Rupiah Tersungkur 5 Hari Beruntun, Nyaris Tembus Rp15.500 per USD
Jum'at, 04 Oktober 2024 - 15:57 WIB
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kondisi ini terjadi., Pertama, pemutusan hubungan kerja (PHK). Kementerian Ketenagakerjaan mencatat sebanyak 53.993 tenaga kerja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) per 1 Oktober 2024. Ribuan orang yang di-PHK itu sebagian besar berasal dari sektor manufaktur. Tiga provinsi dengan angka PHK terbesar adalah Jawa Tengah, Banten, dan Jakarta. Adapun diprediksi sampai akhir tahun angka PHK akan melonjak lebih dari 75.000. Pasalnya, mulai banyak perusahaan dinyatakan pailit atau akhirnya pindah ke daerah lain yang upah minimumnya lebih kecil.
Kedua, minimnya lapangan kerja di sektor padat karya. Di tengah membludaknya PHK, pembukaan lapangan pekerjaan baru di sektor padat karya dalam lima tahun terakhir juga nyaris tidak ada. Padahal sektor ini menjadi andalan untuk menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar sehingga diharapkan bisa melahirkan apa yang disebutnya sebagai warga kelas menengah.
Namun data BPS terakhir menunjukkan 9,48 juta warga kelas menengah Indonesia justru turun kelas dalam lima tahun terakhir, menjadi hanya 47,85 juta. Situasi tersebut tak lepas dari kebijakan pemerintah yang lebih menggenjot investasi di sektor padat modal seperti tambang ketimbang padat karya yang membuka lapangan kerja baru.
Ketiga, tingginya suku bunga. Walaupun Bank Indonesia (BI) akhirnya memangkas suku bunga acuan pada September 2024 menjadi 6 persen dari sebelumnya 6,25 persen, demi menjaga penguatan atau stabilitas nilai tukar rupiah. Namun uang yang beredar di masyarakat jadi lebih mahal dan bukan berarti bisa mengurangi lonjakan deflasi di bulan-bulan mendatang.
Sebab, PHK massal dan tidak adanya lapangan kerja baru belum sepenuhnya teratasi. Konsekuensinya, daya beli masyarakat juga belum akan membaik. Berdasarkan data di atas, mata uang rupiah untuk perdagangan berikutnya diprediksi bergerak fluktuatif, namun kembali ditutup melemah di rentang Rp15.470 - Rp15.580 per USD.
Kedua, minimnya lapangan kerja di sektor padat karya. Di tengah membludaknya PHK, pembukaan lapangan pekerjaan baru di sektor padat karya dalam lima tahun terakhir juga nyaris tidak ada. Padahal sektor ini menjadi andalan untuk menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar sehingga diharapkan bisa melahirkan apa yang disebutnya sebagai warga kelas menengah.
Namun data BPS terakhir menunjukkan 9,48 juta warga kelas menengah Indonesia justru turun kelas dalam lima tahun terakhir, menjadi hanya 47,85 juta. Situasi tersebut tak lepas dari kebijakan pemerintah yang lebih menggenjot investasi di sektor padat modal seperti tambang ketimbang padat karya yang membuka lapangan kerja baru.
Ketiga, tingginya suku bunga. Walaupun Bank Indonesia (BI) akhirnya memangkas suku bunga acuan pada September 2024 menjadi 6 persen dari sebelumnya 6,25 persen, demi menjaga penguatan atau stabilitas nilai tukar rupiah. Namun uang yang beredar di masyarakat jadi lebih mahal dan bukan berarti bisa mengurangi lonjakan deflasi di bulan-bulan mendatang.
Sebab, PHK massal dan tidak adanya lapangan kerja baru belum sepenuhnya teratasi. Konsekuensinya, daya beli masyarakat juga belum akan membaik. Berdasarkan data di atas, mata uang rupiah untuk perdagangan berikutnya diprediksi bergerak fluktuatif, namun kembali ditutup melemah di rentang Rp15.470 - Rp15.580 per USD.
(nng)
tulis komentar anda