Camkan!, Indonesia Belum Resesi, Seluruh Jajaran Harus All Out Bertempur
Selasa, 25 Agustus 2020 - 06:09 WIB
JAKARTA - Chief Economist tanamduit Ferry Latuhihin mendukung pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani yang menegaskan Indonesia mengalami resesi teknikal karena pertumbuhan ekonomi kuartal II/2020 terkontraksi 5,32% secara tahunan. Lantaran hal itu, Ia mengajak semua pihak all out serta berharap dunia usaha dan stakeholders sama-sama memulihkan ekonomi akibat Covid
Menurut Ferry, hal itu itu sangat benar karena semua negara, bukan Indonesia saja yang kedodoran menghadapi tragedi pandemi ini. Sebab yang terjadi adalah double-shock supply dan demand. "Bayangkan dalam sekejap ekonomi global lumpuh. Jadi memang harus bertempur," ujar Ferry di Jakarta.
(Baca Juga: Resesi Ekonomi RI Tidak Terhindarkan, Seberapa Dalam Tergantung Penyerapan PEN )
Selanjutnya dia menyebutkan yang dikhawatirkan terjadi Hysteresis, yaitu keadaan ekonomi yang sulit bangkit lagi. Misalnya industri hotel, restoran, cafe, kemungkinan besar memakan waktu lama untuk kembali normal. Kecuali kalau vaksinnya telah beredar di pasar dan trauma konsumen hilang.
Dan jangan lupa terang Ferry bahwa, PDB itu sifatnya history-dependent. Guncangan terhadap ekonomi bisa berdampak permanen terhadap output. Ini yang disebut Hysteresis.
(Baca Juga: Tenang, Baru Sekali Kontraksi Resesi Ekonomi Belum Brojol )
Ongkos untuk shock akan sangat besar kalau pemerintah tidak bertindak cepat dan all out. Karena adanya kekuatan endogenous yang berinteraksi dengan lumpuhnya sektor tertentu yang menentukan pertumbuhan jangka panjang dan dinamika pasar kerja.
Misalnya, karena lumpuhnya sektor pariwisata, kemungkinan besar akan mengurangi permintaan di sektor-sektor lain sebagai penunjangnya. Mulai dari sendal hotel, handuk, spray, sampai sikat gigi.
(Baca Juga: Sri Mulyani: Indonesia Beruntung Belum Resesi Ekonomi )
Oleh karena itu pemerintah harus menjaga output agar serapat mungkin dengan potensinya. Tujuannya juga untuk menghindari bahaya inflasi. Kalau supply turun drastis, bukan tidak mungkin bahaya inflasi mengikuti.
Sementara strategi mendorong investasi jelas tidak bisa diandalkan saat kapasitas terpakai menjadi lebih rendah. Maka stimulus pemerintah yang harus dikucurkan sebesar mungkin.
Sejauh ini menurutnya langkah-langkah pemerintah dan BI telah benar. Hanya mungkin eksekusinya yang tidak lancar karena satu dan lain hal. "Masih banyak kendala database yang tidak solid. Atau oknum personilnya yang kurang tanggap. Jadi imbauan Menkeu untuk bertempur itu benar. Semua harus all out," ujarnya.
Menurut Ferry, hal itu itu sangat benar karena semua negara, bukan Indonesia saja yang kedodoran menghadapi tragedi pandemi ini. Sebab yang terjadi adalah double-shock supply dan demand. "Bayangkan dalam sekejap ekonomi global lumpuh. Jadi memang harus bertempur," ujar Ferry di Jakarta.
(Baca Juga: Resesi Ekonomi RI Tidak Terhindarkan, Seberapa Dalam Tergantung Penyerapan PEN )
Selanjutnya dia menyebutkan yang dikhawatirkan terjadi Hysteresis, yaitu keadaan ekonomi yang sulit bangkit lagi. Misalnya industri hotel, restoran, cafe, kemungkinan besar memakan waktu lama untuk kembali normal. Kecuali kalau vaksinnya telah beredar di pasar dan trauma konsumen hilang.
Dan jangan lupa terang Ferry bahwa, PDB itu sifatnya history-dependent. Guncangan terhadap ekonomi bisa berdampak permanen terhadap output. Ini yang disebut Hysteresis.
(Baca Juga: Tenang, Baru Sekali Kontraksi Resesi Ekonomi Belum Brojol )
Ongkos untuk shock akan sangat besar kalau pemerintah tidak bertindak cepat dan all out. Karena adanya kekuatan endogenous yang berinteraksi dengan lumpuhnya sektor tertentu yang menentukan pertumbuhan jangka panjang dan dinamika pasar kerja.
Misalnya, karena lumpuhnya sektor pariwisata, kemungkinan besar akan mengurangi permintaan di sektor-sektor lain sebagai penunjangnya. Mulai dari sendal hotel, handuk, spray, sampai sikat gigi.
(Baca Juga: Sri Mulyani: Indonesia Beruntung Belum Resesi Ekonomi )
Oleh karena itu pemerintah harus menjaga output agar serapat mungkin dengan potensinya. Tujuannya juga untuk menghindari bahaya inflasi. Kalau supply turun drastis, bukan tidak mungkin bahaya inflasi mengikuti.
Sementara strategi mendorong investasi jelas tidak bisa diandalkan saat kapasitas terpakai menjadi lebih rendah. Maka stimulus pemerintah yang harus dikucurkan sebesar mungkin.
Sejauh ini menurutnya langkah-langkah pemerintah dan BI telah benar. Hanya mungkin eksekusinya yang tidak lancar karena satu dan lain hal. "Masih banyak kendala database yang tidak solid. Atau oknum personilnya yang kurang tanggap. Jadi imbauan Menkeu untuk bertempur itu benar. Semua harus all out," ujarnya.
(akr)
tulis komentar anda