Rupiah Terus Melemah, Ini Dampaknya ke Kondisi Fiskal dan Harga Energi
Jum'at, 28 Juni 2024 - 11:12 WIB
"Berdasarkan data, rata-rata realisasi kurs tengah Bank Indonesia selama 1 Januari-26 Juni 2024 adalah Rp15.892 per USD atau lebih tinggi Rp892 per USD dibandingkan asumsi APBN 2024. Jika mengacu pada hasil simulasi itu, pelemahan rupiah tersebut memberikan dampak terhadap meningkatnya biaya pengadaan BBM sekitar Rp705 untuk setiap liternya," cetusnya. Komaidimenambahkan, peningkatan biaya pengadaan BBM akan lebih besar lagi jika memperhitungkan realisasi rata-rata ICP pada periode yang sama tercatat lebih tinggi dibandingkan asumsi APBN 2024.
Komaidi melanjutkan, dampak pelemahan nilai tukar terhadap harga energi, khususnya BBM, terpantau juga dialami oleh hampir semua negara. Sebagai gambaran, rata-rata harga BBM untuk jenis bensin RON 95 selama Januari-Juni 2024 dari sejumlah negara seperti Singapura, Filipina, Thailand, Laos, dan Vietnam masing-masing adalah Rp33.850/liter, Rp19.302/liter, Rp16.850/liter, Rp23.650/liter, dan Rp15.033/liter.
Terkait dengan itu, tegas Komaidi, jika mempertimbangkan kondisi realisasi APBN sampai kuartal I-2024 serta memperhatikan aspek keberlanjutan ketersediaan BBM di dalam negeri, penyesuaian harga BBM kemungkinan akan menjadi opsi yang cukup logis di tengah relatif terbatasnya opsi kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah.
"Kebijakan harga yang kurang proporsional dan terbatasnya anggaran subsidi berpotensi menimbulkan risiko ekonomi dan sosial yang besar akibat terganggunya keberlanjutan pasokan BBM di dalam negeri," tuturnya. "Kendati menjadi opsi kebijakan yang cukup logis, emerintah perlu mengantisipasi potensi risiko yang dapat ditimbulkan dari kebijakan kenaikan harga BBM".
Komaidi mengatakan, produk domestik bruto (PDB) Indonesia baik berdasarkan pendekatan sektoral maupun kelompok pengeluaran memiliki keterkaitan yang kuat dengan harga energi. Berdasarkan kelompok pengeluaran, sekitar 55% PDB Indonesia merupakan kontribusi dari sektor konsumsi yang relatif sensitif terhadap tingkat inflasi
Level harga energi yang optimal memiliki peran penting dalam mencapai target makro ekonomi termasuk target penerimaan negara di APBN. Hal itu karena sekitar 82% pendapatan negara pada APBN 2024 direncanakan berasal dari penerimaan perpajakan yang sangat ditentukan oleh realisasi pertumbuhan ekonomi (PDB). Sekitar 50% penerimaan perpajakan dikontribusikan oleh sektor industri dan sektor perdagangan yang memiliki keterkaitan cukup kuat dengan ketersediaan energi.
"Mencermati permasalahan yang ada tersebut, ReforMiner menilai saat ini pemerintah menghadapi tantangan yang relatif sulit untuk dapat memformulasikan kebijakan fiskal dan kebijakan harga energi yang optimal untuk mengantisipasi dampak negatif yang berpotensi ditimbulkan dari pelemahan nilai tukar rupiah," tutupnya.
Komaidi melanjutkan, dampak pelemahan nilai tukar terhadap harga energi, khususnya BBM, terpantau juga dialami oleh hampir semua negara. Sebagai gambaran, rata-rata harga BBM untuk jenis bensin RON 95 selama Januari-Juni 2024 dari sejumlah negara seperti Singapura, Filipina, Thailand, Laos, dan Vietnam masing-masing adalah Rp33.850/liter, Rp19.302/liter, Rp16.850/liter, Rp23.650/liter, dan Rp15.033/liter.
Baca Juga
Terkait dengan itu, tegas Komaidi, jika mempertimbangkan kondisi realisasi APBN sampai kuartal I-2024 serta memperhatikan aspek keberlanjutan ketersediaan BBM di dalam negeri, penyesuaian harga BBM kemungkinan akan menjadi opsi yang cukup logis di tengah relatif terbatasnya opsi kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah.
"Kebijakan harga yang kurang proporsional dan terbatasnya anggaran subsidi berpotensi menimbulkan risiko ekonomi dan sosial yang besar akibat terganggunya keberlanjutan pasokan BBM di dalam negeri," tuturnya. "Kendati menjadi opsi kebijakan yang cukup logis, emerintah perlu mengantisipasi potensi risiko yang dapat ditimbulkan dari kebijakan kenaikan harga BBM".
Komaidi mengatakan, produk domestik bruto (PDB) Indonesia baik berdasarkan pendekatan sektoral maupun kelompok pengeluaran memiliki keterkaitan yang kuat dengan harga energi. Berdasarkan kelompok pengeluaran, sekitar 55% PDB Indonesia merupakan kontribusi dari sektor konsumsi yang relatif sensitif terhadap tingkat inflasi
Level harga energi yang optimal memiliki peran penting dalam mencapai target makro ekonomi termasuk target penerimaan negara di APBN. Hal itu karena sekitar 82% pendapatan negara pada APBN 2024 direncanakan berasal dari penerimaan perpajakan yang sangat ditentukan oleh realisasi pertumbuhan ekonomi (PDB). Sekitar 50% penerimaan perpajakan dikontribusikan oleh sektor industri dan sektor perdagangan yang memiliki keterkaitan cukup kuat dengan ketersediaan energi.
"Mencermati permasalahan yang ada tersebut, ReforMiner menilai saat ini pemerintah menghadapi tantangan yang relatif sulit untuk dapat memformulasikan kebijakan fiskal dan kebijakan harga energi yang optimal untuk mengantisipasi dampak negatif yang berpotensi ditimbulkan dari pelemahan nilai tukar rupiah," tutupnya.
(fjo)
Lihat Juga :
tulis komentar anda