Menanti Sepak Terjang Alexander Rusli Kembali ke Industri Telekomunikasi
Jum'at, 04 September 2020 - 20:25 WIB
Perang tarif yang diinisiasi oleh Alex berubah menjadi boomerang. Strategi untuk memenangkan pasar malah berujung malapetaka bagi industri telekomunikasi. Banyak operator telekomunikasi dibuat berdarah-darah secara finansial.
Dengan harga jual layanan telepon dan data yang sangat rendah, operator besar dan kecil tidak mendapatkan pengembalian yang wajar dan sehat dari investasi yang dilakukannya. Bahkan Indosat, perusahaan yang dipimpin oleh Alex juga menjadi korban dari perang tarif tersebut.
(Baca Juga: Juragan Telkomsel: Ada Berkah Pandemi buat Industri Telekomunikasi )
Besarnya dampak negatif perang tarif yang dirasakan oleh Indosat, membuat Alex selaku CEO berkirim surat langsung kepada Rudiantara selaku Menkominfo pada 17 Juli 2017. Dalam suratnya, Alex meminta adanya pengaturan batas bawah guna mencegah semakin jatuhnya layanan data internet.
Lebih jauh, Indosat terpaksa harus menelan pil pahit berupa kebijakan restrukturisasi baik pada kepemilikan aset maupun pada pengelolaan human capital. Dampaknya pun tidak sebentar. Hingga saat ini Indosat masih berjuang bangkit dari keterpurukannya tersebut.
Tidak hanya terbatas di operator telekomunikasi, perang tarif yang digulirkan Alex juga menimbulkan dampak negatif yang dirasakan oleh masyarakat selaku konsumen serta oleh pemerintah. Dengan kondisi keuangan yang terbatas, operator telekomunikasi tidak dapat menambah investasinya di infrastruktur telekomunikasi guna memperluas cakupan layanan.
Akibatnya, masih terdapat wilayah dimana masyarakatnya tidak dapat menikmati layanan telekomunikasi. Cita-cita yang telah lama dimimpikan pemerintah akan tersedianya layanan telekomunikasi di seluruh wilayah Indonsia pun terpaksa harus dipendam dahulu.
Kurang lebih setengah dekade setelah perang tarif tersebut berlangsung, masyarakat utamanya yang berada di wilayah pinggiran belum dapat seutuhnya menikmati layanan telekomunikasi, yang tentunya membuat mereka kesulitan dalam menjalani kehidupan new normal sebagai dampak pandemi Covid-19.
Selain perang tarif, sosok Alexander Rusli juga tidak bisa lepas dari kasus korupsi di Indosat. Kerja sama antara Indosat dan IM2 yang di dalamnya terdapat penyalahgunaan frekuensi radio 2,1 GHz mengakibatkan kerugian tidak sedikit bagi negara, yaitu Rp 1,3 triliun. Alex sebagai CEO Indosat pada saat itu tentu memahami seluk beluk permasalahan ini.
Kondisi industri telekomunikasi saat ini tentunya berbeda dibandingkan dengan masa Alex memimpin Indosat. Secara garis besar, di bawah kepemimpinan Johnny G. Platte selaku Menkominfo, hubungan antara operator telekomunikasi bisa dikatakan akur.
Dengan harga jual layanan telepon dan data yang sangat rendah, operator besar dan kecil tidak mendapatkan pengembalian yang wajar dan sehat dari investasi yang dilakukannya. Bahkan Indosat, perusahaan yang dipimpin oleh Alex juga menjadi korban dari perang tarif tersebut.
(Baca Juga: Juragan Telkomsel: Ada Berkah Pandemi buat Industri Telekomunikasi )
Besarnya dampak negatif perang tarif yang dirasakan oleh Indosat, membuat Alex selaku CEO berkirim surat langsung kepada Rudiantara selaku Menkominfo pada 17 Juli 2017. Dalam suratnya, Alex meminta adanya pengaturan batas bawah guna mencegah semakin jatuhnya layanan data internet.
Lebih jauh, Indosat terpaksa harus menelan pil pahit berupa kebijakan restrukturisasi baik pada kepemilikan aset maupun pada pengelolaan human capital. Dampaknya pun tidak sebentar. Hingga saat ini Indosat masih berjuang bangkit dari keterpurukannya tersebut.
Tidak hanya terbatas di operator telekomunikasi, perang tarif yang digulirkan Alex juga menimbulkan dampak negatif yang dirasakan oleh masyarakat selaku konsumen serta oleh pemerintah. Dengan kondisi keuangan yang terbatas, operator telekomunikasi tidak dapat menambah investasinya di infrastruktur telekomunikasi guna memperluas cakupan layanan.
Akibatnya, masih terdapat wilayah dimana masyarakatnya tidak dapat menikmati layanan telekomunikasi. Cita-cita yang telah lama dimimpikan pemerintah akan tersedianya layanan telekomunikasi di seluruh wilayah Indonsia pun terpaksa harus dipendam dahulu.
Kurang lebih setengah dekade setelah perang tarif tersebut berlangsung, masyarakat utamanya yang berada di wilayah pinggiran belum dapat seutuhnya menikmati layanan telekomunikasi, yang tentunya membuat mereka kesulitan dalam menjalani kehidupan new normal sebagai dampak pandemi Covid-19.
Selain perang tarif, sosok Alexander Rusli juga tidak bisa lepas dari kasus korupsi di Indosat. Kerja sama antara Indosat dan IM2 yang di dalamnya terdapat penyalahgunaan frekuensi radio 2,1 GHz mengakibatkan kerugian tidak sedikit bagi negara, yaitu Rp 1,3 triliun. Alex sebagai CEO Indosat pada saat itu tentu memahami seluk beluk permasalahan ini.
Kondisi industri telekomunikasi saat ini tentunya berbeda dibandingkan dengan masa Alex memimpin Indosat. Secara garis besar, di bawah kepemimpinan Johnny G. Platte selaku Menkominfo, hubungan antara operator telekomunikasi bisa dikatakan akur.
Lihat Juga :
tulis komentar anda