Potensinya Rp8.000 Triliun, Intip 2 Skema Ekonomi Karbon di Indonesia
Minggu, 23 Juni 2024 - 19:27 WIB
JAKARTA - Presiden Direktur PT Radian Teknologi Global, Moch. Abadi mengungkapkan, bahwa pemerintah telah menyiapkan sejumlah strategi untuk menurunkan emisi gas rumah kaca 29-41% pada 2030. Strategi tersebut salah satunya melalui nilai ekonomi karbon (carbon pricing).
Menurut Abadi, nilai ekonomi karbon merupakan nilai dari setiap unit emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari kegiatan manusia dan kegiatan ekonomi.
"Potensi pendapatan (nilai ekonomi karbon ) bisa mencapai Rp8.000 triliun hasil dari pengelolaan gas emisi tadi, ini kalau dari penyerapan saja kita lihat sampai 113,18 gigaton total penyerapan emisi karbon," kata Abadi dalam Pelatihan Media dengan tema “Bisnis Karbon dan CCUS - Potensi, Proses Bisnis, dan Outlook", Minggu (23/6/2024).
Kemudian, lanjut Abadi, dari situ proyeksi harga karbon dihargai USD5 per ton CO2. Ia mengatakan, harganya akan naik jika kita terus berkompetisi untuk melaksanakan program penurunan emisi semaksimal mungkin.
Abadi menjelaskan, ada dua skema ekonomi karbon di Indonesia yaitu dengan instrumen perdagangan atau instrumen non-perdagangan.
Dalam instrumen perdagangan ada perdagangan emisi yakni penghasil karbon besar beli izin emisi dari penghasil karbon rendah dan offset emisi yakni entitas yang berhasil turunkan emisi dapat jual kredit karbon. Sedangkan instrumen non-perdagangan ada pajak karbon yaitu pungutan atas aktivitas/kandungan karbon dan Result Based Payment (RBD) atau pembayaran atas hasil penurunan emisi.
"Indonesia memiliki potensi besar dari nilai ekonomi karbon. Selain dapat menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29-41 persen pada 2030, Indonesia berpotensi mendapatkan tambahan pendapatan hingga ribuan triliun," jelasnya.
Adapun sektor industri sasaran dalam nilai ekonomi karbon ini adalah energi, transportasi, pengolahan limbah, proses industri dan penggunaan produk, pertanian, kehutanan.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengatakan, Indonesia memiliki potensi pendapatan sebesar USD565,9 miliar atau sekitar Rp8.000 triliun dari perdagangan karbon dari hutan, mangrove, dan gambut.
Menurut Abadi, nilai ekonomi karbon merupakan nilai dari setiap unit emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari kegiatan manusia dan kegiatan ekonomi.
Baca Juga
"Potensi pendapatan (nilai ekonomi karbon ) bisa mencapai Rp8.000 triliun hasil dari pengelolaan gas emisi tadi, ini kalau dari penyerapan saja kita lihat sampai 113,18 gigaton total penyerapan emisi karbon," kata Abadi dalam Pelatihan Media dengan tema “Bisnis Karbon dan CCUS - Potensi, Proses Bisnis, dan Outlook", Minggu (23/6/2024).
Kemudian, lanjut Abadi, dari situ proyeksi harga karbon dihargai USD5 per ton CO2. Ia mengatakan, harganya akan naik jika kita terus berkompetisi untuk melaksanakan program penurunan emisi semaksimal mungkin.
Abadi menjelaskan, ada dua skema ekonomi karbon di Indonesia yaitu dengan instrumen perdagangan atau instrumen non-perdagangan.
Dalam instrumen perdagangan ada perdagangan emisi yakni penghasil karbon besar beli izin emisi dari penghasil karbon rendah dan offset emisi yakni entitas yang berhasil turunkan emisi dapat jual kredit karbon. Sedangkan instrumen non-perdagangan ada pajak karbon yaitu pungutan atas aktivitas/kandungan karbon dan Result Based Payment (RBD) atau pembayaran atas hasil penurunan emisi.
"Indonesia memiliki potensi besar dari nilai ekonomi karbon. Selain dapat menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29-41 persen pada 2030, Indonesia berpotensi mendapatkan tambahan pendapatan hingga ribuan triliun," jelasnya.
Adapun sektor industri sasaran dalam nilai ekonomi karbon ini adalah energi, transportasi, pengolahan limbah, proses industri dan penggunaan produk, pertanian, kehutanan.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengatakan, Indonesia memiliki potensi pendapatan sebesar USD565,9 miliar atau sekitar Rp8.000 triliun dari perdagangan karbon dari hutan, mangrove, dan gambut.
Lihat Juga :
tulis komentar anda