Menanti Sepak Terjang Alexander Rusli Kembali ke Industri Telekomunikasi

Jum'at, 04 September 2020 - 20:25 WIB
loading...
Menanti Sepak Terjang...
Lama tidak terdengar, Alexander Rusli kini kembali ke industri telekomunikasi. Sejak 15 Juni 2020, pria kelahiran Sydney 49 tahun yang lalu tersebut telah resmi diangkat menjadi komisaris independent Link Net. Foto/Dok
A A A
JAKARTA - Lama tidak terdengar, Alexander Rusli kini kembali ke industri telekomunikasi . Sejak 15 Juni 2020, pria kelahiran Sydney 49 tahun yang lalu tersebut telah resmi diangkat menjadi komisaris independent Link Net, perusahaan yang bergerak dalam jasa penyediaan akses internet dan cable tv.

Industri telekomunikasi bukanlah hal baru bagi Alexander Rusli. Pengalamannya di industri telekomunikasi juga tidak bisa dipandang sebelah mata.

Alex mulai bergabung dengan Indosat pada tahun 2010 sebagai komisaris independen. Karirnya melesat ketika pada tahun 2012 ditunjuk untuk menahkodai Indosat yang mana pada waktu itu merupakan salah satu operator telekomunikasi terbesar di Indonesia.

(Baca Juga: Bangun Satelit Berkecepatan Tinggi, Menteri Johnny Butuh Rp5,8 Triliun )

Jabatan CEO diembannya hingga berakhir pada tahun 2017 ketika Alex memutuskan untuk mengundurkan diri. Selama kepemimpinannya sebagai CEO di Indosat, banyak gebrakan dan sepak terjang yang dilakukan oleh Alexander Rusli.

Salah satu sepak terjangnya yang tidak bisa dilupakan pelaku industri telekomunikasi adalah penerapan tarif telepon dan internet yang sangat murah. Kebijakan ini jelas menarik banyak minat masyarakat sebagai pelanggan untuk beralih ke layanan telepon dan internet yang disediakan oleh Indosat.

Harga yang terlalu murah tersebut juga memaksa operator telekomunikasi lain untuk menurunkan harganya, dengan maksud tidak lain untuk mempertahankan pelanggan mereka agar tidak beralih ke Indosat. Aksi resiprokal antar operator inilah yang menimbulkan persaingan harga tidak berkelanjutan yang kemudian dikenal dengan nama perang tarif antar operator telekomunikasi.

Alex memang dikenal sebagai sosok yang tidak mudah gentar. Dalam menjalankan strategi perang tarif, Alex yang pada waktu itu menjabat sebagai Ketua Asosiasi Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) bahkan tidak segan-segan secara terbuka mengajak para operator telekomunikasi untuk “mengeroyok” Telkomsel sebagai operator terbesar.

“Saya minta kepada yang lainnya (XL dkk) untuk bersuara. Jangan takut untuk bicara, ini demi kepentingan bersama," papar Alex di tahun 2016.

Perang tarif yang diinisiasi oleh Alex berubah menjadi boomerang. Strategi untuk memenangkan pasar malah berujung malapetaka bagi industri telekomunikasi. Banyak operator telekomunikasi dibuat berdarah-darah secara finansial.

Dengan harga jual layanan telepon dan data yang sangat rendah, operator besar dan kecil tidak mendapatkan pengembalian yang wajar dan sehat dari investasi yang dilakukannya. Bahkan Indosat, perusahaan yang dipimpin oleh Alex juga menjadi korban dari perang tarif tersebut.

(Baca Juga: Juragan Telkomsel: Ada Berkah Pandemi buat Industri Telekomunikasi )

Besarnya dampak negatif perang tarif yang dirasakan oleh Indosat, membuat Alex selaku CEO berkirim surat langsung kepada Rudiantara selaku Menkominfo pada 17 Juli 2017. Dalam suratnya, Alex meminta adanya pengaturan batas bawah guna mencegah semakin jatuhnya layanan data internet.

Lebih jauh, Indosat terpaksa harus menelan pil pahit berupa kebijakan restrukturisasi baik pada kepemilikan aset maupun pada pengelolaan human capital. Dampaknya pun tidak sebentar. Hingga saat ini Indosat masih berjuang bangkit dari keterpurukannya tersebut.

Tidak hanya terbatas di operator telekomunikasi, perang tarif yang digulirkan Alex juga menimbulkan dampak negatif yang dirasakan oleh masyarakat selaku konsumen serta oleh pemerintah. Dengan kondisi keuangan yang terbatas, operator telekomunikasi tidak dapat menambah investasinya di infrastruktur telekomunikasi guna memperluas cakupan layanan.

Akibatnya, masih terdapat wilayah dimana masyarakatnya tidak dapat menikmati layanan telekomunikasi. Cita-cita yang telah lama dimimpikan pemerintah akan tersedianya layanan telekomunikasi di seluruh wilayah Indonsia pun terpaksa harus dipendam dahulu.

Kurang lebih setengah dekade setelah perang tarif tersebut berlangsung, masyarakat utamanya yang berada di wilayah pinggiran belum dapat seutuhnya menikmati layanan telekomunikasi, yang tentunya membuat mereka kesulitan dalam menjalani kehidupan new normal sebagai dampak pandemi Covid-19.

Selain perang tarif, sosok Alexander Rusli juga tidak bisa lepas dari kasus korupsi di Indosat. Kerja sama antara Indosat dan IM2 yang di dalamnya terdapat penyalahgunaan frekuensi radio 2,1 GHz mengakibatkan kerugian tidak sedikit bagi negara, yaitu Rp 1,3 triliun. Alex sebagai CEO Indosat pada saat itu tentu memahami seluk beluk permasalahan ini.

Kondisi industri telekomunikasi saat ini tentunya berbeda dibandingkan dengan masa Alex memimpin Indosat. Secara garis besar, di bawah kepemimpinan Johnny G. Platte selaku Menkominfo, hubungan antara operator telekomunikasi bisa dikatakan akur.

Operator telekomunikasi saling guyub antara satu sama lain. Bahkan operator saling bekerja sama dan berkontribusi dalam mendukung pemerintah menyediakan infrastruktur digital guna menghadapi pandemic covid-19. Namun, dengan segala track record nya di Industri telekomunikasi, tidak salah jika banyak pihak bertanya-tanya sepak terjang apa lagi yang akan dilakukan oleh seorang Alexander Rusli.
(akr)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1109 seconds (0.1#10.140)