Ekonom Sebut Ada 2 Menteri Gelar Karpet Merah untuk Produk Impor, Efeknya Ngeri
Selasa, 25 Juni 2024 - 10:57 WIB
“Permendag No. 8/2024 sebaiknya kembali direvisi dengan mengikutsertakan asosiasi-asosiasi industri dan kamar dagang, supaya duduk bersama guna mengetahui secara detail aspirasi dari kedua belah pihak. Karena jika kebijakan impor ini terelaksasi sangat luas, efek domino yang terjadi bukan main bahayanya,” ungkap Fahmi mengingatkan.
Lebih lanjut Ia juga menyoroti dalam surat apresiasi dari perwakilan kamar dagang asing menyatakan, bahwa aturan yang merupakan relaksasi impor tersebut akan mendorong terciptanya lingkungan bisnis lebih kondusif dan menegaskan komitmen Indonesia dalam memfasilitasi perdagangan internasional.
Menurutnya pemerintah mestinya berperan sebagai penyeimbang. World Trade Organization (WTO) menegaskan, negara (anggota) dapat mengambil tindakan pengamanan (safeguard) untuk melindungi industri domestik dari dampak negatif perdagangan bebas.
“Nah, sebenarnya impor tetap dibutuhkan jika bahan baku atau produk tersebut memiliki permintaan yang tinggi, namun belum mampu diproduksi di dalam negeri. Artinya dukungan terhadap perdagangan internasional tidak harus dengan membuka pintu tanpa menyaring dengan bijak. Jika pemerintah terkesan lebih mendukung produk impor, maka rencana TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) yang dari dulu digadang-gadangkan pemerintah pun menjadi sia-sia,” ungkap Fahmi.
Fahmi juga menyoroti perwakilan kamar dagang asing yang masih meminta pemerintah Indonesia untuk merelaksasi izin impor lebih luas lagi dari yang sudah dilakukan melalui Permendag No. 8 /2024. Menurutnya pemerintah sebaiknya tidak melakukan relaksasi impor lebih jauh lagi.
“Permendag No. 8/2024 ini saja sudah cukup melukai hati para pelaku industri dalam negeri. Dalam surat itu, Kamar Dagang dan Industri Asing, meminta beberapa komoditas ditingkatkan relaksasinya seperti tekstil, besi dan baja, serta ban," jelasnya.
"Bila permintaan itu dipenuhi, dikhawatirkan akan mengganggu industri tekstil dalam negeri yang sudah memberikan kontribusi ke PDB sebesar 1.05% dan industri barang logam sebesar 1.57%. Akan banyak pelaku industri yang gulung tikar, dengan konsekuensi pengangguran akan semakin besar. Selain itu, Rupiah juga akan makin melemah karena permintaan terhadap USD semakin tinggi,” terang Fahmi.
Lebih lanjut Fahmi menjelaskan, bahwa relaksasi impor yang berlebihan yang salah satunya dilakukan melalui Permendag No. 8/2024 ini akan menghantam industri dalam negeri. Jika tidak diimbangi dengan regulasi yang saling menguntungkan dan menyeimbangkan, hal ini akan membahayakan iklim bisnis industri dalam negeri.
Industri dalam negeri harus kembali bersaing dengan industri luar negeri, sehingga masih perlu didukung agar dapat menghasilkan produk dan harga yang bisa bersaing dengan industri luar.
“Jika pemerintah tidak bersikap imbang dengan mendukung industri manufaktur, dikhawatirkan badai manufaktur akan terjadi dalam waktu singkat di Indonesia. Perlu diketahui, tidak ada negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang baik dari tingginya impor di negara tersebut,” tambah Fahmi.
Lebih lanjut Ia juga menyoroti dalam surat apresiasi dari perwakilan kamar dagang asing menyatakan, bahwa aturan yang merupakan relaksasi impor tersebut akan mendorong terciptanya lingkungan bisnis lebih kondusif dan menegaskan komitmen Indonesia dalam memfasilitasi perdagangan internasional.
Menurutnya pemerintah mestinya berperan sebagai penyeimbang. World Trade Organization (WTO) menegaskan, negara (anggota) dapat mengambil tindakan pengamanan (safeguard) untuk melindungi industri domestik dari dampak negatif perdagangan bebas.
“Nah, sebenarnya impor tetap dibutuhkan jika bahan baku atau produk tersebut memiliki permintaan yang tinggi, namun belum mampu diproduksi di dalam negeri. Artinya dukungan terhadap perdagangan internasional tidak harus dengan membuka pintu tanpa menyaring dengan bijak. Jika pemerintah terkesan lebih mendukung produk impor, maka rencana TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) yang dari dulu digadang-gadangkan pemerintah pun menjadi sia-sia,” ungkap Fahmi.
Fahmi juga menyoroti perwakilan kamar dagang asing yang masih meminta pemerintah Indonesia untuk merelaksasi izin impor lebih luas lagi dari yang sudah dilakukan melalui Permendag No. 8 /2024. Menurutnya pemerintah sebaiknya tidak melakukan relaksasi impor lebih jauh lagi.
“Permendag No. 8/2024 ini saja sudah cukup melukai hati para pelaku industri dalam negeri. Dalam surat itu, Kamar Dagang dan Industri Asing, meminta beberapa komoditas ditingkatkan relaksasinya seperti tekstil, besi dan baja, serta ban," jelasnya.
"Bila permintaan itu dipenuhi, dikhawatirkan akan mengganggu industri tekstil dalam negeri yang sudah memberikan kontribusi ke PDB sebesar 1.05% dan industri barang logam sebesar 1.57%. Akan banyak pelaku industri yang gulung tikar, dengan konsekuensi pengangguran akan semakin besar. Selain itu, Rupiah juga akan makin melemah karena permintaan terhadap USD semakin tinggi,” terang Fahmi.
Lebih lanjut Fahmi menjelaskan, bahwa relaksasi impor yang berlebihan yang salah satunya dilakukan melalui Permendag No. 8/2024 ini akan menghantam industri dalam negeri. Jika tidak diimbangi dengan regulasi yang saling menguntungkan dan menyeimbangkan, hal ini akan membahayakan iklim bisnis industri dalam negeri.
Industri dalam negeri harus kembali bersaing dengan industri luar negeri, sehingga masih perlu didukung agar dapat menghasilkan produk dan harga yang bisa bersaing dengan industri luar.
“Jika pemerintah tidak bersikap imbang dengan mendukung industri manufaktur, dikhawatirkan badai manufaktur akan terjadi dalam waktu singkat di Indonesia. Perlu diketahui, tidak ada negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang baik dari tingginya impor di negara tersebut,” tambah Fahmi.
tulis komentar anda