Awas, Lobi Keuangan Raksasa Digital Bisa Bikin Gojek Cs Terpental
Jum'at, 21 Agustus 2020 - 15:20 WIB
JAKARTA - Berkat partisipasi media sosial yang tinggi, pertumbuhan ekonomi digital Indonesia berkembang pesat selama satu dekade terakhir. Kehadiran enam unicorn di Indonesia, yaitu Gojek, Tokopedia, Bukalapak, Traveloka, OVO, dan JD.ID, membuat ekonomi digital Indonesia saat ini menjadi yang terbesar dan paling cepat berkembang di kawasan Asia Tenggara, meski belum memiliki peraturan tentang perlindungan data pribadi.
“Berbekal potensi tersebut, jika Indonesia menerapkan aturan akses data universal, atau pembebasan data publik dengan biaya tertentu, maka perusahaan lokal dapat mengejar ketertinggalan. Juga membantu mengurangi kesenjangan, dan mengatasi tantangan lokal yang kurang relevan bagi pemain global,” kata Sachin Mittal, Head of Telecom, Media & Technology Research, DBS Bank Singapore, dalam keterangannya di Jakarta Jumat (21/8/2020).
Kendati terlihat sederhana, Sachin menambahkan, raksasa digital memiliki kekuatan keuangan untuk melobi regulator agar mengeluarkan peraturan yang menguntungkan mereka. Oleh karena itu, untuk menstimulasi langkah tepat, banyak negara berkembang tak terkecuali Indonesia membutuhkan dukungan dari Eropa, Jepang, badan regional serta organisasi multilateral.
"Jika tidak, kekuatan melobi platform digital besar tampaknya sulit dikalahkan," imbuh dia.
Berdasarkan data General Data Protection Regulation (GDPR) Uni Eropa, Indonesia telah menyusun rancangan undang-undang tentang perlindungan data pribadi (RUU PDP), yang sedang ditinjau oleh DPR. ( Baca juga:Konon, dengan Industri Ini Indonesia Bisa Jadi Kekuatan Ekonomi Dunia di 2030 )
"Setelah RUU itu disahkan menjadi undang-undang, Indonesia akan bergabung dengan lebih dari 120 negara yang telah memberlakukan undang-undang perlindungan data," sebut dia.
Pada tahun 2012, Indonesia menerapkan kebijakan pelokalan data secara ketat untuk meningkatkan kontrol lebih besar atas data negara. Akan tetapi, pada Oktober 2019, persyaratan pelokalan data tersebut telah dilonggarkan dalam upaya mendorong investasi asing.
"Sejak saat itu, peraturan pelokalan data hanya berlaku untuk entitas publik dan entitas yang mengoperasikan platform digital atas nama publik, di mana semua pemain harus memastikan bahwa platform dan data digital mereka dapat diakses oleh regulator di mana pun lokasinya," jelasnya.
Dengan tantangan dan kondisi ekonomi digital saat ini, setiap negara mencoba untuk memilih campuran pendekatan yang sesuai dengan realita dan keadaan masing-masing.
“Berbekal potensi tersebut, jika Indonesia menerapkan aturan akses data universal, atau pembebasan data publik dengan biaya tertentu, maka perusahaan lokal dapat mengejar ketertinggalan. Juga membantu mengurangi kesenjangan, dan mengatasi tantangan lokal yang kurang relevan bagi pemain global,” kata Sachin Mittal, Head of Telecom, Media & Technology Research, DBS Bank Singapore, dalam keterangannya di Jakarta Jumat (21/8/2020).
Kendati terlihat sederhana, Sachin menambahkan, raksasa digital memiliki kekuatan keuangan untuk melobi regulator agar mengeluarkan peraturan yang menguntungkan mereka. Oleh karena itu, untuk menstimulasi langkah tepat, banyak negara berkembang tak terkecuali Indonesia membutuhkan dukungan dari Eropa, Jepang, badan regional serta organisasi multilateral.
"Jika tidak, kekuatan melobi platform digital besar tampaknya sulit dikalahkan," imbuh dia.
Berdasarkan data General Data Protection Regulation (GDPR) Uni Eropa, Indonesia telah menyusun rancangan undang-undang tentang perlindungan data pribadi (RUU PDP), yang sedang ditinjau oleh DPR. ( Baca juga:Konon, dengan Industri Ini Indonesia Bisa Jadi Kekuatan Ekonomi Dunia di 2030 )
"Setelah RUU itu disahkan menjadi undang-undang, Indonesia akan bergabung dengan lebih dari 120 negara yang telah memberlakukan undang-undang perlindungan data," sebut dia.
Pada tahun 2012, Indonesia menerapkan kebijakan pelokalan data secara ketat untuk meningkatkan kontrol lebih besar atas data negara. Akan tetapi, pada Oktober 2019, persyaratan pelokalan data tersebut telah dilonggarkan dalam upaya mendorong investasi asing.
"Sejak saat itu, peraturan pelokalan data hanya berlaku untuk entitas publik dan entitas yang mengoperasikan platform digital atas nama publik, di mana semua pemain harus memastikan bahwa platform dan data digital mereka dapat diakses oleh regulator di mana pun lokasinya," jelasnya.
Dengan tantangan dan kondisi ekonomi digital saat ini, setiap negara mencoba untuk memilih campuran pendekatan yang sesuai dengan realita dan keadaan masing-masing.
(uka)
Lihat Juga :
tulis komentar anda