BRICS Pimpin Pemakaman Dolar AS, Bank-bank Amerika Runtuh Telan Kerugian Rp7.800 Triliun
Senin, 07 Oktober 2024 - 09:02 WIB
JAKARTA - Aliansi BRICS terus memperkuat sistem perbankan seiring penurunan di Amerika Serikat (AS). Dalam tiga tahun terakhir, 15 bank AS runtuh menimbulkan kekhawatiran akan ketidakstabilan keuangan.
BRICS telah mendorong upaya-upaya dedolarisasi terutama sejak mereka memperluas jumlah anggotanya. Sementara, tekanan terhadap dolar AS terus meningkat karena bank-bank di negara ini menghadapi kerugian yang belum direalisasi sebesar lebih dari USD500 miliar atau setara Rp7.800 triliun.
Seorang pakar keuangan di Florida Atlantic University mengungkapkan bahwa kerugian yang belum direalisasikan atas sekuritas investasi As mencapai lebih dari USD500 miliar pada akhir kuartal II-2024 dalam tren penurunan dibandingkan tahun sebelumnya.
Namun, ini masih merupakan kerugian yang signifikan bagi salah satu negara dengan ekonomi terkuat di dunia. Bank-bank sekarang dibebani dengan lebih dari setengah triliun dolar pada neraca keuangan mereka. Perkembangan ini menunjukkan bahwa bank-bank AS menghadapi risiko, sementara bank-bank sentral BRICS secara besar-besaran mengakumulasi emas untuk melakukan lindung nilai terhadap dolar AS.
Hal senda juga dikatakan, Rebel Cole, Ph.D., Lynn Eminent Scholar yang mengetuai Profesor Keuangan di Fakultas Bisnis FAU. Dia mengatakan ada tren penurunan dalam kerugian yang belum direalisasi Bank-bank AS dalam kondisi mengkhawatirkan.
"Imbal hasil treasury 10 tahun sangat tidak stabil selama dua tahun terakhir karena inflasi meningkat. Bank-bank juga terpengaruh oleh eksposur mereka terhadap deposito yang tidak diasuransikan, sehingga kombinasi kerugian yang belum direalisasikan dan eksposur terhadap deposito yang tidak diasuransikan dapat sangat merusak," ujarnya dilansir dari Watcher Guru, Senin (7/10/2024).
Menurut dia, kombinasi ini bisa sangat mematikan karena dolar AS juga menderita akibat inflasi dan tekanan BRICS. Selain itu, utang AS juga terus meningkat tahun ini melewati level tertinggi sepanjang masa.
Utang nasional AS saat ini mencapai lebih dari USD35,7 triliun. Dalam tiga hari terakhir saja, utang tersebut telah melonjak sebesar USD345 miliar. Pemerintah AS saat ini membayar bunga utang sebesar USD3 miliar per hari.
Peningkatan utang dan kerugian yang belum terealisasi hanya memberikan tekanan lebih besar pada ekonomi AS, mengecewakan para investor AS namun menyenangkan bagi negara-negara BRICS. Meskipun kerugian yang belum direalisasi hanya ada di neraca, kerugian tersebut dapat menjadi kewajiban ketika bank-bank membutuhkan likuiditas. Hal ini membuat sistem perbankan AS berada di bawah tekanan karena BRICS terus membuang obligasi AS dan dolar.
Aliansi BRICS juga mempelopori gerakan dedolarisasi dengan meyakinkan negara-negara berkembang untuk mengakhiri ketergantungan pada dolar. Dengan semakin banyaknya negara yang ingin melengserkan dolar, tekanan lebih lanjut dapat terjadi pada bank-bank AS, dan dengan demikian juga pada seluruh perekonomian AS.
BRICS telah mendorong upaya-upaya dedolarisasi terutama sejak mereka memperluas jumlah anggotanya. Sementara, tekanan terhadap dolar AS terus meningkat karena bank-bank di negara ini menghadapi kerugian yang belum direalisasi sebesar lebih dari USD500 miliar atau setara Rp7.800 triliun.
Seorang pakar keuangan di Florida Atlantic University mengungkapkan bahwa kerugian yang belum direalisasikan atas sekuritas investasi As mencapai lebih dari USD500 miliar pada akhir kuartal II-2024 dalam tren penurunan dibandingkan tahun sebelumnya.
Namun, ini masih merupakan kerugian yang signifikan bagi salah satu negara dengan ekonomi terkuat di dunia. Bank-bank sekarang dibebani dengan lebih dari setengah triliun dolar pada neraca keuangan mereka. Perkembangan ini menunjukkan bahwa bank-bank AS menghadapi risiko, sementara bank-bank sentral BRICS secara besar-besaran mengakumulasi emas untuk melakukan lindung nilai terhadap dolar AS.
Hal senda juga dikatakan, Rebel Cole, Ph.D., Lynn Eminent Scholar yang mengetuai Profesor Keuangan di Fakultas Bisnis FAU. Dia mengatakan ada tren penurunan dalam kerugian yang belum direalisasi Bank-bank AS dalam kondisi mengkhawatirkan.
"Imbal hasil treasury 10 tahun sangat tidak stabil selama dua tahun terakhir karena inflasi meningkat. Bank-bank juga terpengaruh oleh eksposur mereka terhadap deposito yang tidak diasuransikan, sehingga kombinasi kerugian yang belum direalisasikan dan eksposur terhadap deposito yang tidak diasuransikan dapat sangat merusak," ujarnya dilansir dari Watcher Guru, Senin (7/10/2024).
Menurut dia, kombinasi ini bisa sangat mematikan karena dolar AS juga menderita akibat inflasi dan tekanan BRICS. Selain itu, utang AS juga terus meningkat tahun ini melewati level tertinggi sepanjang masa.
Utang nasional AS saat ini mencapai lebih dari USD35,7 triliun. Dalam tiga hari terakhir saja, utang tersebut telah melonjak sebesar USD345 miliar. Pemerintah AS saat ini membayar bunga utang sebesar USD3 miliar per hari.
Peningkatan utang dan kerugian yang belum terealisasi hanya memberikan tekanan lebih besar pada ekonomi AS, mengecewakan para investor AS namun menyenangkan bagi negara-negara BRICS. Meskipun kerugian yang belum direalisasi hanya ada di neraca, kerugian tersebut dapat menjadi kewajiban ketika bank-bank membutuhkan likuiditas. Hal ini membuat sistem perbankan AS berada di bawah tekanan karena BRICS terus membuang obligasi AS dan dolar.
Aliansi BRICS juga mempelopori gerakan dedolarisasi dengan meyakinkan negara-negara berkembang untuk mengakhiri ketergantungan pada dolar. Dengan semakin banyaknya negara yang ingin melengserkan dolar, tekanan lebih lanjut dapat terjadi pada bank-bank AS, dan dengan demikian juga pada seluruh perekonomian AS.
(nng)
tulis komentar anda