Kelas Menengah Jantung Ekonomi RI, Tapi Jumlahnya Terus Turun Drastis
Kamis, 12 Desember 2024 - 07:24 WIB
JAKARTA - Jumlah masyarakat kelas menengah di Indonesia tercatat mengalami penurunan signifikan sebesar 18,8% dalam beberapa tahun terakhir, dari 57,33 juta menjadi 48,27 juta. Hal ini pun berdampak pada daya beli , konsumsi domestik, dan stabilitas ekonomi nasional .
Diungkap Kepala Pusat Riset Ekonomi Makro dan Keuangan, Zamroni Salim bahwa, salah satu penyebab utama penurunan kelas menengah adalah tekanan ekonomi yang semakin besar. Semua ini tidak lepas dari semakin tingginya pajak dan juga biaya hidup yang harus dibayarkan.
"Kelas menengah menghadapi beban berat, seperti kenaikan tarif pajak penghasilan, tambahan pungutan seperti TAPERA, hingga cukai makanan dan minuman berpemanis. Hal ini mempersempit ruang gerak ekonomi mereka,” ungkap Zamroni dalam acara Economic Outlook 2025, Rabu (11/12/2024).
Selain itu konsumsi domestik yang selama ini menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi ikut terdampak. Penurunan daya beli kelas menengah menghambat pertumbuhan sektor produksi, yang pada akhirnya membatasi penyerapan tenaga kerja.
“Kondisi ini menimbulkan efek domino pada sektor manufaktur dan jasa, yang bergantung pada stabilitas konsumsi kelas menengah,” jelas Zamroni.
Solusi untuk mengatasi penurunan ini, menurut Zamroni, harus berfokus pada kebijakan yang mendukung kelas menengah, seperti pengurangan beban pajak dan insentif ekonomi. Ia pun menilai Pemerintah perlu meninjau kembali kebijakan yang memberatkan kelas menengah.
"Dukungan seperti subsidi energi atau program sosial yang lebih inklusif dapat membantu memperbaiki daya beli mereka,” tambahnya.
Selain itu Zamroni menekankan pentingnya investasi berkualitas untuk menciptakan lapangan kerja baru di sektor-sektor yang strategis, seperti manufaktur dan teknologi. Investasi dengan efek pengganda tinggi, seperti pada sektor tekstil, makanan, dan industri berbasis teknologi, harus menjadi prioritas untuk memperkuat kelas menengah.
Diungkap Kepala Pusat Riset Ekonomi Makro dan Keuangan, Zamroni Salim bahwa, salah satu penyebab utama penurunan kelas menengah adalah tekanan ekonomi yang semakin besar. Semua ini tidak lepas dari semakin tingginya pajak dan juga biaya hidup yang harus dibayarkan.
"Kelas menengah menghadapi beban berat, seperti kenaikan tarif pajak penghasilan, tambahan pungutan seperti TAPERA, hingga cukai makanan dan minuman berpemanis. Hal ini mempersempit ruang gerak ekonomi mereka,” ungkap Zamroni dalam acara Economic Outlook 2025, Rabu (11/12/2024).
Selain itu konsumsi domestik yang selama ini menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi ikut terdampak. Penurunan daya beli kelas menengah menghambat pertumbuhan sektor produksi, yang pada akhirnya membatasi penyerapan tenaga kerja.
“Kondisi ini menimbulkan efek domino pada sektor manufaktur dan jasa, yang bergantung pada stabilitas konsumsi kelas menengah,” jelas Zamroni.
Solusi untuk mengatasi penurunan ini, menurut Zamroni, harus berfokus pada kebijakan yang mendukung kelas menengah, seperti pengurangan beban pajak dan insentif ekonomi. Ia pun menilai Pemerintah perlu meninjau kembali kebijakan yang memberatkan kelas menengah.
"Dukungan seperti subsidi energi atau program sosial yang lebih inklusif dapat membantu memperbaiki daya beli mereka,” tambahnya.
Selain itu Zamroni menekankan pentingnya investasi berkualitas untuk menciptakan lapangan kerja baru di sektor-sektor yang strategis, seperti manufaktur dan teknologi. Investasi dengan efek pengganda tinggi, seperti pada sektor tekstil, makanan, dan industri berbasis teknologi, harus menjadi prioritas untuk memperkuat kelas menengah.
Lihat Juga :
tulis komentar anda