Menyoroti Perbedaan Bea Masuk Gandum, KPPU Wanti-wanti Praktik Curang
Rabu, 16 Oktober 2024 - 18:07 WIB
JAKARTA - Perbedaan signifikan antara bea masuk gandum pangan (0%) dan gandum pakan (5%) berpotensi dimanfaatkan oleh pihak tidak bertanggung jawab untuk mengimpor gandum pangan dengan dalih pakan ternak. Praktik ini diperkirakan sudah berlangsung dalam skala besar, mengakibatkan kerugian negara hingga miliaran rupiah setiap tahunnya.
Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha ( KPPU ), Hilman Pujana menyampaikan, perbedaan bea masuk antara gandum pangan dan gandum pakan berpotensi memicu persaingan usaha tidak sehat di antara produsen pakan ternak. Menurutnya, ada indikasi pengusaha menggunakan gandum pangan yang terkena bea masuk 0% untuk pakan ternak, meskipun sesuai aturan, gandum pakan seharusnya dikenakan bea masuk 5%.
"Perbedaan bea masuk ini bisa menjadi indikasi praktik persaingan usaha tidak sehat. Ada pengusaha yang tertib menggunakan gandum pakan dengan bea masuk 5%, tetapi ada juga yang tidak tertib dan menggunakan gandum pangan untuk bahan pakan ternak," kata Hilman, Rabu (16/10/2024).
KPPU telah mempertemukan berbagai pemangku kepentingan, termasuk Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (APTINDO), Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT), serta Kementerian Pertanian, guna membahas permasalahan ini. Hilman menambahkan KPPU akan menjalankan fungsi penegakan hukum dan kajian untuk memastikan kebijakan yang ada dijalankan dengan baik.
Menurut Hilman, salah satu masalah yang perlu diperbaiki adalah sistem pelabelan gandum, yang harus lebih jelas dalam membedakan peruntukan gandum pangan dan pakan. Ia juga menekankan pentingnya penegakan hukum untuk mencegah penyalahgunaan ini.
Direktur Eksekutif Indonesian Food Watch, Pri Menix menambahkan, pemerintah perlu memperkuat peraturan terkait, terutama Peraturan Menteri Pertanian (Permentan), untuk mengawasi peredaran gandum di lapangan. Menurutnya, perbedaan bea masuk antara gandum pangan dan pakan berpotensi menjadi salah satu sumber masalah.
"Bisnis boleh saja berjalan, tapi jika ada penyalahgunaan, itu tidak boleh didiamkan," kata Menix. Dia juga menyoroti perbedaan data impor gandum antara APTINDO dan Badan Pusat Statistik (BPS), yang menurutnya perlu ditelaah lebih lanjut untuk mengungkap kemungkinan penyalahgunaan.
Menix berharap pelaku usaha pakan ternak dapat bersaing secara sehat dan mengikuti aturan yang ada, yaitu menggunakan gandum pakan yang dikenai bea masuk 5%, bukan gandum pangan yang bea masuknya 0%.
"Wajar jika impor gandum pangan lebih tinggi dari impor gandum pakan, karena ada dugaan penyalahgunaan ini," katanya.
Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha ( KPPU ), Hilman Pujana menyampaikan, perbedaan bea masuk antara gandum pangan dan gandum pakan berpotensi memicu persaingan usaha tidak sehat di antara produsen pakan ternak. Menurutnya, ada indikasi pengusaha menggunakan gandum pangan yang terkena bea masuk 0% untuk pakan ternak, meskipun sesuai aturan, gandum pakan seharusnya dikenakan bea masuk 5%.
"Perbedaan bea masuk ini bisa menjadi indikasi praktik persaingan usaha tidak sehat. Ada pengusaha yang tertib menggunakan gandum pakan dengan bea masuk 5%, tetapi ada juga yang tidak tertib dan menggunakan gandum pangan untuk bahan pakan ternak," kata Hilman, Rabu (16/10/2024).
KPPU telah mempertemukan berbagai pemangku kepentingan, termasuk Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (APTINDO), Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT), serta Kementerian Pertanian, guna membahas permasalahan ini. Hilman menambahkan KPPU akan menjalankan fungsi penegakan hukum dan kajian untuk memastikan kebijakan yang ada dijalankan dengan baik.
Menurut Hilman, salah satu masalah yang perlu diperbaiki adalah sistem pelabelan gandum, yang harus lebih jelas dalam membedakan peruntukan gandum pangan dan pakan. Ia juga menekankan pentingnya penegakan hukum untuk mencegah penyalahgunaan ini.
Direktur Eksekutif Indonesian Food Watch, Pri Menix menambahkan, pemerintah perlu memperkuat peraturan terkait, terutama Peraturan Menteri Pertanian (Permentan), untuk mengawasi peredaran gandum di lapangan. Menurutnya, perbedaan bea masuk antara gandum pangan dan pakan berpotensi menjadi salah satu sumber masalah.
"Bisnis boleh saja berjalan, tapi jika ada penyalahgunaan, itu tidak boleh didiamkan," kata Menix. Dia juga menyoroti perbedaan data impor gandum antara APTINDO dan Badan Pusat Statistik (BPS), yang menurutnya perlu ditelaah lebih lanjut untuk mengungkap kemungkinan penyalahgunaan.
Menix berharap pelaku usaha pakan ternak dapat bersaing secara sehat dan mengikuti aturan yang ada, yaitu menggunakan gandum pakan yang dikenai bea masuk 5%, bukan gandum pangan yang bea masuknya 0%.
"Wajar jika impor gandum pangan lebih tinggi dari impor gandum pakan, karena ada dugaan penyalahgunaan ini," katanya.
(akr)
Lihat Juga :
tulis komentar anda