Apa Efek Dedolarisasi Terhadap Harga Minyak Dunia?
Selasa, 12 November 2024 - 11:16 WIB
Petrodollar adalah istilah untuk menggambarkan sejumlah besar dolar yang tersedia dalam cadangan khusus untuk membeli minyak. Minyak diperdagangkan dalam dolar untuk menciptakan kesederhanaan dalam perdagangan internasional, tetapi juga karena alasan yang disebutkan di atas – penggunaan dolar AS secara paksa, dan dominasi umum ekonomi Amerika.
AS telah menempatkan minyak sebagai inti dari kebijakan luar negerinya, dengan kesepakatan de facto dengan Arab Saudi pada tahun 1975 yang mengonsolidasikan hal ini, memperdagangkan kontrak militer dan perlindungan militer senilai sekitar USD2 miliar untuk jaminan bahwa penjualan minyak dilakukan secara eksklusif dalam dolar.
OPEC juga diyakinkan segera setelah itu untuk menetapkan harga minyak mereka dalam dolar, dan selanjutnya, menginvestasikan kembali petrodolar surplus mereka ke dalam surat utang pemerintah AS, sebagai imbalan atas tingkat perlindungan militer dan ekonomi yang sama, yang selanjutnya memperkuat petrodolar.
Pergerakan terkini dari Arab Saudi menunjukkan bahwa dominasi petrodolar mungkin akan ditantang untuk pertama kalinya. Mungkinkan ini menjadi pertanda dolar AS akan kehilangan posisi teratas.
Bahkan dalam beberapa waktu terakhir, muncul rumor berakhirnya perjanjian antara Amerika Serikat dengan Arab Saudi terkait perdagangan komoditas minyak bumi dalam denominasi dolar AS atau dikenal dengan petrodolar.
Perjanjian selama 50 tahun itu dikabarkan berakhir pada pertengahan 2024 lalu. Akibat dari berakhirnya kesepakatan petrodolar, maka Arab Saudi bersama dengan negara-negara pengekspor minyak yang tergabung dalam OPEC dapat menjual minyaknya dalam mata uang lain. Tidak harus terikat dengan dolar AS selama ini.
Efeknya bakal melemahkan denominasi dolar AS secara global. Daya beli dunia terhadap mata uang dolar AS semakin menurun sehingga nilanya menjadi relatif tidak stabil dan tidak kuat seperti sebelumnya.
Ketika transaksi perdagangan komoditas minyak bumi dunia tidak lagi mengharuskan menggunakan dolar AS, maka permintaan terhadap valuta asing ini juga menurun tajam.
Sisi lainnya kebijakan ini berpeluang memicu gejolak harga dan inflasi dunia, khususnya saat Arab Saudi dan OPEC memilih menggunakan satuan mata uang yang berbeda-beda dalam menetapkan harga minyak bumi.
AS telah menempatkan minyak sebagai inti dari kebijakan luar negerinya, dengan kesepakatan de facto dengan Arab Saudi pada tahun 1975 yang mengonsolidasikan hal ini, memperdagangkan kontrak militer dan perlindungan militer senilai sekitar USD2 miliar untuk jaminan bahwa penjualan minyak dilakukan secara eksklusif dalam dolar.
OPEC juga diyakinkan segera setelah itu untuk menetapkan harga minyak mereka dalam dolar, dan selanjutnya, menginvestasikan kembali petrodolar surplus mereka ke dalam surat utang pemerintah AS, sebagai imbalan atas tingkat perlindungan militer dan ekonomi yang sama, yang selanjutnya memperkuat petrodolar.
Pergerakan terkini dari Arab Saudi menunjukkan bahwa dominasi petrodolar mungkin akan ditantang untuk pertama kalinya. Mungkinkan ini menjadi pertanda dolar AS akan kehilangan posisi teratas.
Bahkan dalam beberapa waktu terakhir, muncul rumor berakhirnya perjanjian antara Amerika Serikat dengan Arab Saudi terkait perdagangan komoditas minyak bumi dalam denominasi dolar AS atau dikenal dengan petrodolar.
Perjanjian selama 50 tahun itu dikabarkan berakhir pada pertengahan 2024 lalu. Akibat dari berakhirnya kesepakatan petrodolar, maka Arab Saudi bersama dengan negara-negara pengekspor minyak yang tergabung dalam OPEC dapat menjual minyaknya dalam mata uang lain. Tidak harus terikat dengan dolar AS selama ini.
Efeknya bakal melemahkan denominasi dolar AS secara global. Daya beli dunia terhadap mata uang dolar AS semakin menurun sehingga nilanya menjadi relatif tidak stabil dan tidak kuat seperti sebelumnya.
Ketika transaksi perdagangan komoditas minyak bumi dunia tidak lagi mengharuskan menggunakan dolar AS, maka permintaan terhadap valuta asing ini juga menurun tajam.
Sisi lainnya kebijakan ini berpeluang memicu gejolak harga dan inflasi dunia, khususnya saat Arab Saudi dan OPEC memilih menggunakan satuan mata uang yang berbeda-beda dalam menetapkan harga minyak bumi.
Lihat Juga :
tulis komentar anda