendag Nomor 8 Tahun 2024, yang semangatnya relaksasi impor sehingga banyak brand lokal kembali ke produk impor, industri TPT merasa tidak ada harapan lagi dan cashflow yang buruk maka sebagian perusahaan memutuskan menutup pabriknya dan mem-PHK sisa karyawannya," ungkap Gita.
Sekadar informasi, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi menjelaskan penurunan permintaan produk TPT yang diproduksi lantaran kalah bersaing secara harga dengan barang impor, khususnya dengan yang berasal dari Tiongkok.
"Pabrik-pabrik tekstil tersebut sebenarnya sudah berusaha untuk bertahan dengan inovasi menjual barangnya sendiri, tetapi kemudian tidak laku juga terutama di pasar lokal," terang Ristadi.
"Produk mereka tidak laku karena kalah bersaing harganya dengan barang TPT impor, terutama dari China, sehingga mereka tidak mampu bertahan," sambung Ristadi.
(akr)
Lihat Juga :
tulis komentar anda