Industri Karet Alam Jadi Akselerator Ekonomi Daerah, Ini Buktinya
Sabtu, 23 November 2024 - 11:45 WIB
Beberapa faktor penyebab penurunan kinerja industri karet alam Indonesia meliputi:
1. Harga karet yang rendah selama lebih dari satu dekade, yang membuat banyak petani meninggalkan perkebunan karet, menghentikan penyadapan, menunda peremajaan tanaman, atau bahkan mengganti karet dengan komoditas lain.
2. Wabah penyakit Pestalotiopsis yang dimulai pada tahun 2018, mengurangi produktivitas hingga sekitar 40 persen.
3. Perubahan iklim, seperti musim yang terlalu kering atau basah, menjadi faktor pembatas produktivitas.
4. Kenaikan biaya tenaga kerja, pupuk, insektisida, dan sumber daya produksi lainnya setiap tahun.
5. Industri hilir berbasis karet alam di dalam negeri yang belum berkembang, sehingga pemasaran karet alam Indonesia sangat bergantung pada ekspor.
Selain itu, industri karet alam juga menghadapi tantangan untuk meningkatkan produksi per unit lahan, merespons kenaikan biaya produksi, kekurangan tenaga kerja, perubahan iklim, percepatan masa belum menghasilkan, penerapan konsep ekonomi sirkular, serta kepatuhan terhadap regulasi internasional seperti Peraturan Deforestasi Uni Eropa (EUDR).
"Tantangan ini membutuhkan inovasi serta teknologi di berbagai bidang," ujarnya.
Dari para pembicara kunci diperoleh kesimpulan, pasokan karet alam di Indonesia mayoritas adalah perkebunan rakyat yang menguasai 89% perkebunan karet, sedang swasta dan BUMN hanya 11%. Namun faktanya pembangunan perkebunan karet rakyat khususnya yang menyangkut peremajaan tanaman tua berlangsung sangat lambat dan peran pemerintah belum tampak jelas.
Di sisi lain, pasar karet alam dunia diperkirakan akan cenderung membaik harganya tetapi kondisi petani karet rakyat di negara-negara produsen karet masih belum mendapatkan manfaatnya, kecuali di Thailand sebagai produsen nomor 1 karet alam dunia yang memiliki program yang kuat dari pemerintah dan produktif.
1. Harga karet yang rendah selama lebih dari satu dekade, yang membuat banyak petani meninggalkan perkebunan karet, menghentikan penyadapan, menunda peremajaan tanaman, atau bahkan mengganti karet dengan komoditas lain.
2. Wabah penyakit Pestalotiopsis yang dimulai pada tahun 2018, mengurangi produktivitas hingga sekitar 40 persen.
3. Perubahan iklim, seperti musim yang terlalu kering atau basah, menjadi faktor pembatas produktivitas.
4. Kenaikan biaya tenaga kerja, pupuk, insektisida, dan sumber daya produksi lainnya setiap tahun.
5. Industri hilir berbasis karet alam di dalam negeri yang belum berkembang, sehingga pemasaran karet alam Indonesia sangat bergantung pada ekspor.
Selain itu, industri karet alam juga menghadapi tantangan untuk meningkatkan produksi per unit lahan, merespons kenaikan biaya produksi, kekurangan tenaga kerja, perubahan iklim, percepatan masa belum menghasilkan, penerapan konsep ekonomi sirkular, serta kepatuhan terhadap regulasi internasional seperti Peraturan Deforestasi Uni Eropa (EUDR).
"Tantangan ini membutuhkan inovasi serta teknologi di berbagai bidang," ujarnya.
Dari para pembicara kunci diperoleh kesimpulan, pasokan karet alam di Indonesia mayoritas adalah perkebunan rakyat yang menguasai 89% perkebunan karet, sedang swasta dan BUMN hanya 11%. Namun faktanya pembangunan perkebunan karet rakyat khususnya yang menyangkut peremajaan tanaman tua berlangsung sangat lambat dan peran pemerintah belum tampak jelas.
Di sisi lain, pasar karet alam dunia diperkirakan akan cenderung membaik harganya tetapi kondisi petani karet rakyat di negara-negara produsen karet masih belum mendapatkan manfaatnya, kecuali di Thailand sebagai produsen nomor 1 karet alam dunia yang memiliki program yang kuat dari pemerintah dan produktif.
tulis komentar anda