Ombudsman RI : Tumpang Tindih Lahan dan Aturan Ganggu Kelangsungan Industri Sawit
Selasa, 19 November 2024 - 06:00 WIB
Sedangkan, pada aspek tata niaga, Ombudsman RI menemukan potensi maladministrasi berupa ketidakjelasan prosedur dan kepastian hukum dalam persaingan usaha Pabrik Kelapa Sawit (PKS) dengan kebun dan PKS tanpa kebun, kebijakan biodesel dan pengaturan tarif ekspor Palm Oil Mill Effluent (POME). Yeka mengatakan bahwa masalah perizinan PKS disebabkan kurangnya koordinasi antar-kementerian dalam menentukan kewenangan dan standar perizinan PKS mengkibatkan tumpang tindih aturan.
Persaingan usaha yang tidak sehat antar PKS bermula dari adanya dualisme izin pendirian PKS yang diampu oleh Kementerian Pertanian dan Kementerian Perindustrian. Kementerian Pertanian mengampu perizinan PKS yang terintegrasi dengan kebun, sedangkan Kementerian Perindustrian mengampu perizinan PKS tanpa kebun. Dualisme izin tersebut berdampak terhadap adanya perbedaan syarat pendirian PKS, sehingga pada akhirnya memicu permasalahan terkait, dualisme harga TBS (tandan buah segar), ketidakpastian rantai pasok TBS, ketidapastian jaminan jumlah pasokan TBS dan standar kualitas TBS.
Dengan adanya dualisme perizinan PKS maka di lapangan juga muncul dua bentuk harga TBS, yaitu harga yang ditetapkan oleh pemerintah provinsi untuk pembelian oleh PKS terintegrasi dengan kebun dan harga pasar yang berlaku pada PKS tanpa kebun. Hal tersebut mengakibatkan stabilitas jumlah pasokan TBS di PKS terintegrasi dengan kebun menjadi terganggu, dan hal ini menjadi bentuk persaingan tidak sehat yang dapat mengganggu keberlanjutan industri kelapa sawit di Indonesia.
Potensi Kerugian Rp279,1 triliun Per Tahun
Tata kelola industri kelapa sawit saat ini diampu oleh banyak kementerian dengan kebijakan dan regulasi yang tidak terintegrasi menimbulkan permasalahan implementasi di lapangan. Benturan implementasi di lapangan terjadi antara lain pada kebijakan perizinan dan tata niaga industri kelapa sawit.
Tata kelola industri kelapa sawit yang saat ini tidak cukup baik berpotensi tersebut menimbulkan kerugian ekonomis. Ombudsman RI menyebut potensi kerugian meliputi aspek lahan (Rp74,1 triliun/tahun), aspek peremajaan sawit terkendala Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB) dan PSR (Rp111,6 triliun/tahun) dan aspek kualitas bibit yang tidak sesuai Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) (Rp81,9 triliun/tahun) serta aspek kehilangan yield akibat grading tidak sesuai standar kematangan TBS (Rp11,5 triliun/tahun). Jadi, total potensi nilai kerugian dalam tata kelola industri kelapa sawit sekitar Rp279,1 triliun per tahun.
Menurut Yeka, permasalahan integrasi kebijakan dapat diperbaiki dengan adanya satu kelembagaan yang khusus mengurusi kebijakan terkait urusan kelapa sawit. Kelembagaan tersebut diberi kewenangan sedemikian rupa sehingga dapat melakukan integrasi kebijakan terkait urusan kelapa sawit sekaligus melakukan pengawasan implementasi regulasi terkait urusan kelapa sawit tersebut. ‘’Dalam hal ini, pemerintah perlu membentuk badan nasional urusan kelapa sawit yang berada langsung di bawah Presiden dan berbentuk Badan Layanan Umum (BLU) guna mewujudkan tata kelola industri kelapa sawit yang berkelanjutan,’’ tandas Yeka Hendra.
(edc)
tulis komentar anda