Pengamat UGM: BBM Subsidi Salah Sasaran Bebani APBN Rp90 Triliun
Sabtu, 07 September 2024 - 20:05 WIB
JAKARTA - Kebijakan pembatasan bahan bakar minyak (BBM) subsidi berapa kali sudah diwacanakan pemerintah, namun hingga kini belum juga diterapkan.
Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi menilai, bantahan Presiden Jokowi sampai dua kali mengindikasikan bahwa masih bimbang memutuskan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi.
Menurutnya ada pertimbangan yang membuat kebijakan pembatasan penyaluran produk energi belum diterapkan. Terutama, pertimbangan inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat.
"Barangkali, Jokowi khawatir bahwa kebijakan pembatasan BBM subsidi akan menaikkan inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat, sehingga bisa menurunkan legasi Jokowi sebelum lengser pada 20 Oktober 2024," ujar Fahmi, Sabtu (7/9/2024).
Baca Juga: Pertamina Patra Niaga dan Lion Group Jajaki Perluasan Layanan Avtur
Dia mencatat pembatasan BBM subsidi memang akan menaikkan harga BBM bagi konsumen yang tidak berhak, sehingga harus bermigrasi ke BBM non subsidi dengan harga lebih mahal.
Kendati begitu, kenaikan harga tersebut harus dilokalisir sehingga tidak memicu inflasi secara signifikan dan tidak menurunkan daya beli masyarakat kelas menengah ke atas. "Tidak ada alasan bagi Jokowi untuk bimbang dalam memutuskan kebijakan pembatasan BBM Subsidi," paparnya.
Baca Juga: Pertamina Tambah 300.000 LPG 3 Kg Soloraya, Stok di Klaten Aman
Pasalnya, jumlah beban subsidi BBM yang salah sasaran sudah sangat besar atau sekitar Rp90 triliun per tahun, yang memberatkan beban APBN. Bila sampai dengan lengser, Presiden Jokowi tidak juga memutuskan kebijakan pembatasan BBM subsidi, beban APBN akan diwariskan kepada pemerintahan presiden terpilih, yakni Prabowo Subianto.
Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi menilai, bantahan Presiden Jokowi sampai dua kali mengindikasikan bahwa masih bimbang memutuskan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi.
Menurutnya ada pertimbangan yang membuat kebijakan pembatasan penyaluran produk energi belum diterapkan. Terutama, pertimbangan inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat.
"Barangkali, Jokowi khawatir bahwa kebijakan pembatasan BBM subsidi akan menaikkan inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat, sehingga bisa menurunkan legasi Jokowi sebelum lengser pada 20 Oktober 2024," ujar Fahmi, Sabtu (7/9/2024).
Baca Juga: Pertamina Patra Niaga dan Lion Group Jajaki Perluasan Layanan Avtur
Dia mencatat pembatasan BBM subsidi memang akan menaikkan harga BBM bagi konsumen yang tidak berhak, sehingga harus bermigrasi ke BBM non subsidi dengan harga lebih mahal.
Kendati begitu, kenaikan harga tersebut harus dilokalisir sehingga tidak memicu inflasi secara signifikan dan tidak menurunkan daya beli masyarakat kelas menengah ke atas. "Tidak ada alasan bagi Jokowi untuk bimbang dalam memutuskan kebijakan pembatasan BBM Subsidi," paparnya.
Baca Juga: Pertamina Tambah 300.000 LPG 3 Kg Soloraya, Stok di Klaten Aman
Pasalnya, jumlah beban subsidi BBM yang salah sasaran sudah sangat besar atau sekitar Rp90 triliun per tahun, yang memberatkan beban APBN. Bila sampai dengan lengser, Presiden Jokowi tidak juga memutuskan kebijakan pembatasan BBM subsidi, beban APBN akan diwariskan kepada pemerintahan presiden terpilih, yakni Prabowo Subianto.
(nng)
tulis komentar anda